Solusi Dua Negara Adilkah Bagi Palestina?
Oleh : U Diar
Konflik akibat kependudukan paksa berkepanjangan di Palestina menarik atensi publik, baik secara personal ataupun secara kelembagaan. Pembicaraan mengenai bagaimana penyelesaian pendudukan tersebut bahkan sangat sering diangkat dalam pembicaraan internasional, hingga tercetus "Solusi Dua Negara".
Jikalau didengar sekilas, usulan ini seakan-akan merupakan jalan tengah yang seakan bisa meredam keadaan. Namun, apakah benar demikian? Maka untuk menjawab hal tersebut perlu dicermati banyak hal, yakni: bagaimana awal mula kependudukan di Palestina terjadi, apa maksud solusi dua negara itu sebenarnya, dan bagaimana seharusnya kependudukan atas Palestina diselesaikan.
Berkaitan dengan awal mula kependudukan, sejarah sebenarnya telah mengetahui bahwa Palestina sejak awal adalah sebuah negeri yang sudah dihuni oleh manusia dan ada peradaban di sana. Khalifah Umar Bin Khattab pada tahun 637 M telah membebaskan Palestina dan menjadikannya sebagai bagian dari wilayah Islam. Dan di sana tetap ada kehidupan damai antar umat beragama.
Pasca perjanjian Balfour 1917, kaum Yahudi mulai memasuki Palestina. Zionis mulai bergerak untuk menguasai tanah Palestina dan dzalim kepada penduduk setempat. Bahkan pada tahun 1948 di bulan Mei, terjadi pengusiran besar-besaran terhadap penduduk asli yang kemudian tanah tersebut diambil alih dan dijadikan bagian dari wilayah yang pada akhirnya dikuasai oleh entitas Zionis. Kejadian serupa terus berulang, bahkan hingga 2025 ini dunia melihat bagaimana Palestina, terutama Gaza terus menerus didzalimi secara fisik tanpa daya melawan. Dunia juga melihat, area di Palestina yang dihuni penduduk asli semakin menyempit, sementara wilayah yang diakui sebagai milik Zionis semakin luas.
Dari sini, maka solusi dua negara ini justru menjadi pertanyaan besar. Apalagi jika yang dimaksud dengan solusi dua negara itu disamakan dengan pengakuan untuk menghormati posisi entitas-entitas Zionis yang telah menguasai hampir 78% wilayah asli Palestina, dengan 22% sisanya sebagai wilayah bagi penduduk aslinya. Apakah tidak aneh solusi seperti ini? Apakah di tempat-tempat lain ada negara terjajah yang kemudian menuntut kemerdekaan lalu mendapatkan kemerdekaan tersebut dengan syarat memberikan sebagian besar wilayahnya untuk diakui sebagai wilayah penjajah?
Maka tawaran solusi dua negara dengan pola demikian adalah luka yang kembali ditorehkan bagi penduduk Palestina. Selama ini mereka bertahan dengan kejahatan penjajah yang sudah di luar nalar kemanusiaan. Mereka bertahan untuk terus mempertahankan tanah suci kaum muslimin sendirian, tanpa dukungan militer dari saudara seimannya di negeri lain yang sebenarnya ada kekuatan militernya. Lalu ditengah pertahanan mereka yang sudah luar biasa itu, dideraskan tawaran solusi dua negara disertai seruan menghormati sekaligus menjamin keamanan bagi entitas kependudukan. Bukankah ini seperti mengabaikan derita berkepanjangan akibat pendudukan paksa di sana? Tidakkah pernah sampai bagaimana anak-anak dan perempuan meninggal tanpa tahu kenapa mereka diserang? Tidakkah terlihat seberapa parah hancurnya kota mereka akibat bombardir Zionis?
Sementara pada saat yang sama, Zionis sendiri masih bersikeras menginginkan seluruh tanah asli Palestina menjadi milik mereka. Pada bulan Juli 2024, parlemen mereka menolak pendirian negara Palestina. Suara serupa juga disampaikan oleh perdana menterinya di pertemuan internasional sekelas PBB. Sehingga sekali lagi, solusi dua negara ini diperuntukkan bagi siapa? Penjajah tidak menginginkan, dan apakah penduduk asli juga menginginkan?
Untuk menyolusi persoalan kedzaliman di Palestina dibutuhkan suatu tindakan realistis yang sejalan dengan awal muasal perkaranya. Palestina diserang secara sistematis oleh penjajah bertahun-tahun, maka jika ingin Palestina kembali damai dan selesai penderitanya, penjajahnya yang harus diusir. Apalagi secara keimanan, Alquran surat Al-Baqarah ayat 194 disampaikan untuk menyerang balik penyerang secara seimbang.
Maka pada saat kaum salib menyerang tanah suci Palestina di masa lalu, Shalahuddin Al Ayyubi dengan segenap pasukan militernya bersungguh-sungguh membebaskannya. Ada kekuatan militer yang memang digerakkan dari luar Palestina untuk menolong penduduk setempat dari kedzaliman penyerang.
Namun sayangnya, saat ini hal itu belum terjadi. Belum ada kekuatan militer dari luar yang diperbantukan untuk menolong penduduk asli dari dzalimnnya penjajahan. Maka sebenarnya pertolongan ini yang seharusnya diupayakan. Langkahnya adalah dengan mengetuk hati manusia di sekitar Palestina terutama yang muslim, untuk sadar menyatukan diri menjadi entitas Islam global yang berdaya gerak mengirim bantuan secara militer untuk mengusir penjajah. Jika ada kekuasaan Islam, maka akan ada power sebanding yang mampu mengomando pembebasan Palestina dengan segera. Merebut kembali seluruh wilayahnya, tanpa menyisakan untuk penjajah yang tidak berhak atasnya. []

Posting Komentar