Indonesia Darurat Filisida Maternal, Butuh Sistem Ideal
Oleh : Ummu Ahnaf, Pemerhati Masalah Sosial
Di tengah gempuran masalah sosial yang semakin kompleks, Indonesia kini dihadapkan pada kenyataan pahit, anak-anak, yang seharusnya menjadi kelompok paling dilindungi, justru semakin rentan terhadap kekerasan bahkan kehilangan nyawa di tangan orang terdekatnya sendiri yakni orang tua.
Tragedi tersebut disebut juga dengan istilah filisida maternal (tindakan pembunuhan oleh seorang ibu kepada anaknya). Fenomena ini bukan lagi sekadar potret tragis yang muncul sesekali, tetapi tanda ada sesuatu yang sangat keliru dalam struktur keluarga, lingkungan sosial, dan sistem perlindungan kita.
Tragedi filisida maternal terus muncul dan mengguncang publik. Seperti peristiwa yang terjadi pada ibu berinisial EN di Kiangroke, Kecamatan Banjaran, Kabupaten Bandung, Jawa Barat. Pada Sabtu (6/9/2025), ia ditemukan bunuh diri setelah membunuh dua anaknya, AA (9) dan AAP (11 bulan), yang meninggal dengan luka jerat di leher. Penyelidikan mengungkap bahwa EN melakukan tindakan ekstrem itu karena terjerat utang dan kemiskinan (Kompas.id, 08/09/25).
Ternyata, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) mencatat, berdasarkan laporan yang masuk melalui sistem informasi online dari lebih dari 4.000 lembaga, terdapat setidaknya 19.626 kasus kekerasan pada anak sepanjang tahun 2024 di Indonesia. Meskipun Kemen PPPA tidak memiliki data khusus mengenai korban jiwa, lembaga tersebut menegaskan bahwa sebagian kasus berujung pada kematian anak (Kompas.com, 24/01/2025).
Sementara itu, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat adanya 60 kasus filisida pada 2024, yakni pembunuhan anak oleh orang tua dan sebagian besar pelakunya adalah ibu. KPAI menyimpulkan Indonesia kini tengah berada dalam situasi darurat filisida (Sindonews.com, 13/01/2025).
Bukan Sebatas Ibu Depresi
Menjadi ibu bukanlah hal remeh dan kelas nomor dua sebagaimana yang dipropagandakan kaum feminis. Tugas ibu sebagai istri, mengurus seluruh kebutuhan rumah, serta menjalankan fitrah mengandung, melahirkan, menyusui, serta mengasuh anak-anaknya merupakan tugas yang menuntut energi dan pikiran seorang ibu. Belum lagi kondisi himpitan ekonomi serta kondisi lingkungan saat ini yang semakin menambahkan rentetan tekanan jiwa seorang ibu. Tidak sedikit akhirnya memaksa seorang ibu untuk turut terjun ke dunia kerja demi membantu menopang ekonomi keluarga.
Dalam dunia kerja pun, tidak ada jaminan aman bagi para ibu ini. Tak jarang tekanan dari dunia kerja justru berujung pada kekerasan terhadap perempuan serta tingginya angka perceraian. Data yang dihimpun dari Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2024, terungkap 1 dari 4 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan/atau seksual. Kasus lebih banyak ditemukan di perkotaan, pada perempuan dengan pendidikan tinggi dan bekerja (Komnasperempuan.go.id, 25/08/2025).
Tekanan serta peran ganda yang demikian itu membuat para perempuan mengalami guncangan hebat dalam jiwanya. Ditambah lagi sebelum memasuki fase pernikahan, para perempuan ini tidak dipersiapkan dan dibekali ilmu maupun ketrampilan untuk mampu menjalankan tugasnya sebagai istri dan calon ibu. Ketidaksiapkan ini juga pada akhirnya membuat ibu tidak siap menjalankan peran utamanya dan tak jarang pula yang berujung pada tekanan depresi.
Demikianlah kondisi para ibu dalam sistem sekuler kapitalis yang menjauhkan para ibu dari agama serta dari fitrahnya sebagai perempuan pencetak generasi. Sistem ini telah nyata gagal membawa kaum ibu pada kesejahteraan dan ketentraman jiwanya. Sistem ini justru telah mencetak kaum ibu yang berlawanan dengan fitrah dan figurnya yang penuh kasih sayang menjadi sosok yang menakutkan.
Islam Menyejahterakan dan Memuliakan Peran Perempuan
Berbeda dengan sekuler kapitalis yang terbukti gagal membawa kaum perempuan pada fitrah dan kesejahteraan, Islam merupakan agama sekaligus sistem kehidupan yang sesuai dengan fitrah manusia. Sebab, syariat Islam datang langsung dari Sang Pencipta dan pemilik manusia, yaitu Allah SWT.
Kesejahteraan diartikan sebagai terpenuhinya seluruh kebutuhan pokok setiap individu per individu manusia. Islam memandang setiap individu sebagai manusia yang harus dipenuhi kebutuhan primernya secara menyeluruh. Maka dari itu, tidak hanya memenuhi kebutuhan pokok perempuan, sistem ekonomi Islam mampu menjamin pemenuhan semua kebutuhan primer baik pria maupun wanita secara menyeluruh (Kitab Nidzhamul iqtishad fil Islam karya Syekh Taqiyuddin An Nabhani).
Adapun kedudukan pria dan wanita dalam Islam, Allah menciptakan laki-laki dan perempuan serta menurunkan syariah kepada keduanya sebagai manusia dengan fitrahnya masing-masing tidak berbeda dari aspek kemanusiaannya. Dengan demikian, syariat datang sebagai solusi atas aktivitas laki-laki dan perempuan sesuai dengan fitrahnya masing-masing agar tercapai kemaslahatan bersama.
Islam menetapkan laki-laki sebagai qawwam (pemimpin) bagi kaum perempuan. Kehidupan perempuan berada dalam tanggung jawab penuh walinya, yakni ayah ketika sebelum menikah dan suami ketika sudah menikah. Suami/ayah/wali wajib memberikan nafkah sesuai batas kemampuannya.
Sementara khalifah sebagai kepala negara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, melalui sistem ekonomi Islam akan menjamin adanya lapangan pekerjaan, menjamin kemudahan akan terpenuhinya kebutuhan pokok, pendidikan, serta kesehatan masyarakat.
Kemudian, melalui sistem pendidikan Islam yang berbasis akidah Islam, negara akan mencetak generasi yang beriman kokoh dan bersyakhsiyah (berkepribadian) Islam, yaitu berpola pikir dan berpola sikap yang berlandaskan akidah Islam. Pendidikan dalam Islam bukan semata proses belajar mengajar dan transfer pengetahuan, melainkan proses pembentukan iman, takwa, serta tanggung jawab sebagai hamba Allah.
Dengan menerapkan pendidikan Islam sejak dini, laki-laki akan dipersiapkan untuk mampu menjalankan tugasnya sebagai pemimpin, sementara perempuan akan dipersiapkan sesuai fitrahnya sebagai ibu, pengurus rumah, serta pendidik pertama bagi anak-anaknya. Keduanya dengan sadar memahami dalam menjalankan perannya ini semata-mata dalam rangka ketaatan kepada Allah SWT.
Sementara sistem pergaulan Islam membetuk kehidupan bermasyarakat yang penuh dengan suasana keimanan dan amar makruf nahi munkar, bukan masyarakat hedon yang materialistik.
Dengan demikian, filisida maternal tidak dapat diselesaikan hanya dengan bimbingan psikologi semata, tetapi harus ada perubahan sistemik yang menyentuh akar permasalahannya yaitu mengganti sistem sekuler kapitalis yang saat ini diterapkan menuju perubahan kepada sistem yang ideal, yakni penerapan Islam secara kaffah dalam naungan khilafah.
Tentunya perubahan ini hanya akan tercapai dengan adanya dakwah ideologis yang menyeru dan menyadarkan umat terhadap urgensi penerapan syariah. Sebab, hanya dengan syariah manusia akan meraih kemuliaannya.
Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an surah al-A'raf Ayat 96 yang artinya, "Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya."[]

Posting Komentar