Ketika Kesadaran Politik Gen Z Dicap Anarkis
Oleh : Henise
Ratusan anak muda ditetapkan sebagai tersangka. Polisi menyebut mereka pelaku kerusuhan dalam demonstrasi Agustus lalu. Dari 959 tersangka, 295 di antaranya masih di bawah umur. Mereka disebut anarkis, dianggap pembuat onar, bahkan sebagian diproses layaknya kriminal dewasa. Komnas HAM mengingatkan potensi pelanggaran serius, terutama karena ada indikasi intimidasi selama penyelidikan. Namun suara itu tenggelam di antara narasi besar, “Keamanan harus dijaga.”
Ironisnya, sebagian besar anak muda itu hanya menyuarakan keresahan. Mereka turun ke jalan karena muak dengan ketidakadilan yang menumpuk, dengan janji yang terus diulang tapi tak pernah ditepati. Namun yang mereka dapat bukan dialog, melainkan vonis. Bukan pelukan bangsa yang katanya demokratis, melainkan borgol di tangan.
Kritik yang Dibungkam, Kesadaran yang Dianggap Bahaya
Fenomena ini seolah menegaskan bahwa di negeri ini, kesadaran politik bisa dianggap dosa. Ketika generasi muda mulai berpikir, sistem justru resah. Ketika mereka mulai mempertanyakan arah negeri ini, mereka segera dicap pembuat gaduh.
Padahal bukankah sejak kecil mereka diajarkan bahwa bangsa ini berdiri atas kebebasan berpendapat? Bahwa aspirasi rakyat harus didengar? Tapi pada praktiknya, kebebasan itu ternyata bersyarat, "bebas asal sejalan dengan penguasa."
Sistem demokrasi kapitalistik yang diagung-agungkan ternyata hanya ramah pada suara yang mendukung status quo. Siapa pun yang mengusik kepentingan elit akan segera dilabeli ekstrem, anarkis, atau radikal. Inilah wajah nyata kebebasan dalam sistem sekuler, bebas bicara, asal tak menyentuh kepentingan pemilik kuasa.
Gen Z: Tumbuh di Tengah Luka Bangsa
Generasi ini lahir di masa yang penuh paradoks. Mereka tumbuh dengan teknologi di tangan, tapi masa depan di depan mata terasa kabur. Mereka pintar, kritis, dan terhubung, namun juga hidup dalam ketidakpastian ekonomi, pendidikan yang mahal, dan pekerjaan yang makin langka.
Mereka menyaksikan bagaimana kekayaan alam dihisap tanpa ampun, sementara rakyat harus membayar mahal untuk hidup layak. Mereka menyaksikan pejabat saling berebut kursi, sementara rakyat berebut diskon beras. Mereka menyaksikan janji perubahan yang selalu berakhir dengan perubahan wajah, bukan perubahan sistem.
Maka wajar bila akhirnya sebagian dari mereka menolak diam. Tapi sayangnya, sistem kapitalisme yang rapuh ini tak pernah suka dikritik. Ia menakuti dengan pasal, membungkam dengan stigma, dan menundukkan dengan tekanan.
Kebangkitan yang Tak Bisa Dicegah
Kita sedang menyaksikan satu hal besar yang mulai bergerak, kesadaran politik anak muda. Mereka mulai sadar bahwa akar persoalan bangsa ini bukan sekadar korupsi atau pejabat buruk, tapi sistem yang menolak campur tangan Tuhan dalam kehidupan.
Mereka mulai memahami bahwa keadilan sejati tak akan lahir dari hukum buatan manusia yang bisa dibeli. Bahwa kemerdekaan sejati bukan sekadar bebas bicara, tapi bebas dari penguasa zalim dan sistem yang menindas.
Tentu kesadaran seperti ini membuat gelisah mereka yang nyaman di puncak kekuasaan. Karena jika generasi ini benar-benar memahami akar masalahnya, mereka tak akan berhenti di jalanan. Mereka akan bergerak menuju perubahan sistemik dan itulah yang ditakuti.
Islam Menjawab Kegelisahan Generasi
Islam bukan sekadar agama yang mengatur ibadah. Ia adalah sistem hidup yang menata seluruh urusan manusia, dari hubungan pribadi hingga urusan negara. Dalam pandangan Islam, pemuda adalah penjaga umat, bukan objek kriminalisasi. Mereka yang memiliki semangat amar ma’ruf nahi munkar justru dijaga dan diarahkan agar menjadi pembela kebenaran, bukan dimatikan dengan stigma anarkis.
Di masa lalu, para pemuda seperti Mus’ab bin Umair, Ali bin Abi Thalib, dan Usamah bin Zaid memegang peran penting dalam dakwah dan perjuangan Islam. Mereka bukan hanya penganut, tapi pelopor. Dan mereka tidak pernah dipasung. Mereka dibina agar berpikir jernih dan bertindak dengan iman.
Islam menanamkan kesadaran politik sejak dini bahwa tanggung jawab umat adalah mengoreksi penguasa jika menyimpang, bukan menutup mata. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Sebaik-baik jihad adalah perkataan yang benar di hadapan penguasa zalim.” Kalimat itu bukan sekadar nasihat, tapi penegasan bahwa diam di hadapan kezaliman adalah bentuk kematian nurani.
Solusi Hakiki: Kesadaran yang Terarah
Kesadaran politik anak muda adalah hal positif asal diarahkan dengan benar. Tanpa arah, ia bisa berubah menjadi amarah. Tanpa dasar ideologis, ia mudah dimanipulasi. Islam memberi arah yang jelas bahwa perubahan harus lahir dari pemahaman terhadap syariat, bukan sekadar semangat emosional.
Dalam sistem Islam, negara bukan alat kontrol kelompok, tapi pelindung umat. Ia wajib memastikan keadilan ditegakkan, kesejahteraan dijamin, dan penguasa diawasi. Sementara masyarakat dibina agar kritis dan berani menyuarakan kebenaran tanpa takut dikriminalisasi.
Pemuda dalam sistem Islam dididik dengan ilmu, dibesarkan dengan iman, dan diarahkan untuk menjadi penopang peradaban, bukan sekadar pengamat politik. Mereka diajarkan berpikir jernih, bukan reaktif. Bergerak dengan prinsip, bukan sekadar tren.
Penutup: Dari Tuduhan Menuju Kebangkitan
Kriminalisasi anak muda seharusnya membuat kita bertanya: apa yang sebenarnya ditakuti penguasa dari generasi ini? Jawabannya sederhana, mereka takut pada kesadaran. Karena begitu anak muda sadar akan peran sejatinya sebagai pembela kebenaran, sistem zalim mana pun akan gentar.
Mereka bisa memenjarakan tubuh, tapi tidak bisa memenjarakan ide. Dan selama masih ada pemuda yang berani berpikir, menolak tunduk pada kebohongan, serta menjadikan iman sebagai arah perjuangan, kebangkitan itu hanya soal waktu.
Wallahu a'lam

Posting Komentar