Mengakhiri Dilema Pendidik, Urgensi Pendidikan Berbasis Adab Melawan Arus Sekuler
Oleh : Syamsam, S.S. (Guru Madrasah Tsanawiyah, Sulawesi Selatan)
Ironi Mutakhir Dunia Pendidikan
Berbagai kasus akhir-akhir ini meliputi kehidupan dunia pendidikan. Sang pendidik atau guru kerap dilaporkan oleh orang tua atau siswanya sendiri. Menjadi pemandangan yang sangat memprihatinkan dalam lanskap pendidikan modern saat ini. Rentetan kasus guru yang terjerat masalah hukum atau teguran akibat menjalankan tugas mendidik memunculkan pertanyaan mendasar bagi seluruh pemangku kepentingan di bidang pendidikan. Wajah pendidikan kita seolah kehilangan cahayanya di tengah konflik berkelanjutan antara pendidik dan peserta didik. Oleh karena itu, perlu dikaji secara mendalam: siapakah yang seharusnya memikul tanggung jawab atas kemunduran wibawa pendidik dan kekisruhan moral ini?
Permasalahan ini sering kali bermula dari upaya seorang guru untuk menegakkan disiplin di lingkungan sekolah. Tujuan mulia tersebut meliputi memastikan siswa mematuhi tata tertib, menjaga keamanan dan ketertiban lingkungan belajar, serta menanamkan adab dan akhlak yang mulia kepada sesama warga sekolah. Ironisnya, upaya untuk membina dan mendisiplinkan siswa tersebut justru berulang kali berujung pahit di meja pelaporan. Kenyataan ini menciptakan kecemasan baru di kalangan guru yang sebelumnya bersemangat untuk mencetak generasi berkualitas.
Realitas yang terjadi di lapangan pun menghadirkan ironi yang memilukan. Kita menyaksikan kasus guru di Sumatra Utara yang dilaporkan karena berupaya melerai siswanya yang berkelahi, padahal tindakannya didasari niat untuk menghentikan konflik. Kita juga dihadapkan pada kasus kepala sekolah yang menerima teguran akibat menegur siswanya yang kedapatan merokok dan berbohong, menunjukkan respons spontan terhadap pelanggaran etika serius. Bahkan, foto seorang siswa yang tidak menggambarkan sikap sopan santun kepada gurunya — terlepas dari waktu kejadiannya —(jakarta.tribunnews.com, 25-10-2025) telah menjadi simbol visual yang kuat mengenai tergerusnya wibawa pendidik. Rangkaian kasus ini, baik yang berujung pelaporan maupun sekadar teguran, menciptakan babak sejarah yang memilukan bagi perjalanan pendidikan di bumi pertiwi.
Peran Guru dalam Pusaran Kebimbangan
Secara hakiki, guru adalah pewaris dakwah para Nabi, yang mengemban amanah agung sebagai cahaya penerang dan fondasi pembentuk generasi masa depan bangsa. Tugas guru melampaui transfer ilmu pengetahuan, sebab ia juga mencakup pendidikan akhlak, moral, dan karakter siswa. Sebagaimana nasihat Imam Al-Ghazali, "Siapa saja yang berilmu dan mengajarkannya, maka ia disebut 'orang besar' di segenap penjuru langit." Sayangnya, kemuliaan predikat tersebut kini terancam oleh sistem yang kurang memberikan perlindungan.
Namun, kini guru menghadapi dilema eksistensial yang sulit untuk dihindari. Mereka harus memilih antara mengikuti naluri mendidik yang menuntut ketegasan dan tanggung jawab moral, atau memilih diam demi mempertahankan posisi dan menghindari risiko pelaporan yang bisa mengancam karier. Kebimbangan ini muncul karena adanya "ruang abu-abu" dalam regulasi dan penerapan disiplin siswa yang tidak jelas. Akibatnya, siswa acapkali merasa memiliki kebebasan yang melampaui batas etika, sementara guru merasa tidak berdaya untuk bertindak tegas.
Ketika guru berinisiatif menegakkan kedisiplinan, sering kali merekalah yang berada di posisi rentan untuk diadukan, meskipun pada prinsipnya, segala bentuk kekerasan fisik tidak dapat dibenarkan dan harus dihindari. Padahal, dorongan naluri dan keimanan seorang guru untuk mengingatkan anak didiknya adalah sebagai wujud amar ma'ruf nahi munkar dan kasih sayang kepada siswa atau anak didiknya. Menjadi kekuatan pendorong yang kuat untuk menolak berdiam diri atas pelanggaran yang terjadi. Namun, dorongan moral yang luhur ini sering kali bertabrakan dengan sistem yang dinilai belum memberikan payung hukum dan perlindungan yang memadai bagi para pendidik saat menjalankan tugas mulianya.
Solusi Komprehensif: Revitalisasi Sistem Pendidikan
Problematika dan situasi dilematis yang dialami para pendidik ini tidak muncul begitu saja tanpa sebab yang mendasar. Salah satu akar masalah yang paling krusial adalah sistem pendidikan yang berbasis sekuler, yang cenderung memberikan ruang kebebasan berlebihan tanpa ditopang oleh fondasi etika dan nilai karakter yang kokoh. Guru berada di bawah tekanan besar karena menghadapi aturan yang serba salah dan penuh keabu-abuan: bertindak salah, tetapi diam pun berarti mengkhianati tugas mulia dan tanggung jawabnya. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengalihkan fokus dari menyalahkan individu ke perbaikan sistem secara menyeluruh.
Diperlukan introspeksi dan perbaikan menyeluruh dari berbagai pihak, bukan hanya guru dan orang tua. Pertama, penguatan integritas guru harus diupayakan agar guru menjadi pribadi yang dihormati karena keluasan ilmunya dan dimuliakan karena kemuliaan akhlaknya, menjadikannya suri teladan utama bagi siswa. Kedua, penyadaran jati diri siswa perlu ditekankan agar mereka memahami peran dan posisinya sebagai hamba Allah, serta menyadari pentingnya adab sebagai syarat utama dalam proses menuntut ilmu. Ketiga, implementasi sistem pendidikan yang holistikharus menjadi fokus utama, di mana sistem ini tidak hanya berfokus pada aspek kognitif (isi otak), tetapi secara seimbang juga menekankan pada penanaman nilai karakter dan adab sejak dini.
Dalam pandangan Islam, sistem pendidikan harus mampu menumbuhkan kesadaran akan jati diri sebagai hamba Allah yang menyadari tujuan penciptaan dan bertanggung jawab atas setiap perbuatannya di dunia. Hal ini berarti seluruh aturan sosial dan aspek kehidupan harus selaras dan mendukung tujuan utama sistem pendidikan tersebut, sehingga implementasinya berjalan seimbang dan tidak timpang. Sistem semacam ini akan membentuk kepribadian siswa secara utuh, bukan hanya kecerdasan intelektual semata. Penerapan sistem yang komprehensif ini diharapkan mampu mengatasi ruang abu-abu yang selama ini menjebak para pendidik.
Penutup: Menuju Generasi Pemimpin yang Beradab
Pada akhirnya, hanya dengan penerapan sistem yang melindungi dan memelihara keimananlah kita dapat mewujudkan generasi yang memahami tujuan hidupnya dengan jelas. Generasi ini adalah generasi yang mampu bangkit menjadi pemimpin yang menguasai ilmu, memiliki adab yang mulia, dan berkapasitas sebagai penebar rahmat bagi semesta. Mereka tidak akan menjadi pemimpin yang justru merusak tatanan.
Sejarah telah mencatat, pada masa kejayaan Islam, sistem yang komprehensif dan keteladanan paripurna dari para pendidik melahirkan tokoh-tokoh besar. Tokoh-tokoh tersebut termasuk pemimpin visioner seperti Muhammad Al-Fatih, cendekiawan dunia seperti Ibnu Sina, dan pakar di berbagai bidang ilmu pengetahuan. Mereka adalah bukti nyata hasil dari sistem yang berupaya membentuk dan menjaga keimanan, demi mewujudkan khalifatul fil ardi dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Oleh karena itu, urgensi revitalisasi sistem pendidikan menuju sistem berbasis adab adalah keniscayaan untuk mengakhiri dilema pendidik dan menyelamatkan masa depan bangsa. Wallahu a'lam.

Posting Komentar