Tentara Islam Sangat Dinanti di Gaza
Oleh : Ummu Farras
Agresi Zionis terus berlanjut, sementara pemadaman listrik, internet, dan telekomunikasi telah sepenuhnya terputus di Gaza sejak 18 September 2025. Dilansir dari www.tribunnews.com, hilangnya akses internet ini bukan hanya masalah teknis, tetapi merupakan strategi militer Israel yang secara sengaja menyerang infrastruktur penting, termasuk jalur komunikasi utama. Dampaknya sangat besar bagi warga sipil, yang membuat banyak keluarga terpisah tanpa berita, organisasi kemanusiaan kesulitan dalam memantau para korban, dan rumah sakit mengalami kendala dalam mengatur evakuasi pasien.
Mengingat pengumuman bahwa Gaza dikuasai oleh Israel pada 10 Agustus, banyak warga sipil didorong untuk pindah dan meninggalkan Gaza. Untuk mempercepat proses migrasi, militer Israel mengumumkan pembukaan jalur Salah al-Din setelah serangan darat yang masif pada Selasa (16/9). Namun kenyataannya, pengumuman pembukaan jalur Salah al-Din terasa seperti janji kosong yang ditempeli kebohongan, karena kondisi jalur evakuasi dan lokasi tujuan tidak menjamin keamanan atau kehidupan yang layak. Banyak pengungsi tetap mengalami kekurangan makanan, air bersih, obat-obatan, serta berada dalam risiko serangan di daerah yang diklaim sebagai zona aman. Ini semua merupakan propaganda Israel untuk mengosongkan daerah strategis dari keberadaan warga sipil.
Meski ada gelombang boikot internasional terhadap Israel, hingga kini tidak membawa perubahan di Gaza. Ini menunjukkan bahwa boikot tersebut hanyalah sekadar hiasan politik. Oleh karena itu, Israel akan tetap bertahan meskipun ada boikot, demi mencapai tujuannya dalam rencana zionis, yakni membangun negara Israel yang besar dengan menjadikan Palestina sebagai pusat kekuasaannya. Pemutusan akses informasi di Gaza merupakan strategi jahat untuk menutupi kebiadaban mereka dengan membungkam media dan memutus jalur komunikasi, berharap dunia tidak menyaksikan penderitaan menyedihkan rakyat Gaza. Dengan demikian, mereka secara sadar mengakui bahwa kebiadaban yang dilakukan tidak dapat dibenarkan, sehingga perlu disembunyikan dari pandangan publik global.
Untuk mencapai tujuan akhirnya, Israel sepenuhnya didukung oleh negara superpower nomor satu di dunia, yaitu Amerika Serikat, yang merupakan tempat bagi para kapitalis dunia yang terhubung dengan gerakan zionis. Dukungan ini menjadikan konflik di Gaza bukan hanya sekadar permasalahan kemanusiaan, melainkan bagian dari perebutan kepentingan ideologis global (ideologi kapitalisme). Dalam sistem kapitalisme, boikot terhadap Israel sering kali hanya menjadi hiasan politik, karena pada kenyataannya kerja sama dengan pihak Yahudi tetap berlangsung, baik secara langsung maupun tanpa terlihat, selama masih dianggap menguntungkan.
Dengan demikian, kejahatan perang Israel yang semakin brutal tidak akan berhenti hanya karena kecaman, perdamaian, atau yang sejenisnya. Diperlukan solusi yang tepat; tidak cukup hanya dengan diplomasi atau mengandalkan lembaga internasional yang sejak awal tampak tidak netral. Salah satu jalan keluar adalah dengan menggerakkan kekuatan nyata umat Islam dalam satu kesatuan di bawah satu komando, yaitu khalifah.
“Sesungguhnya imam atau Khalifah adalah perisai (junnah), orang-orang berperang di belakangnya dan menjadikannya pelindung. Jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah SWT. dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya, ia harus bertanggung jawab atasnya.” (HR. Muslim)
Oleh karena itu, perang melawan zionis hanya bisa berhasil jika dipimpin oleh sebuah entitas politik yang mewakili seluruh umat Islam, yaitu Khilafah. Khilafah bukan hanya sebatas ideologi, tetapi juga merupakan kebutuhan mendesak untuk melindungi darah, martabat, dan tanah umat Muslim, serta melawan penjajah melalui peperangan (jihad). Gaza dan Palestina akan benar-benar merdeka dari penjajahan hanya dengan adanya persatuan umat yang mampu membangun kekuatan militer, yang dipimpin oleh otoritas politik sah dalam kerangka jihad fii sabilillah di bawah pimpinan seorang khalifah.
Dengan demikian, jihad dalam Islam merupakan kewajiban bersama yang memerlukan organisasi strategis dan keabsahan dari pemimpin yang diakui oleh semua umat. Oleh sebab itu, umat harus sadar untuk mengembalikan perisai yang telah hilang, karena tanpa perisai ini, umat Islam akan terus terpecah, lemah, dan hanya dapat melihat penderitaan sesama tanpa kemampuan untuk memberikan perlindungan yang nyata.
Dalam sejarah Islam, terlihat bahwa Yahudi adalah kelompok yang paling keras permusuhannya terhadap umat Muslim. Allah SWT menyatakan dalam QS. Al-Maidah: 82. "Sungguh, kamu akan menemukan bahwa orang-orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang beriman adalah orang-orang Yahudi dan para musyrik. "
Dengan demikian, kebebasan Gaza tidak cukup hanya dengan boikot, tetapi memerlukan tindakan nyata dalam bentuk perlawanan yang terorganisir melalui jihad fii sabilillah dalam gerakan politik khilafah ‘ala minhajin nubuwah. []
Posting Komentar