Seberapa Penting Perampasan Harta Ilegal?
Oleh : Rinica M
Harta dan tahta adalah dua hal yang menjadi fokus di era serba materialis nan hedonis saat ini. Dengan harta, modal untuk mengembangkan dan meningkatkan kekayaan tersedia. Dengan kekuasaan, semakin diakui eksistensi atas kekayaan dan gaya hidup yang dikehendaki. Maka tak heran jika demi keduanya perbuatan dosa pun diabaikan.
Mereka yang tidak peduli halal dan haram, pada akhirnya mengambil jalan pintas untuk cepat menjadi kaya lagi berkuasa. Dan korupsi dan suap ataupun pendapatan harta ilegal dengan memanfaatkan kekuasaan adalah pilihannya. Padahal dalam Islam keduanya dilarang. Rasulullah bersabda yang artinya: "Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai dalam suatu pekerjaan, lalu kami beri dia suatu gaji, maka yang dia peroleh selain dari gaji adalah harta haram." (HR Abu Dawud). Rasulullah juga bersabda yang artinya: "Laknat Allah atas penyuap dan penerima suap." (HR Ahmad, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi).
Terlebih lagi dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 188, Allah berfirman yang artinya: "Janganlah kalian memakan harta di antara kalian dengan jalan yang batil. Jangan pula kalian membawa (urusan) harta itu kepada hakim supaya kalian dapat memakan sebagian harta orang lain dengan jalan dosa, padahal kalian mengetahui (itu dosa)." Maka segala bentuk cara mendapatkan harta dengan cara yang haram sudah seharusnya ditinggalkan oleh kaum muslimin.
Tak heran jika demi ketaatan kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, Khalifah Umar bin Khattab dahulu sangat tegas dalam mencegah pendapatan haram di antara para pegawainya. Entah itu korupsi, suap, ataupun penyalahgunaan jabatan untuk perolehan harta secara haram. Beliau memberikan penggajian yang layak kepada pegawai sehingga kebutuhan hidup cukup dan tidak terpikir atau tergoda untuk korupsi. Yang masyur dicontohkan adalah tentang besarnya gaji guru di masa itu, yakni sebesar 15 dinar setiap bulan (lihat https://fkip.uad.ac.id/khalifah-umar-ibn-khattab).
Khalifah Umar bin Khattab juga melakukan audit harta pejabat sebelum dan sesudah menjabat. Tentu audit di masa itu dilakukan secara jujur, sebab di masa beliau Islam diterapkan sebagai aturan hidup, sehingga urusan dosa dan pahala tidak dinafikan dalam setiap kegiatan manusia.
Pada saat masih menjabat, para pejabat di masa itu juga dipantau fluktuasi kekayaannya. Sehingga celah-celah mendapatkan atau mengembangkan harta dengan cara yang salah bisa dicegah. Khalifah Umar bin Khattab tidak segan-segan merampas harta pejabat bila terbukti didapatkan dengan jalan menyalahgunakan kekuasaan. Bahkan Abu Hurairah, Sa'ad bin Abi Waqqash, dan juga Khalid bin Walid yang sedemikian besar jasanya di masa perluasan Islam, tak luput dari ketegasan Khalifah. Hadiah yang diperoleh oleh mereka pada saat posisinya sedang menjadi pejabat, diambil semua dan diberikan kepada baitul mal saat itu.
Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa perampasan harta ilegal dari pejabat, termasuk koruptor itu penting. Bukan hanya karena sebatas kerugian yang ditimbulkan, tapi lebih kepada ketundukan pada apa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya. Sebab bagi yang yakin, setiap harta kelak akan dipertanyakan dari mana dapatnya dan kemana habisnya. Setiap orang pun akan ditanya tentang perbuatannya, terutama jika menimbulkan kezaliman pada orang lain. Jika akibat korupsi, lalu banyak hal menjadi terlantar, banyak hal tidak bisa diselamatkan, maka jelas-jelas itu kerugian yang kelak akan menyusahkan di akhirat.
Betapa banyak manusia yang hidupnya sulit karena akses mereka untuk berkembang tidak ada lantaran dananya dikorupsi. Betapa banyak layanan publik yang menjadi ala kadarnya karena dananya diamputasi. Maka menjadi pilihan penting jika aset koruptor dirampas secara tegas seperti di masa Khalifah Umar. Dan seharusnya konsep serupa juga dilakukan pada zaman modern saat ini. Harta negara yang jelas-jelas dikorupsi harusnya dikembalikan, diambil kembali dari para koruptor. Dan untuk itu perlu kekuatan hukum, sehingga RUU tentangnya semestinya ada, diberlakukan, dan bersifat mengikat.
Namun sayangnya iklim aturan yang berlaku saat ini sangat berbeda dengan iklim kekuasaan yang berlaku di masa Khalifah Umar bin Khattab. Dalam iklim berhawa sekuler saat ini, dosa tidak lagi ditakuti, sehingga berburu harta dengan jalan haram ramai dilakukan. Koruptor tidak takut tindakan ketahuan hukum, sebab sebagian besar aset mereka masih selamat dan bisa dilanjutkan dinikmati setelah bebas. Bahkan koruptor semakin berani, berkolusi jahat berjamaah mengarah pada penguasaan sumber daya alam untuk kepentingan kelompoknya. Gerak mereka semakin membesar karena ada yang berhasil disuap demi melancarkan aksinya. Walhasil kerugian bagi rakyat semakin besar.
Di masa Khalifah Umar, Islam adalah nafas kehidupan. Halal haram dipahami oleh masyarakat, sehingga perbuatan dosa dan yang mengarah ke sana dihindari atas dasar ketakwaan pribadi dan kepedulian masyarakat yang saling mengingatkan. Tidak ada yang berani berkolusi untuk memelintir aturan. Tidak ada yang berani melanggar aturan Allah dan Rasul-Nya. Sehingga kesejahteraan bisa dirasakan setiap orang sesuai haknya. Bukankah kehidupan seperti ini yang seharusnya diupayakan hadir kembali? []

Posting Komentar