Generasi Pekerja yang Tak Dihargai, Potret Suram di Balik Magang Berbayar
Oleh : Henise
Di balik senyum para wisudawan yang melempar toga ke udara, tersimpan kegelisahan besar, ke mana mereka akan melangkah setelah ini? Di negeri dengan jutaan sarjana baru tiap tahun, pekerjaan bukan lagi jaminan. Menurut laporan World Bank East Asia and The Pacific Economic Update 2025, satu dari tujuh anak muda di Indonesia dan Tiongkok kini menganggur. Ironisnya, pemerintah justru menawarkan solusi “magang berbayar” sebagai jawaban atas krisis ini.
Magang Berbayar: Realita Pahit dan Menyakitkan
Program magang nasional disambut dengan antusiasme semu. Pemerintah mengklaim telah membuka puluhan ribu slot magang di perusahaan besar dengan imbalan setara UMP. Sekilas tampak menjanjikan. Namun di balik gaji pas-pasan itu, tersimpan kenyataan pahit, generasi muda kini didorong bekerja tanpa jaminan masa depan.
Magang berbayar mungkin memberi pengalaman, tapi tidak memberikan kepastian. Banyak perusahaan memanfaatkan program ini sebagai cara hemat untuk mendapatkan tenaga terampil tanpa kewajiban kontrak jangka panjang. Setelah masa magang usai, posisi mereka digantikan oleh peserta baru. Siklus ini terus berulang, murah bagi korporasi, mahal bagi masa depan anak bangsa.
Bagi para lulusan baru, hidup menjadi sekadar perjuangan bertahan. Dari satu lowongan ke lowongan lain, mereka berusaha memenuhi hajat ‘udhawiyah — kebutuhan jasmani seperti makan, tempat tinggal, dan keamanan hidup. Tapi di tengah sistem yang timpang, perjuangan itu terasa seperti berlari di tempat.
Akar Masalahnya: Politik Ekonomi Kapitalistik
Masalah ini bukan semata kurangnya lapangan kerja, melainkan hasil dari sistem ekonomi kapitalistik yang menuhankan pertumbuhan tanpa pemerataan. Dalam sistem ini, kekayaan menumpuk di tangan segelintir orang, sementara rakyat hanya kebagian remah. Aktivitas ekonomi tak berputar secara alami karena orientasinya bukan kemaslahatan, tapi keuntungan.
Kapitalisme mengajarkan bahwa pasar akan mengatur dirinya sendiri. Namun, realitas membuktikan sebaliknya bahwa pasar justru dikuasai para pemilik modal besar. Mereka menentukan arah ekonomi, sementara pemerintah hanya menjadi fasilitator, bukan pengurus rakyat. Dalam situasi seperti ini, mustahil distribusi kekayaan bisa merata. Maka, lahirlah generasi pekerja kontrak dan magang tanpa masa depan.
Kondisi ini juga menumbuhkan kecemasan mendalam di kalangan muda, manifestasi dari ghorizah baqo’, naluri mempertahankan diri. Mereka bekerja bukan karena cinta profesi, tapi karena takut miskin, takut tertinggal, dan takut tidak berguna.
Sistem yang Menyuburkan Ketimpangan
Kapitalisme melahirkan ironi, ada banyak sumber daya, tapi sedikit yang menikmati hasilnya. Laut, tambang, hutan, semua dikuasai korporasi, bukan negara, apalagi rakyat. Padahal, sumber daya alam adalah harta milik umum yang seharusnya dikelola untuk kemaslahatan bersama.
Ketika negara membuka izin tambang atau sumber daya untuk swasta, maka kesempatan rakyat untuk hidup layak ikut terampas. Sebab, rakyat hanya menjadi pekerja, dan swasta yang paling besar menikmati hasilnya. Itulah sebabnya lapangan kerja tidak pernah cukup, sementara kekayaan nasional hanya berputar di lingkaran elite.
Inilah wajah nyata politik ekonomi kapitalis, rakyat dipaksa mandiri di tengah sistem yang tak berpihak. Negara lepas tangan, sementara nasib rakyat diserahkan pada mekanisme pasar. Maka wajar jika magang berbayar dianggap solusi, padahal ia justru menegaskan kegagalan sistem dalam menyejahterakan manusia.
Islam dan Politik Ekonomi yang Adil
Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki politik ekonomi yang berorientasi pada distribusi harta, bukan sekadar pertumbuhan angka. Islam memandang setiap individu harus bisa hidup layak, bukan karena belas kasihan negara, tapi karena kewajiban syar’i negara untuk menjamin pemenuhan kebutuhan dasar rakyatnya.
Dalam pandangan Islam, negara wajib menyediakan lapangan kerja bagi laki-laki balig. Nabi ﷺ mencontohkan hal ini ketika memberikan alat kerja kepada sahabat yang menganggur agar ia bisa mencari nafkah sendiri. Ini bukan bantuan, tapi pemberdayaan yang bermartabat.
Islam juga mengatur kepemilikan harta dalam tiga kategori. Yaitu milik individu, milik umum, dan milik negara. Kekayaan alam seperti tambang, hutan, laut, dan energi termasuk harta milik umum. Negara tidak boleh menyerahkannya kepada swasta. Pengelolaan dan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat melalui layanan publik, pendidikan, kesehatan, dan pembangunan ekonomi produktif.
Dengan sistem ini, distribusi kekayaan berjalan adil. Rakyat tak hanya menjadi tenaga kerja, tapi juga penerima manfaat nyata dari sumber daya negerinya sendiri. Inilah politik ekonomi Islam, sistem yang memastikan setiap orang merasakan kesejahteraan tanpa harus menjadi korban eksploitasi.
Negara Sebagai Pengurus, Bukan Penonton
Islam menjadikan negara bukan sekadar regulator, tapi pelindung dan pengurus rakyat. Negara bertanggung jawab penuh terhadap pemenuhan kebutuhan dasar, bukan hanya membuka peluang kerja. Dengan memanfaatkan sumber daya milik umum secara syar’i, negara mampu menciptakan lapangan kerja berkelanjutan, bukan sekadar magang sementara.
Negara juga memiliki kebijakan iqtha’, yakni pemberian lahan atau modal bagi rakyat yang tidak memiliki pekerjaan agar mereka bisa mandiri secara produktif. Dalam sistem seperti ini, tidak ada istilah “fresh graduate bingung kerja”. Setiap individu memiliki peran dalam roda ekonomi yang adil dan bermartabat.
Bangkitnya Kesadaran Baru
Masalah pengangguran dan magang berbayar bukan hanya isu ekonomi, tapi juga ujian bagi kesadaran umat. Generasi muda yang hari ini gelisah sebenarnya sedang mencari arah hidup yang lebih bermakna. Ini merupakan tanda hidupnya ghorizah tadayyun, naluri beragama. Mereka lelah bekerja tanpa makna, lelah hidup tanpa kepastian.
Islam menawarkan arah yang jelas. Bekerja bukan sekadar mencari nafkah, tapi beribadah. Berjuang bukan sekadar untuk diri sendiri, tapi untuk menegakkan keadilan bagi seluruh umat manusia.
Ketika sistem Islam tegak, tak ada lagi generasi magang yang tersisih. Yang ada hanyalah generasi mandiri, produktif, dan mulia. Generasi yang memahami makna sejati dari kerja, kemakmuran, dan kehormatan hidup.
Kesimpulan
Program magang berbayar hanyalah ilusi solusi dari sistem kapitalistik yang gagal menjamin kesejahteraan rakyat. Islam menawarkan sistem ekonomi yang tidak hanya menggerakkan harta, tapi juga menata kehidupan manusia secara adil. Dan hanya dalam sistem Islam "sistem yang mengatur dengan hukum Allah" manusia bisa merasakan makna kerja, kemuliaan hidup, dan kedamaian sejati.
Wallahu a'lam
Posting Komentar