-->

TREND KOHABITASI MENGHANCURKAN GENERASI GEN-Z


Oleh : Evi Derni S.Pd

Polres Mojokerto Jawa Timur telah mengungkap kasus mutilasi dengan 310 potongan tubuh korban ditemukan di kawasan hutan Pacet Mojokerto. AKBP Irham kustarto di Mojokerto Senin menyatakan peristiwa tersebut diduga dilakukan oleh tersangka Alfi Maulana terhadap kekasihnya berinisial T. Menurut Ilham motif pembunuhan karena pelaku sering emosi dan marah kepada korban. Puncaknya pelaku tidak dibukakan pintu kost hingga satu jam lamanya. Peristiwa itu memicu pertengkaran hingga akhirnya pelaku menghabisi korban. Usai menikam sang pacar, Alfi mulai memutilasi korban hingga ratusan bagian. Sebanyak 65 potongan tubuh korban dibuang di semak-semak kawasan Pacet, Mojokerto Jawa Timur sementara ada ratusan potongan tubuh lainnya yang disimpan di kos pelaku.(tempo.co 09/09/2025).

Sebuah kasus yang sangat mengerikan yang di awali dengan hidup bersama dalam jangka waktu yang sudah cukup lama yaitu 5 tahun. Bahasanya kohabitasi yang mana istilah penghalusan terhadap kemaksiatan yaitu kumpul kebo. Trend kohabitasi saat ini memang semakin marak. Data dari BKKBN, 346 juta yang melakukan hidup serumah tanpa surat resmi walaupun ada kemungkinan sebagian mereka memang ada yang melakukan nikah siri. Data yang terbanyak dari itu semua khusus untuk kohabitasi ada di daerah Manado. Sebanyak 0,5% atau sekitar 2,788 orang yang melakukan hidup bersama tanpa pernikahan. Dan dari data itu 24,3% nya usia di bawah 30 tahun. Berarti yang paling besar pasangan muda yang melakukan kohabitasi. Dari usia di bawah 30 tahun masuknya ke kalangan Gen-z.

Fenomena kohabitasi atau kumpul kebo ini tidak lahir secara tiba-tiba tetapi lahir dari liberalisasi sekuler yang berlangsung secara sistematis dan terstruktur. Ada beberapa penyebabnya. Yang paling banyak karena efisiensi biaya hidup. Kondisi ekonomi yang yang kurang mampu akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama pasangannya untuk memenuhi gaya hidup yang hedon. Namun faktor yang lebih penting lagi adalah lemahnya benteng akidah yang ada pada diri mereka sehingga mudah terpengaruh oleh ide-ide sekuler.

Ternyata banyak faktor lain yaitu sesuatu yang terjadi secara sistemik. Kerusakan yang pertama yang menjadi alasan individu dari Gen-z untuk melakukan kohabitasi juga mulai dari adanya pergeseran makna atau desakralisasi terhadap ikatan pernikahan. Banyak Gen-z yang saat ini memilih untuk tidak menikah. Menganggap pernikahan itu sebagai institusi yang sangat rumit bagi mereka. Bahkan dianggap sebagai penghalang karir dan kesuksesan. Laporan bertajuk Indonesia Gen-z and millennial married planning wedding preparation, walaupun datanya tahun 2023 tapi masih cukup bisa menggambarkan. Disebutkan dari 1087 responden 21% dari kalangan Gen-z tidak berencana menikah. Penelitian ini diambil dari Gen milenial. Kemudian 60 sampai 61% berencana menikah tapi tidak dalam waktu dekat. Padahal mereka berada di tengah gempuran liberalisasi. Kemudian 20-21% saja yang bersedia atau siap menikah dalam waktu dekat.

Selain alasan finansial karena menikah sekarang dengan sistem kapitalis ini ribet, harus mahar sekian puluh juta dan seterusnya, pernikahan juga dipandang hubungan yang banyak aturan. Di samping itu juga ada trauma terhadap pernikahan karena lahir dari keluarga keluarga pernikahan yang broken home. Ini menjadi faktor penyumbang alasan mereka untuk tidak menikah dan memilih untuk kohabitasi. Kohabitasi dianggap sebagai hubungan yang murni yang mencerminkan cinta, ada daya tarik mutualisme tidak perlu lagi ribet dengan aturan suami istri, aturan birokrasi mengurus pernikahan, belum lagi kalau bercerai dengan biaya mahal, pembiayaan anak.

Terlebih lagi di tengah gempuran ide-ide sekuler, menyebabkan Gen-z memiliki pandangan sekuler liberal. Dari tontonan-tontonan, media-media para influencer yang masih menyuarakan child free Wood, begitupun film-film drakor yang menggambarkan kehidupan kohabitasi itu. Bahkan ada istilah yang mengerikan di kalangan Gen-z misalnya fwb (friend with benefit). Jadi berteman hanya semata-mata keuntungan yaitu seksualitas.sehingga tidak perlu lagi status pernikahan bahkan hubungan kekasih pun tidak perlu selama mereka mendapatkan benefit sama-sama terpuaskan naluri seksualnya.

Sementara di level institusi keluarga kita melihat profiling keluarga saat ini sudah sangat lemah. Banyak orang tua yang menganggap bahwasanya gaya hidupnya enggan menegur,membimbing termasuk kasus mutilasi diatas. Bahwa ayahnya tahu kenal yang memutilasi itu mereka akan menikah dan Mereka ternyata sudah serumah selama 5 tahun. Keluarga sudah tidak memberikan gambaran tentang sakralisasi pernikahan. Bagaimana cara memilih pasangan bahwa pernikahan itu harusnya seperti apa.

Selain institusi keluarga tentu juga ada peran masyarakat, adanya pembiaran di kalangan masyarakat. Kenapa bisa hidup bersama tanpa menyerahkan kartu keluarga atau identitas lain kepada RT setempat juga dengan tetangganya. Praktek kohabitasi ini menjadi normalisasi di lingkungan masyarakat setempat.

Jauh lebih penting lagi gagalnya peran Negara dalam sistem pendidikannya melahirkan generasi, di mana dalam kasus ini korban adalah seorang Muslimah lulusan pondok juga pakai kerudung tetapi dengan pendidikan sekuler negara gagal membentuk sebuah sistem pendidikan yang memiliki karakter aqidah yang kuat, kepribadian Islam pada generasi muda yang ada. Negara juga abai terhadap media yang merusak generasi bahkan negara membuka ruang yang luas bagi industri hiburan seperti drakor dan media lain dengan alasan sebagai investasi atau pemasukan Negara.

Tentu kita tidak ingin kondisi ini terus berlanjut karena dampaknya kian hari kian mengerikan saja. Ada lima hal yang harus dilakukan oleh anak-muda baik dari kalangan Gen milenial ataupun Gen-z khususnya yang belum menikah pada umumnya. Yang pertama : Pemuda muslim memperkuat iman. jangan sampai hanya sekedar menjadi objek bagi gaya hidup liberal atau trend trend sekuler yang ada. Perkuat iman, bentengi diri dengan pemahaman-pemahaman Islam, menjadikan identitas Islam sebagai identitas utama ,sehingga bisa menyadari kohabitasi ini bukanlah tren yang harus diikuti, justru hal ini merupakan budak syahwat. Padahal jelas di dalam Islam bahwa zina adalah bagian dari dosa besar. 

Kemudian yang kedua: berkumpul dengan circle circle yang positif, carilah komunitas komunitas kebaikan yang itu bisa membawa para anak muda pada arah kebaikan. karena kalau berjuang sendiri pasti terasa berat di tengah derasnya arus liberalisasi pergaulan yang sangat masif. Kemudian karena anak gen z adalah orang-orang yang lahir dengan media sosial untuk menciptakan perubahan. Jangan jadikan media sosial justru untuk mengikuti trend toxic hingga terbawa arus toxic. Gen-z harus speak up baik di media sosial maupun di sekitar lingkungannya. maka ketika melihat ada orang-orang yang melakukan kohabitasi, jangan diam menormalisasi sebagai sebuah tren.

Dan yang terakhir kita harus menyadari persoalan ini adalah persoalan sistemik bukan hanya penyimpangan di kalangan anak muda saja. bukan semata-mata merubah level gaya hidup secara personal tapi harus berujung pada perubahan sistemik. Sejatinya persoalan ini adalah persoalan sistemik maka solusinya pun harus sistemik yaitu mengganti sistem kapitalis sekuler liberal yg d terapkan saat ini dengan sistem Islam yang mulia secara kaffah,penerapannya dalam sebuah Negara.
Wallahu a'lam bishowab.