Pelik, Program MBG Dihantam Segudang Masalah
Oleh : Sri Wahyu Anggraini (Guru dan Aktivis Muslimah Lubuklinggau)
Lebih dari 5000 kasus keracunan makanan yang dikaitkan dengan program makan bergizi gratis (MBG) telah dilaporkan, angka ini menjadi alarm keras bahwa program tersebut perlu dievaluasi total, pemerintah di desak melakukan moratorium kata penghentian sementara program makan bergizi gratis. Namun wakil menteri sekretaris negara, pemerintah enggan menghentikan MBG meski ribuan penerimanya mengalami keracunan. Padahal sejak diluncurkan pada 6 Januari- 19 September 2025 tercatat 5.626 kasus keracunan di berbagai wilaya, program yang semula dirancang untuk meningkatkan status gizi masyarakat ini justru menghadapi banyak persoalan. Persiapan yang tidak matang mulai dari regulasi, keamanan pangan, kecukupan nutrisi hingga monitoring dan evaluasi menjadi sumber masalah (kompas.id/20/09/2025).
Apalagi adanya dugaan Baki stainless steel (food trays) impor yang digunakan dalam MBG diduga memakai lemak babi sebagai pelumas produksi. Hal tersebut menjadi sorotan LPPOM MUI karena menimbulkan keraguan soal kehalalan makanan. kondisi ini diperparah dengan rendahnya serapan anggaran badan gizi nasional ,dari total Rp 71 triliun yang disediakan baru 18,6% yang terserap, dana yang terserap pun nyatanya masih memiliki persoalan akibat salah sasaran (Tempo.co/17/09/2025).
Program MBG ini sejak awal diluncurkan sudah sarat dengan kepentingan politik, alih-alih dirancang sebagai bentuk ri'ayah atau pengurusan-urusan rakyat secara tulus oleh negara MBG lebih menonjol sebagai program populis berparadigma "proyek dan janji politik". Persoalan MBG yang kompleks ini tidak bisa dilepaskan dari adanya konflik kepentingan, Program dengan anggaran jumbo membuka peluang bagi segelintir pemodal untuk ikut menguasai rantai pasok, mulai dari pengadaan bahan pangan, logistik hingga wadah makan impor. Dengan pola ini MBG bukan lagi soal pemenuhan hak dasar rakyat melainkan ladang bisnis menguntungkan yang rawan praktik korupsi. Rakyat akhirnya hanya menjadi objek percobaan kebijakan sementara keuntungan mengalir ke kantong kapitalis, semua ini merupakan konsekuensi logis dari sistem kepemimpinan sekuler demokrasi yang memandang urusan rakyat sebatas alat meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Sistem ekonomi kapitalisme yang diterapkan pun kosong dari paradigma ruhiyyah tanpa landasan iman dan akidah. kebijakan publik mudah terseret oleh logika keuntungan jangka pendek, membuka celah kerusakan dan memberi ruang luas bagi para kapitalis untuk menyetir kekuatan politik demi kepentingan mereka. Akhirnya rakyat lah yang dikorbankan bahkan sampai nyawa melayang akibat keracunan massal, karena itu masalah MBG bukan sekedar soal teknis pelaksanaan melainkan soal paradigma dasar yang melandasinya, satu-satunya jalan keluar adalah mengembalikan kepemimpinan yang berparadigma ri'ayah syari'iyyah yaitu kepemimpinan islam yang jadikan amanah mengurus rakyat sebagai kewajiban bukan sekedar alat politik atau ladang bisnis.
Dalam paradigma kepemimpinan islam, seorang pemimpin diposisikan sebagai raa'in (Pengurus urusan rakyat) dan junnah ( perisai pelindung bagi umat) paradigma ini kental dengan dimensi Ruhiyyah sebab kepemimpinan bukan semata jabatan duniawi melainkan amanah besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Dengan landasan tersebut Negara Islam tidak akan pernah memandang rakyat sebagai objek politik atau sumber keuntungan ekonomi melainkan sebagai amanah yang wajib dijaga darah, harta, dan kehormatannya. Negara yang dipimpin dengan ruh Islam akan menjamin kesejahteraan rakyat secara adil dan merata dengan standar yang tinggi, jaminan ini lahir dari penerapan aturan Islam secara Kaffah termasuk dalam bidang ekonomi.
Dalam Islam instrumen utama yang menopang kesejahteraan Rakyat adalah Baitul mal yaitu institusi keuangan negara yang mengelola harta sesuai hukum syara. Baitul mal Khilafah bukan sekedar kas negara tetapi arsitektur keuangan yang kokoh mengatur pos pemasukan dan pengeluaran berdasarkan ketentuan syariat sehingga terwujud distribusi kekayaan yang sehat di tengah masyarakat. Dengan Baitul mal negara Khilafah mampu memenuhi kebutuhan dasar setiap individu rakyatnya baik pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, hingga keamanan tanpa kecuali.
Baitul mal juga memastikan tidak ada akumulasi kekayaan hanya pada segelintir atau pemodal karena seluruh mekanisme distribusi harta berjalan sesuai koridor syariat. Hal ini membuat kesejahteraan yang hakiki benar-benar dapat dirasakan seluruh lapisan masyarakat.
Islam juga menutup rapat belah penyimpangan dan penyelewengan melalui tiga pilar penerapan sistem Islam yakni; pertama, individu yang bertakwa sehingga setiap muslim terdorong untuk jujur amanah dan takut kepada Allah dalam setiap aktivitasnya. kedua, masyarakat yang menjalankan budaya Amar ma'ruf nahi mungkar dan, ketiga negara yang menerapkan syariat Islam secara sempurna dengan seluruh kebijakan berpijak pada aturan Allah bukan kepentingan kelompok atau pemodal. Dengan tiga pilar ini sistem Islam mampu menutup ruang korupsi, kolusi dan segala bentuk penghianatan, sehingga jaminan kesejahteraan benar-benar bisa diwujudkan.
Sejarah Khilafah memberikan banyak contoh nyata jaminan kesejahteraan yang luar biasa pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, rakyat hidup dalam kesejahteraan hingga tidak ada orang miskin yang mau menerima zakat. Ini adalah bukti historis bahwa sistem Islam tidak hanya ideal di atas kertas tetapi terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan hakiki. Dengan demikian hanya paradigma kepemimpinan Islam yang berbasis pada Ruhiyyah, arsitektur keuangan Baitul mal serta penerapan syariah secara Kaffah yang benar-benar mampu menjamin kesejahteraan rakyat secara adil dan merata.
Wallahu A'lam Bisshowab.

Posting Komentar