-->

Tanah Palestina Adalah Tanah Kharajiyah, Saatnya Umat Islam Bersatu Membebaskannya


Oleh : Siti Asri Mardiyati

“Palestina bukan hanya isu kemanusiaan. Ia adalah tanah milik umat Islam seluruhnya, yang wajib direbut kembali dengan kekuatan, bukan perundingan.”

Kabar dari Jalur Gaza kembali mengguncang nurani dunia. Pada Jumat, 8 Agustus 2025, Kepala HAM PBB, Volker Turk, mengecam keras rencana Israel untuk mengambil alih Gaza secara militer. Ia menegaskan bahwa langkah itu bertentangan dengan hukum internasional dan keputusan Mahkamah Internasional, serta mengancam prinsip solusi dua negara dan hak rakyat Palestina untuk menentukan nasib sendiri (Beritasatu.com, 8/8/2025).

Kecaman juga datang dari Turki dan Australia. Menlu Australia, Penny Wong, menyebut rencana relokasi paksa sebagai pelanggaran hukum internasional. Ia mendesak gencatan senjata, bantuan kemanusiaan tanpa hambatan, dan pembebasan sandera (Beritasatu.com). Namun, semua pernyataan ini, sebagaimana biasanya, hanya berakhir pada kecaman diplomatik tanpa tindakan nyata.

Sementara itu, pihak Hamas menolak keras rencana relokasi sebagai "gelombang genosida baru", menyebut tenda-tenda yang disiapkan Israel sebagai tipuan belaka. Hal ini diberitakan oleh CNBC Indonesia pada 17 Agustus 2025, menyusul pernyataan militer Israel bahwa mereka akan merelokasi warga Gaza ke selatan dengan dalih keselamatan (CNBC Indonesia, 17/8/2025).

Konflik yang Dipelihara dan Realitas Geopolitik Palsu

Entitas Yahudi (Israel) terus menerus memanfaatkan konflik untuk memperkuat eksistensinya sebagai perpanjangan tangan kepentingan Barat di Timur Tengah. Ironisnya, negara-negara Barat yang sering mengklaim membela HAM justru menjadi pendukung utama Israel secara militer, politik, dan ekonomi. Mereka mencitrakan Israel seolah kuat, padahal peristiwa 7 Oktober 2023 telah menghancurkan mitos pertahanan “Iron Dome” yang selama ini dibanggakan.
Dukungan Barat pada entitas Yahudi bukan sekadar karena simpati sejarah, tapi lebih kepada strategi geopolitik. Israel adalah "prajurit" kepercayaan Barat untuk menjaga hegemoni di Timur Tengah. Berbeda dengan penguasa negara-negara Arab, yang meski dijadikan mitra oleh Barat, tetap dianggap tidak stabil karena sering tumbang oleh konflik internal, seperti dalam Arab Spring.
Inilah mengapa konflik Palestina terus dipelihara. Barat butuh alasan untuk tetap hadir dan mengontrol kawasan. Dan sayangnya, para penguasa negeri muslim menjadi kaki tangan dalam skenario ini.

Nasionalisme: Sekat Buatan yang Melemahkan Umat

Konsep negara-bangsa (nation state) yang diwariskan oleh kolonialisme menjadi penghalang utama umat Islam untuk bersatu membela Palestina. Nasionalisme telah menjadikan penderitaan Palestina “bukan urusan kita”. Atas nama kedaulatan negara, Mesir menolak masuknya pengungsi Palestina. Negara-negara Arab enggan mengembargo minyak untuk Israel. Turki pun tidak mengerahkan kekuatan militernya yang canggih untuk membantu Gaza.

Negeri-negeri muslim malah justru terus membebek pada solusi buatan PBB yakni solusi dua negara yang hakikatnya adalah pengakuan terhadap entitas Yahudi sebagai institusi resmi. Inilah jebakan besar yang membuat umat Islam terus terpenjara oleh sistem buatan Barat, dan para penguasanya lebih takut kehilangan kekuasaan daripada kehilangan nyawa saudara seiman di Palestina.

Tanah Palestina adalah Tanah Kharajiyah, Milik Umat Islam

Islam secara tegas menyatakan bahwa tanah Palestina adalah tanah kharajiyah, yakni tanah milik umat Islam yang ditaklukkan oleh pasukan Islam di bawah kepemimpinan Umar bin Khattab ra. Status ini bersifat permanen hingga Hari Kiamat. Oleh karena itu, kewajiban atas tanah itu masih melekat, termasuk kewajiban membebaskannya dari penjajahan.

Tanah Palestina bukan hanya milik rakyat Palestina, tetapi milik seluruh umat Islam. Maka, yang bertanggung jawab membebaskannya bukan hanya Hamas atau rakyat Gaza, tapi seluruh kaum muslim di dunia. Dan pembebasan ini tidak bisa dicapai melalui konferensi internasional, meja perundingan, atau diplomasi kosong, melainkan hanya melalui jihad fi sabilillah yang dipimpin oleh satu institusi kepemimpinan umat: Khilafah Islamiyah. 

Hanya Khilafah-lah yang dapat menyatukan potensi militer, sumber daya, dan solidaritas umat Islam dari berbagai negara. Di bawah kepemimpinan tunggal ini, tidak akan ada lagi batas-batas negara bangsa yang menghalangi pengiriman pasukan ke Palestina. Tidak akan ada lagi embargo senjata antar negeri muslim. Tidak akan ada lagi pemimpin boneka yang diam membisu di hadapan genosida.

Khilafah akan menggerakkan tentara, bukan relawan. Mengirimkan jet tempur, bukan sekadar bantuan makanan. Dan ketika Khilafah berdiri, maka pembebasan Palestina bukan sekadar slogan emosional, tapi program strategis yang wajib diwujudkan secara militer, politis, dan ideologis.

Palestina Panggilan Jihad Kita Semua
Penderitaan Palestina adalah cermin kehinaan umat Islam hari ini yang hidup tanpa perisai. Tanpa institusi Khilafah, suara kita hanya akan menjadi jeritan emosional yang terus diabaikan dunia. Tanpa Khilafah, kita hanya bisa mengecam dan berdoa, tanpa pernah benar-benar membela. Sudah saatnya umat menyadari bahwa solusi sejati bagi Palestina bukanlah "solusi dua negara", bukan pula "gencatan senjata", tapi pembebasan total melalui kekuatan Islam, di bawah satu kepemimpinan global.
Palestina adalah tanah kita semua. Bukan simbol politik, bukan isu kemanusiaan semata. Ia adalah amanah yang harus direbut kembali—bukan dengan diplomasi, tetapi dengan jihad di bawah naungan Khilafah.