Makna Pernikahan Luntur, Perceraian Makin Lumrah
Oleh : Dinda Kusuma W T
"Tidak ada persahabatan yang lebih besar di antara dua ruh dibandingkan persahabatan di antara pasangan suami istri". Begitulah sebuah kutipan dari ulama besar Ibnu Katsir yang sering kita dengar. Dan memang begitulah seharusnya. Laki-laki dan perempuan yang terikat dalam sebuah tali pernikahan sejatinya dua insan yang dipersatukan oleh Allah dibawah ikrar ijab kabul. Didalamnya, suami istri diharapkan saling mencintai, mengasihi, dan bahu membahu untuk menggapai ridho Allah. Karena hakikat pernikahan adalah ibadah.
Namun miris, saat ini banyak fakta membuktikan bahwa kesakralan pernikahan telah luntur digerus zaman. Perceraian sangat mudah dijadikan opsi solusi bagi suami dan istri masa kini. Merujuk data Statista, jumlah perceraian di Indonesia mencapai hampir 400.000 kasus sepanjang 2024. Angka tersebut meningkat 13,1 persen dibandingkan satu dekade lalu. Jika dibandingkan jumlah pernikahan di tahun yang sama, kasus perceraian mengambil proporsi 27 persen (kompas.id, 07/11/2025).
Angka tersebut bukan sekadar statistik, melainkan cermin perubahan sosial yang sedang terjadi. Cara orang menafsirkan cinta, komitmen, dan kebahagiaan dalam kehidupan modern kini hanya sebatas untung dan rugi semata. Jika pernikahan dirasa tak menguntungkan atau bahkan merugikan dan menyengsarakan maka sama sekali tidak layak untuk dipertahankan.
Penyebab perceraian pun ada berbagai macam, mulai dari berat hingga sangat sepele. Namun ada beberapa alasan yang paling umum di masyarakat Indonesia yaitu persoalan ekonomi, Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan perselingkuhan. Jelas, ketiga alasan ini menunjukkan tidak adanya komitmen kuat atas pernikahan. Kebanyakan pasangan melupakan bahwa janji pernikahan adalah janji kepada Tuhannya yang harus benar-benar dijaga.
Dulu, mungkin sekitar satu dekade yang lalu, perceraian dianggap tabu. Mereka yang ingin bercerai berfikir ribuan kali untuk menghindari sanksi sosial. Namun kini, bercerai dan menjadi janda atau duda justru seringkali menjadi kebanggaan.
Disisi lain, generasi muda yang menyaksikan fakta kelam ini, mengambil sudut pandang praktis dan sebelah mata. Trend pernikahan di kalangan gen Z menurun sebab ketakutan akan gagalnya pernikahan atau takut pada kesengsaraan yang akan dihadapi setelah menikah. Tak heran, sebab berita tentang bobroknya rumah tangga hampir setiap hari berseliweran dihadapan mereka. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan bagi kemajuan dan ekstensi bangsa. Banyak negara maju mengalami kesulitan SDM disebabkan angka pernikahan dan kelahiran yang terus menurun.
Lalu, apa sebenarnya akar masalah dari maraknya perceraian, dan apa solusinya? Pada dasarnya, tidak ada rumah tangga tanpa ujian. Setiap pasangan pasti memiliki rintangan hidup yang akan menguji kesabaran satu sama lain. Maka berpengang pada prinsip yang benar dan kuat adalah kunci kebahagiaan dalam pernikahan. Dan satu-satunya prinsip sempurna tentang pernikahan hanya ada dalam agama Islam.
Penerapan sistem kehidupan kapitalisme telah menggerus makna suci pernikahan. Ketika semua hal dipandang dari keuntungan materi, maka pernikahan pun tak luput dari pandangan itu. Jika rumah tangga diuji dengan kesempatan ekonomi terus menerus, alih-alih bersabar dan terus bersyukur, para istri banyak yang memilih bercerai dari suaminya yang dianggap tidak ada harapan secara finansial.
Parahnya, kapitalisme seringkali menghancurkan keharmonisan rumah tangga dengan maraknya judol dan pinjol, yang mana sering menjadi sumber prahara rumah tangga. Belum lagi kebebasan media sosial tanpa batas. Banyak orang memanfaatkan media sosial demi kesenangan sementara seperti perselingkuhan yang berujung petaka.
Ditambah kehidupan yang makin sekuler dan liberal. Nilai agama ditinggalkan. Aturan agama, khususnya agama islam, hanya ditempatkan di masjid atau tempat ibadah. Di ranah umum, masyarakat berperilaku liberal, bebas melakukan apa saja asal tidak merugikan orang lain. Demikianlah kehancuran masyarakat kita akhirnya terpampang didepan mata.
Singkatnya, segala sesak dan kesempitan hidup saat ini bersumber dari sistem kehidupan sekuler kapitalis. Sistem ini harus ditinggalkan, dicabut hingga ke akarnya dan diganti dengan sistem yang akan mewujudkan kebahagiaan hakiki yaitu Islam.
Islam sangat memuliakan pernikahan. Dimulai dari sistem pendidikan, Islam membentuk kepribadian yang matang dan siap membangun keluarga sakinah (tenang), mawaddah (penuh cinta), dan rahmah (kasih sayang). Pernikahan adalah komitmen untuk menjadi partner dalam ibadah terpanjang, membentuk keluarga saleh, serta membangun generasi yang menjadi amal jariah sekaligus penerus kebaikan. Cita-cita tertinggi pernikahan adalah bersama menuju surga.
Rasulullah sallallahu alaihi wasallam bersabda, “Nikah adalah sunnahku. Barang siapa membenci sunnahku, maka ia bukan dari golonganku.” (HR Ibnu Majah dalam Sunan Ibn Majah, Kitab an-Nikah). Masyarakat yang hidup dengan penerapan sistem Islam akan menyadari bahwa pernikahan adalah fitrah manusia yang mampu menjaga generasi dari fitnah pergaulan, selama dijalankan sesuai syariat Islam. Wallahualam bissawab.

Posting Komentar