DPR DALAM ISLAM, ADA ATAU TIDAK?
Oleh : Evi Derni S.Pd
Demonstrasi di berbagai daerah mewarnai penghujung akhir bulan Agustus 2025 lalu. Semula memprotes tunjangan anggota DPR yang bernilai fantastis, pendapatan legislator ini meningkat setelah menerima tunjangan perumahan 50 juta rupiah per bulan, besaran uang kenegaraan dan reses anggota DPR juga meningkat. Pendapatan besar yang dianggap tak sebanding dengan kinerja DPR menyulut kemarahan warga, amarah warga makin menjadi-jadi setelah aksi anggota DPR yang berjoget-joget saat sidang tahunan MPR pada Jumat 15 Agustus 2025. Masyarakat mengecam tindakan legislator berjoget-joget di tengah situasi ekonomi yang menghimpit rakyat. Alih-alih merespon dengan empati sejumlah anggota DPR justru malah mengeluarkan pernyataan yang dinilai tak merepresentasikan kepentingan rakyat.(tempo.com 02/09/2025).
Seruan pembubaran DPR harus kita lihat sebagai ekspresi dari puncak kekesalan rakyat terhadap DPR, terhadap performance yang terjadi selepas ini. Ada dua hal yang berlangsung hampir bersamaan yang pertama adalah keterkejutan rakyat setidaknya di beberapa daerah yang baru menyadari bahwa PBB P2 perkotaan dan pedesaan naik berlipat-lipat, di Pati naik 250%, di Bone sampai 40%, di Cirebon sampai 1000%, di Jombang bahkan sampai 1200%. Yang kedua di saat yang sama diumumkan kenaikan macam-macam tunjangan kepada anggota DPR dan anggota DPR merespon begitu rupa dengan menari joget dan ini menusuk hati rakyat. Bagaimana tidak di saat yang sama Mereka ditekan dinaikkan pajaknya sementara DPR justru dinaikkan gajinya. Dan kemudian bertambah lagi kekesalan itu setelah tahu bahwa DPR tidak bayar pajak atau dibayarkan oleh Negara. inilah situasi yang diduga menjadi pemicunya.
Muncul pertanyaan besar, pernahkah DPR membuat kebijakan yang berpihak pada rakyat? DPR membuat omnibuslow yang juga diprotes, undang-undang IKN yang melegalkan pembangunan ibukota baru yang sama sekali tidak ada urgensinya dengan memakan biaya sampai ratusan bahkan triliunan, kemudian diam saja dengan proyek-proyek mercusuar, kereta cepat yang sekarang nombok puluhan miliar bahkan disebut-sebut sampai triliunan, tidak ada suara yang membela mereka sementara ada kriminalisasi terhadap para ulama, kemudian ada pelanggaran HAM juga tidak tampak, termasuk pelemahan KPK itu ada andil DPR karena KPK undang-undangnya dirubah kemudian mengalami penurunan kinerja begitu rupa. Jadi yang dibayangkan bahwa legislatif sebagai penyeimbang eksekutif tidak ada, yang ada adalah menjustifikasi atau melegitimasi seluruh kebijakan eksekutif. Kekacauan kekacauan itu kemudian mengkulminasi.
Secara teori DPR atau wakil parlemen berfungsi yang pertama : legislasi (membuat hukum), kemudian yang kedua : koreksi (check and balance),ketiga adalah bud getting dan tentu saja rakyat melihat bahwa dalam keputusan budgeting banyak keputusan-keputusan yang menguntungkan mereka tetapi merugikan rakyat. Belum lagi jual beli di balik itu termasuk lahirnya undang-undang minerba, undang-undang IKN, keputusan APBN di mana pajak ditetapkan sekian persen namun koreksi tidak terlihat. kalaupun ada koreksi tidak jelas apa ukurannya. maka ketika kepentingan DPR dipenuhi oleh eksekutif, tidak ada yang salah malah justru dibela. Sebagaimana perubahan undang-undang KPK.
Fungsi DPR membuat undang-undang, secara langsung bertentangan dengan Islam. karena di dalam Islam kedaulatan ada ditangan syariat bukan di tangan wakil rakyat. fungsi DPR yang sangat dibutuhkan yaitu sebagai penjaga kebijakan dari Negara, fungsi koreksi. Jika tidak ada maka sistem pemerintahan akan menjadi diktator sehingga fungsi DPR sebagai pengkoreksi pemimpin bisa sejalan dengan Islam. Namun disebut Majelis Ummat.
Dalam sistem demokrasi atau sistem sekuler sangat berbeda dengan sistem Islam. Bagaimana di dalam Islam yang dicontohkan Baginda Rasulullah Saw, para sahabat yaitu sistemnya sangat sederhana ada eksekutif yang disebut dengan Khalifah yang bertugas melaksanakan seluruh syariat, hukum-hukum Islam secara kaffah. Majelis umat, tugas utamanya melakukan koreksi terhadap apa yang dilakukan oleh Khalifah. Kalau ada kebijakan-kebijakan yang tidak sesuai tinggal dikoreksi saja. majelis ummat hanya memiliki fungsi koreksi, cek and balance , muhasabah lil hukam. Koreksi pada Penguasa sesuatu yang sangat fundamental. sangat penting yaitu amar ma'ruf nahi mungkar. Ma'ruf itu yang muafiq/hufari yang sesuai dengan ketentuan hukum syari'at, mungkar itu yang mukhalif (bertentangan dengan hukum syara') jadi ukuran nya sangat jelas.
Untuk menjadi anggota majelis umat juga tidak berbiaya mahal karena semua hukum-hukumnya sudah jelas tinggal dilaksanakan. Maka sangat berbeda dengan DPR, sebab tidak semua hal itu harus dimusyawarahkan. Jika hukum syariat menetapkan Haram atau wajib maka tidak akan dimusyawarahkan. misalnya zina, Khamar, riba dilarang. salat wajib, puasa wajib, bekerja mencari nafkah bagi laki-laki itu wajib tinggal dilaksanakan tidak lagi dimusyawarahkan dan yang melaksanakan adalah Khalifah.
Sesuatu dikoreksi oleh majelis umat sebagai lembaga meskipun individu atau kelompok adalah boleh. misalnya partai politik, masalah-masalah yang sifatnya membutuhkan kepakaran tidak perlu dimusyawarahkan. akan merujuk kepada pendapat pakar. ketiga jika ada yang dimusyawarahkan itu sifatnya mubah saja bagi perkara perkara-perkara yang mubah.
Wallahu a'lam bishowab.
Posting Komentar