Korban Bullying Bertindak Anarkis, Negara Kecolongan?
Oleh : Dewi Ummu Azkia
Seorang santri di Aceh Besar membakar gedung asrama pesantren tempatnya mondok, Jumat dini hari (31/10/2025). Aksi itu diduga dipicu oleh perundungan yang sering dia alami dari sesama santri (Liputan6.com).
Sehingga, timbul niat untuk membakar gedung asrama dengan tujuan agar semua barang-barang milik teman-temannya yang selama ini sering melakukan bullying terhadap dirinya agar habis terbakar.
Tragedi ini diperkirakan mengakibatkan kerugian materi sebesar 2 miliyar rupiah.
Sementara hanya selang sepekan dari pembakaran asrama ponpes di Aceh terjadi di Ibukota tragedi yang lebih menggemparkan yakni bom meledak di SMA Negeri 72 Jakarta, dan menelan korban luka-luka sebanyak 96 orang mayoritas pelajar dan beberapa orang guru. Bom tersebut meledak saat berlangsung khotbah jum'at di masjid lingkungan sekolah.
Bom di SMA Negeri 72 Jakarta terjadi pada tanggal 7 November 2025, sekitar pukul 12.15 WIB. Pelakunya adalah seorang siswa kelas 12 yang berusia 17 tahun dan juga mengalami luka-luka (Wikipedia.org).
Para pelaku kejadian tersebut adalah anak-anak dibawah umur (menurut sistem peradilan di negeri kita) dan keduanya sama sama korban perundungan atau bullying.
Menelisik dari dua kejadian ini bisa dianalisa bahwa ini adalah sebuah tragedi yang tidak hanya menelan korban fisik, yakni dengan rusaknya gedung dan para korban mengalami luka-luka, akan tetapi lebih dari itu, ini adalah sebuah musibah besar dari sistem pendidikan kita.
Musibah yang tidak hanya karena perundungan semata, sehingga para korban melakukan aksi anarkis itu akan tetapi ini adalah buah dari sebuah sistem yang saling terkait.
Sistem pendidikan kita yang hanya fokus pada kecerdasan intelektual, mengabaikan kecerdasan emosional serta meminggirkan kecerdasan spiritual.
Sistem sosial di lingkungan sekolah yang tidak sehat, interaksi antara guru dan murid, pergaulan sesama murid.
Guru hanya sekedar melaksanakan tugas menyampaikan materi pelajaran, mengejar kurikulum, lupa melaksanakan amanah menjadi tauladan bagi siswa-siswinya. Sedangkan murid hanya fokus mengejar prestasi mengerjakan tugas-tugas mata pelajaran yang sudah menjadi rutinitas keseharian, sehingga generasi yang sedang tumbuh ini minim nutrisi spiritual yang memadai, minim pula rasa sayang dan peduli sesama teman. Sehingga kejadian perundungan di lingkungan sekolah seolah menjadi sebuah "kewajaran".
Bagaimana tidak, di sebuah tempat pendidikan kasus perundungan terus terjadi dan kali ini si korban perundungan berupaya keras untuk balas dendam dengan perbuatan nekad bahkan terkategori anarkis, hingga membahayakan orang banyak dan merusak fasilitas umum dan berakibat kerugian materi yang besar serta tekanan psikologis banyak pihak.
Penyelesaian persoalan ini tidak hanya cukup memberikan perhatian terhadap pemulihan kesehatan para korban, baik pemulihan fisik maupun psikis, perbaikan kembali fasilitas yang rusak, juga memberi hukuman kepada pelaku saja. Akan tetapi perlu penganalisaan mendalam terhadap akar masalah dari kejadian ini. Kemudian penyelesaianpun harus penyelesaian sampai ke akar masalahnya. Mengapa perundungan di lingkungan sekolah terus terjadi hingga menelan banyak korban, langkah antisipasi dan evaluasi cemerlang terkait sistem pendidikan, sistem sosial juga sistem sanksi yang diterapkan di negeri kita ini.
Pelajar SMP dan SMA adalah usia baligh, usia dimana didalam fiqih Islam adalah hamba Allaah yang mukallaf, usia yang sudah sangat cakap membedakan baik dan buruk usia yang mampu diajak berfikir secara optimal dan diarahkan kepada kebaikan serta layak diberi amanah. Jadi, jika mereka melakukan pelanggaran mereka harus dikenakan sanksi sama dengan sanksi orang dewasa.
Namun didalam sistem kapitalis saat ini orang dengan umur dibawah 18 tahun masih terkategori anak dan ketika mereka melakukan pelanggaran hukum, mereka tidak dikenakan sanksi sebagaimana orang dewasa. Hal inilah salah satu pemicu terus terjadinya kriminal yang dilakukan "anak dibawah umur".
Demikian juga dengan apa yang terjadi di ponpes Aceh dan SMA Negeri 72, sudah sangat menggambarkan "kecolongan negara" Jika tidak mau dikatakan kegagalan sistem pendidikan kita.
Negara seharusnya segera mengevaluasi:
1. Sistem pendidikan dengan kurikulum yang berbasis keimanan hingga mencetak generasi yang menggapai prestasi dan mengaktualisasi ilmu atas dorongan Iman, demikian juga menghormati guru dan menyayangi teman juga karena dorongan keimanan pula.
2. Sistem sanksi seharusnya membuat jera para pelaku dan mencegah anak-anak lain yang mendengar dan menyaksikannya untuk tidak melakukan kejahatan serupa. jika ada anak didik melakukan kejahatan dan anak tersebut sudah baligh (anak usia 15- 18 bisa dipastikan sudah baligh), tidak perlu ditutupi dengan kata-kata seperti "pelaku kriminal" diganti dengan sebutan "kenakalan remaja". Anak-anak yang terlibat kriminal (sudah ditetapkan sebagai tersangka) dikatakan sebagai "Anak Berhadapan dengan Hukum". Juga sebutan untuk terdakwa anak yang diganti (diperhalus) dengan sebutan "Anak Berkonflik dengan Hukum".
Penyamaran diksi-diksi dalam sistem sanksi dalam hukum di negeri kita ini, yang mengadopsi sistem kapitalis, berdalih mengakomodir perlindungan terhadap anak sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang Perlindungan Anak (UU No. 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak).
Berbeda sekali dengan sistem Islam Kaffah dalam institusi Khilafah dimana seluruh aturan aturan yang ditetapkan dalam sistem ini bersumber dari syariat Islam. Semua pelaku kriminal yang sudah baligh, berakal sehat, akan mendapatkan hukuman sama.
Sebagaimana termaktub dalam buku kitab Nidzamul 'Uqubat Fil Islam bab Muqaddimah (terjemah), yang menyampaikan bahwa hukum harus ditegakkan oleh negara sesuai syariat dan ia akan berfungsi sebagai Jawabir (penebus dosa bagi si pelaku) dan Zawajir (pencegah bagi orang lain).
Syariat Islam akan selalu membawa rahmat dan keberkahan di dunia dan akhirat, tentu saja jika dilaksanakan secara kaffah dalam institusi Khilafah.
Wallahu'alam Bishowab

Posting Komentar