-->

Krisis Moral, Cermin Buram Demokrasi-Kapitalisme


Oleh : Aktif Suhartini, S.Pd.I., Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok 

Sangat mengkhawatirkan, demonstrasi kembali terjadi di berbagai daerah sejak Kamis, 28 Agustus 2025. Demonstrasi ini bermula dari unjuk rasa buruh dan mahasiswa di depan Gedung MPR/DPR RI, Senayan, yang memprotes tunjangan fantastis bagi anggota parlemen. Gelombang kemarahan rakyat semakin meluas, disertai penjarahan rumah pejabat dan wakil rakyat. Para pendemo muak melihat gaya hidup hedonis pejabat dan anggota DPR yang gemar pamer kekayaan, sementara rakyat kian tercekik oleh pajak dan korupsi yang merajalela.

Hukum pun tidak berdaya terhadap para koruptor. Ia justru sering dijadikan alat penguasa untuk membungkam suara-suara kritis terhadap kebijakan zalim. Inilah akibat ketika hukum dibuat berdasarkan kepentingan manusia, bukan atas dasar keadilan sejati. Saat kemarahan rakyat tak lagi terbendung, demonstrasi anarkis menjadi luapan frustrasi terhadap sistem yang tak berpihak kepada mereka.

Kepala Badan Reserse Kriminal Polri, Komjen Syahardiantono, mengumumkan hasil penindakan hukum terhadap kerusuhan tersebut. Dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim Polri, Rabu, 24 September 2025, sebagaimana yang diberitakan Kompas.com, da 959 tersangka, dengan rincian 664 dewasa dan 295 anak. 

Fakta bahwa 295 anak menjadi tersangka tentu mengundang keprihatinan mendalam karena Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai hal ini berpotensi melanggar HAM, sebab banyak proses penetapan tersangka tidak memenuhi standar UU Peradilan Anak. Komnas HAM pun menegaskan, banyak anak yang hanya “ikut-ikutan” atau terpengaruh media sosial, namun tetap diperlakukan tidak manusiawi bahkan terancam dikeluarkan dari sekolah.

Fenomena ini memperlihatkan bahwa generasi muda, khususnya Gen Z, mulai sadar politik dan menuntut perubahan atas ketidakadilan. Namun, kesadaran itu justru dikriminalisasi dengan label “anarkis”. Ini adalah bentuk pembungkaman agar generasi muda tidak kritis terhadap penguasa. Padahal, media sosial turut memainkan peran besar dalam membentuk persepsi mereka. Dalam teori hiperrealitas, representasi digital sering dianggap lebih nyata daripada realitas itu sendiri. Emosi yang diciptakan oleh algoritma media kemudian memengaruhi kesehatan mental, perilaku sosial, bahkan kesadaran politik seseorang.

Inilah efek berbahaya dari ideologi liberalisme yang tanpa sadar telah meracuni masyarakat. Banyak orang, terutama generasi muda, lebih nyaman berinteraksi di dunia maya ketimbang dunia nyata. Akibatnya, peran mereka sebagai agen perubahan peradaban Islam kian melemah. Media sosial, yang dikuasai industri kapitalis, menjebak generasi dalam kesepian, rasa tidak aman (insecure), dan sikap apatis terhadap urusan umat.

Harapan rakyat untuk perubahan pun pupus. Pergantian rezim tak pernah membawa perbaikan berarti. Korupsi tetap subur dalam sistem kapitalisme yang menjadikan manfaat materi sebagai ukuran kebenaran. Para pejabat sibuk memperkaya diri, sementara rakyat terus hidup dalam penderitaan. Demokrasi-kapitalisme hanya memberi ruang bagi suara yang sejalan, dan menyingkirkan mereka yang kritis melalui kriminalisasi.
Padahal, semua ini tak akan terjadi jika pemimpin mau mendengar aspirasi rakyat dan memerintah dengan amanah. Dalam sistem Islam, pemimpin sejati hadir untuk menjamin kesejahteraan, keadilan, dan rasa aman bagi seluruh rakyat tanpa pandang bulu. Negara bertanggung jawab menanamkan kesadaran politik Islam, mendidik generasi agar memahami perannya sebagai pengemban amanah dakwah, bukan sekadar pelampiasan emosi seperti anarkisme.

Sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Islam memiliki solusi hakiki, yakni pemimpin dalam Islam (Khilafah) akan membentuk pemuda dengan pendidikan berbasis aqidah Islam, mengarahkan kesadaran politik mereka untuk memperjuangkan ridha Allah, bukan kekuasaan duniawi. Negara juga berperan aktif dalam mengendalikan penggunaan dunia digital, menyaring konten berbahaya, serta mendorong produktivitas umat dalam bidang yang positif dan konstruktif.

Dengan sistem Islam yang kaffah, generasi muda akan kembali pada fitrahnya, menjadi pelopor perubahan, bukan korban arus globalisasi. Dunia akan terasa aman dan penuh keberkahan karena dipimpin oleh pemimpin yang amanah, adil, dan bertanggung jawab di hadapan Allah SWT.[]