KRISIS MENTAL PELAJAR, DAMPAK PENDIDIKAN SEKULER
Oleh : Septiana Indah Lestari, S.Pd.
Data terbaru mengenai kasus bunuh diri di kalangan pelajar Indonesia menunjukkan tren yang sangat mengkhawatirkan dan menjadi alarm keras bagi seluruh pemangku kepentingan, terutama sistem pendidikan yang berlaku. Hanya dalam kurun waktu satu pekan terakhir, Dua kasus dugaan bunuh diri yang menimpa anak-anak di Cianjur dan Sukabumi di Jawa Barat adalah sebuah tragedi yang mengkhawatirkan. Kejadian ini menjadi sinyal keras yang membutuhkan tanggung jawab kolektif dari orang tua, sekolah, dan masyarakat untuk memperhatikan dan merespons kondisi psikologis anak secara lebih serius (Kompas.id, 31/10/2025).
Hal ini menambah daftar panjang tragedi yang melibatkan remaja. Lebih mencengangkan lagi, rentang bulan Oktober 2025, dua siswa SMP di Sawahlunto, Sumatera Barat, ditemukan meninggal karena bunuh diri di lingkungan sekolah mereka, dengan kejadian gantung diri di ruang kelas (28 Oktober) dan di ruang OSIS (6 Oktober). Penyelidikan sementara oleh kepolisian menyimpulkan bahwa dugaan perundungan bukan merupakan pemicu langsung kasus bunuh diri tersebut (Kompas.id, 30/10/2025).
Kenyataan ini membongkar asumsi umum bahwa bullying adalah satu-satunya penyebab utama bunuh diri anak. Di sisi lain, menurut Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono, hasil pemeriksaan kesehatan jiwa gratis terhadap sekitar 20 juta jiwa menunjukkan temuan yang mengkhawatirkan yaitu lebih dari dua juta anak Indonesia terindikasi mengalami berbagai gangguan mental (Ameera.republika.co.id, 30/10/2025). Data statistik ini melukiskan potret sebuah generasi yang secara mental sedang rapuh, berjuang dalam kesendirian, dan berada di ambang kehancuran.
Peningkatan angka bunuh diri yang mengkhawatirkan di kalangan pelajar, terutama yang tidak disebabkan oleh bullying, perlu dicermati secara mendalam. Fakta bahwa bunuh diri tetap terjadi tanpa adanya tekanan fisik atau verbal yang eksplisit justru lebih menggambarkan bahwa faktor utama yang mendorong tindakan ekstrim tersebut adalah kerapuhan kepribadian pada remaja itu sendiri. Kerapuhan kepribadian yang akut pada anak dan remaja ini merupakan refleksi langsung dari lemahnya dasar akidah yang tertanam di dalam diri mereka. Ini adalah implikasi nyata dari sistem pendidikan sekuler yang saat ini diterapkan. Paradigma pendidikan sekuler cenderung fokus secara berlebihan pada pengejaran prestasi kognitif dan fisik, seperti nilai akademik, perlombaan, dan gelar. Namun, secara fundamental mengabaikan pengajaran agama yang mendalam dan berjiwa. Agama seringkali hanya diajarkan sebatas teori, hafalan, atau mata pelajaran tambahan yang terpisah dari kurikulum utama, sehingga tidak meninggalkan pengaruh yang menjasad atau membentuk pola pikir dan pola sikap anak. Akibatnya, ketika dihadapkan pada kesulitan hidup yang tak terhindarkan, mereka tidak memiliki "jangkar" akidah yang kuat untuk bertahan.
Kegagalan sistem sekuler ini diperparah oleh paradigma batas usia anak yang diadopsi dari Barat. Pendidikan Barat cenderung menganggap seseorang baru mencapai kedewasaan ketika berusia 18 tahun. Pandangan ini sering kali menyebabkan anak yang sudah baligh secara syariat telah dibebani kewajiban agama dan siap secara mental untuk mandiri, tetapi masih diperlakukan sebagai anak-anak dalam konteks pendidikan dan sosial. Konsekuensinya, mereka tidak dididik secara intensif untuk menyempurnakan akalnya pada usia baligh dan sesudahnya, sehingga kematangan emosi dan kemampuan mengambil keputusan berbasis prinsip hidup menjadi terhambat.
Sementara itu, bunuh diri sendiri adalah puncak dari gangguan kesehatan mental. Gangguan mental tidak muncul dari ruang hampa, tetapi buah dari berbagai persoalan yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari anak. Mulai dari kesulitan ekonomi keluarga yang menciptakan tekanan, konflik orang tua termasuk perceraian yang menghancurkan rasa aman, hingga tuntutan gaya hidup materialistis yang tinggi. Semua persoalan ini adalah konsekuensi tak terhindarkan dari penerapan sistem kapitalisme yang melahirkan ketidakadilan sosial dan individualisme. Faktor-faktor non-klinis seperti kemiskinan, ketidakharmonisan keluarga, dan hilangnya arah hidup yang benar inilah yang sangat mempengaruhi gangguan mental. Parahnya lagi, paparan media sosial terkait bunuh diri dan maraknya komunitas sharing bunuh diri semakin mendorong remaja dan anak-anak menjadi rentan, karena mereka menemukan pembenaran atau validasi atas pemikiran gelap mereka.
Untuk keluar dari jurang krisis mental dan bunuh diri ini, diperlukan konstruksi ulang total terhadap fondasi kehidupan, dimulai dari pendidikan. Islam menjadikan aqidah sebagai dasar pendidikan, baik di dalam keluarga, sekolah, maupun seluruh jenjang pendidikan formal. Dengan fondasi akidah yang kuat, seorang anak akan memiliki kekuatan spiritual untuk bertahan dan mencari solusi yang benar dalam menghadapi setiap kesulitan hidup. Tujuan utama sistem pendidikan Islam adalah membentuk pola pikir dan pola sikap Islam, sehingga pada diri siswa terbentuk kepribadian Islam (Syakhshiyyah Islamiyyah) yang utuh, yang mampu memandang hidup dengan optimisme dan tujuan yang jelas. Selain itu, dalam Islam, ketika baligh anak juga diarahkan untuk aqil (berakal sempurna), dimana pendidikan anak sebelum baligh adalah pendidikan yang mendewasakan dan mematangkan kepribadian Islamnya.
Sistem yang komprehensif ini, yang diwujudkan melalui penerapan Islam secara kaffah (menyeluruh) oleh institusi Khilafah, secara otomatis mencegah terjadinya gangguan mental, sekaligus menyelesaikan persoalan ini secara tuntas. Khilafah akan mewujudkan kebaikan pada aspek non-klinis yang merupakan akar masalah, seperti jaminan kebutuhan pokok bagi setiap individu dan keluarga, menciptakan lingkungan keluarga yang harmonis melalui hukum syariat yang adil, dan memberikan arah hidup yang benar sesuai dengan tujuan penciptaan manusia. Terakhir, kurikulum pendidikan Khilafah secara eksplisit memadukan penguatan kepribadian Islami (karakter) dengan penguasaan kompetensi ilmu dan teknologi.
Dengan demikian, siswa tidak hanya cerdas secara kognitif, tetapi juga memiliki kepribadian Islam yang kokoh. Hal ini memungkinkan mereka untuk menyikapi berbagai persoalan kehidupan dengan cara syar’iy, sehingga bunuh diri dan gangguan mental tidak lagi menjadi solusi yang terlintas di benak mereka.
Referensi:
www.kompas.id/artikel/dalam-sepekan-dua-anak-jawa-barat-diduga-bunuh-diri-apa-pemicunya
www.kompas.id/artikel/dalam-sebulan-dua-siswa-smp-di-kota-sawahlunto-bunuh-diri-di-sekolah
ameera.republika.co.id/berita/t4y7zw425/lebih-dari-dua-juta-anak-indonesia-alami-gangguan-kesehatan-mental

Posting Komentar