Magang Berbayar Cermin Kelam Politik Ekonomi Kapitalisme
Oleh : Linda Anisa
Program magang berbayar bagi fresh graduate kini tengah digencarkan pemerintah sebagai solusi atas tingginya angka pengangguran muda. Menteri Ketenagakerjaan, Ida Fauziyah, menyatakan, “Program ini memberikan kesempatan bagi lulusan baru untuk mendapatkan pengalaman kerja nyata di dunia industri. Mereka akan dibayar sesuai UMP,” (CNN Indonesia, 2 Oktober 2025).
Namun di balik narasi yang terlihat optimis ini, tersimpan potret suram nan kelam atas ekonomi kapitalistik yang faktanya tak mampu menyediakan lapangan kerja bermartabat secara menyeluruh bagi para pencari kerja. Data Bank Dunia Oktober 2025 bahkan menyebut, “Satu dari tujuh anak muda di Indonesia dan China kini menganggur.” (World Bank). Pernyataan ini menjadi penanda nyata kegagalan sistemik: ketika harta hanya berputar di tangan segelintir orang, mayoritas rakyat — termasuk para sarjana baru — terjebak dalam siklus pengangguran, ketergantungan, dan kerja sementara seperti magang berbayar. Jauh dari menyelesaikan akar masalah, kebijakan ini justru memperpanjang ilusi bahwa solusi kapitalistik dapat mengobati luka ekonomi yang ditimbulkannya sendiri.
“Magang Berbayar” hanyalah Bantuan Parsial
Pemerintah mengumumkan bahwa program magang berbayar akan resmi dibuka pada 15 Oktober 2025, dengan peserta fresh graduate dan akan mendapatkan gaji setara UMP selama enam bulan (kumparan). Dalam tahap awal, jumlah peserta dibatasi 20.000 orang, dan skema “link and match” antara perguruan tinggi dan dunia industri diterapkan agar magang relevan dengan kebutuhan industri (detiknews).
Magang berbayar, dalam upaya menuntaskan masalah pengangguran bagi fresh graduate, berfungsi sebagai sandaran darurat: memberikan sedikit nafkah bagi lulusan baru sebelum benar-benar mendapatkan pekerjaan formal. Tapi kebijakan semacam ini tidak menyentuh akar masalah atas penyebab kegagalan negara dalam mengelola sumber daya untuk kepentingan seluruh rakyat, kegagalan menciptakan ekonomi produktif yang menyerap banyak tenaga kerja, dan kegagalan negara mewujudkan kepemilikan umum yang adil. Karena itu, magang berbayar bersifat tidak menyeluruh sebab hanya sebagian kecil saja yang menerima manfaat, sementara sebagian besar masih terjebak dalam pengangguran atau pekerjaan tak layak.
Politik Ekonomi Islam Menawarkan solusi
Tak bisa dipungkiri arah solusi yang sejati hanya bisa datang dari sistem Islam yang mendasari politik ekonomi dengan keadilan pembagian harta, peran negara sebagai pelayan rakyat, dan kepemilikan bersama atas sumber daya alam. Semua dapat terjadi karena dalaIslam Hak dan Kepemilikan bersifat jelas. Nabi ﷺ mengajarkan model kepemilikan harta yang terbagi kepada 3 kepemilikan yakni : milik individu, milik umum, dan milik negara. Sumber daya alam seperti sungai, hutan, laut, tambang adalah harta milik umum atau milik negara yang tidak boleh dilepas begitu saja kepada swasta tanpa kendali negara. Negara sebagai pengelola utama harus mengoptimalkan pemanfaatannya demi kemaslahatan rakyat.
Negara juga wajib menyediakan lapangan kerja yang halal dan produktif bagi setiap laki-laki balig dan warga masyarakat. Jika perlu, negara membuka proyek-proyek sektor pertanian, perikanan, perkebunan, kehutanan, perikanan rakyat dari harta milik umum agar rakyat tidak tergantung pada simpan pinjam atau lembaga swasta semata.
Bila modal awal diperlukan untuk membuka usaha rakyat, negara dapat menerapkan skema iqtha’ yakni memberikan tanah atau modal dalam pengelolaan rakyat dengan pengawasan negara sehingga rakyat menjadi pemilik sekaligus pelaku usaha kecil yang produktif. Untuk sektor tambang dengan teknologi tinggi, negara menyiapkan infrastruktur dan teknologi, rakyat menjadi pekerja terampil, bukan menjadi korban eksploitasi.
Hasil pengelolaan harta milik umum dan negara digunakan sebagai pendapatan negara (baitulmal), yang selanjutnya digunakan untuk menjamin layanan publik seperti pendidikan gratis berkualitas, kesehatan gratis, perumahan layak, subsidi kebutuhan pokok. Dengan demikian, rakyat tidak dibebani pajak tinggi atau pungutan liar hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar.
Kebutuhan atas Revolusi Sistemik
Magang berbayar boleh menjadi langkah simetri kecil untuk melepas beban akut pengangguran lulusan baru, tetapi ia tidak menggantikan sistem yang rusak. Jika negara hanya memberikan “uang saku sementara” tanpa merombak rel ekonomi yang timpang, maka generasi masih akan terus melahirkan pengangguran baru, kesenjangan baru, dan frustrasi baru. Sistem kapitalis-sekuler memang menjadikan rakyat sebagai objek, bukan subjek.
Sudah waktunya kita mengubah paradigma bahwa ekonomi dan politik bukan untuk melayani pasar semata, melainkan untuk melayani manusia. Hanya dengan penerapan syariat ekonomi Islam secara kaffah lah baru kita bisa menyelamatkan generasi muda dari jebakan magang sementara dan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur.
Wallahu a‘lam bi ash-shawab.
Posting Komentar