Kurikulum Cinta, Generasi Muslim dijauhkan dari Islam Kaffah
Oleh : Sri Wahyu Anggraini, S.Pd (Guru dan Aktivis Muslimah Lubuklinggau)
Kementerian agama Republik Indonesia resmi meluncurkan kurikulum berbasis cinta (KBC) sebagai wajah baru pendidikan Islam yang lebih humanis inklusif dan spiritual. Menteri Agama Republik Indonesia "Nasaruddin Umar menyebutkan KBC sebagai langkah transformasi besar dalam ekosistem pendidikan nasional, kurikulum ini hadir sebagai respon terhadap krisis kemanusiaan, intoleransi dan degradasi lingkungan yang semakin mengkhawatirkan. (mediaIndonesia.com/25/07/25)
Kurikulum berbasis cinta dibangun di atas 5 nilai utama yang disebut Panca Cinta; yaitu cinta kepada Tuhan yang Maha Esa, cinta kepada diri dan sesama, cinta kepada ilmu pengetahuan, cinta kepada lingkungan, dan cinta kepada bangsa dan negeri. Kelima nilai ini akan diintegrasikan dalam seluruh mata pelajaran, tidak terbatas hanya pada pelajaran agama kurikulum ini diyakini berdampak positif bagi perkembangan peserta didik. Selain membentuk generasi yang toleran dan berkepribadian inklusif, KBC juga diharapkan membentuk kebiasaan sosial yang lebih sehat baik dalam relasi sosial maupun dalam kepedulian terhadap lingkungan.
Dari namanya sekilas kurikulum cinta ini tampak menawarkan gagasan yang sangat baik, hanya saja dengan gagasan konsep cinta yang begitu universal. Kurikulum ini berpotensi mendistorsi konsep cinta yang seharusnya dipahami oleh generasi muslim. Islam tidak mengajarkan pemeluknya mencintai sesuatu tanpa iman, cinta seorang muslim harus dibangun dari keimanan sedangkan benci didasari karena kekufuran. Dari Ibnu Mas'ud Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda; "wahai Abdullah bin Mas'ud! Ibnu Mas'ud berkata, "Ada apa ya Rasulullah( ia mengatakan tiga kali). Rasulullah bertanya, "Apakah engkau tahu tali keimanan manakah yang paling kuat? "Aku berkata, Allah dan rasulnya lebih tahu." Rasulullah bersabda, "Tali keimanan yang paling kuat adalah loyalitas kepada Allah dengan mencintai dan membenci (segala sesuatu) hanya karena-Nya (HR Al-hakim dalam al Mustadrak).
Cinta yang universal bisa membahayakan akidah generasi muslim, sebab cinta yang demikian didasari paham pluralisme serta relativisme. Akhirnya akidah Islam tidak suci lagi terlebih kurikulum tersebut diklaim dikemas dengan wajah baru pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Padahal sejatinya konsep moderasi beragama mengarahkan generasi Islam untuk ramah pada perbedaan agama dengan toleransi yang kebablasan, generasi dijauhkan dari jati dirinya sebagai Muslim sejati dan ajaran Islam kaffah. Dengan demikian kurikulum baru ini sebenarnya mengandung bahaya deradikalisasi sejak dini dengan segala macam bentuknya. Akibatnya generasi muslim bisa saja bersikap keras kepada saudaranya sesama muslim dan taat pada non muslim atas nama menjaga perdamaian. Muslim yang hendak menerapkan syariat Islam kaffah akan diberi label radikal dan ekstrim, dimusuhi di persekusi, pengajiannya dibubarkan, dan lain-lain. Sementara untuk non muslim mereka diperlakukan dengan hormat meski menghina syariat Islam bahkan juga ikut merayakan hari raya bersama-sama dan sebagainya. Dengan demikian terlihat jelas bahwa kurikulum cinta ini berasal sekularisme. Kurikulum ini menjauhkan generasi dari aturan agama dan menjadikan akal sebagai sumber hukum dan penentu segala sesuatu, padahal dalam pandangan Islam paham sekularisme adalah ide yang salah dan batil.
Pendidikan adalah bagian dari kehidupan manusia bahkan menjadi sarana atau wasilah yang strategis untuk menancapkan dan membentuk pemahaman (mafahim) generasi dengan tsaqofah dan metode pengajaran tertentu. Demikianlah yang dijelaskan oleh Syaikh Taqiyuddin An-Nabhani dalam kitab Daulah Islam bab "Pengaruh Serangan Misionaris" karena itu Islam menetapkan kurikulum harus berbasis akidah Islam bukan yang lain karena aqidah adalah asas kehidupan setiap muslim termasuk asas negara Islam.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, menegaskan dalam sabdanya yang diriwayatkan dari Anas bin Malik RA bahwa; "Tidaklah beriman seseorang dari kalian sehingga aku lebih dia cintai daripada dirinya, keluarganya dan seluruh manusia." (HR. Al-Bukhari dan Muslim). Syaikh Abu Yasin dalam kitabnya Usus at-Ta'lim fi Daulah al-Khilafah (Starategi Pendidikan Negara Khilafah) menjelaskan bahwa dalam menyusun kurikulum dan materi pelajaran terdapat 2 tujuan pokok pendidikan yang harus diperhatikan; pertama pendidikan harus diarahkan untuk membangun kepribadian Islam yakni pola pikir (aqliyah) dan jiwa (nafsiyah) bagi umat yaitu dengan cara menanamkan tsaqofah Islam berupa aqidah, pemikiran, dan perilaku islami ke dalam akal dan jiwa anak didik.
Oleh karenanya harus disusun dan dilaksanakan kurikulum negara Khilafah untuk merealisasikan tujuan tersebut. kedua pendidikan harus diarahkan untuk mempersiapkan anak-anak kaum muslim agar diantara mereka menjadi ulama-ulama yang ahli di setiap aspek kehidupan, baik ilmu-ilmu keislaman( seperti ijtihad, fiqih, peradilan, dan lain-lain) maupun ilmu-ilmu terapan, (seperti teknik, kimia, fisika, kedokteran dan lain-lain). Ulama-ulama yang mumpuni akan membawa negara Islam dan umat Islam melalui pundak mereka untuk menempati posisi puncak di antara bangsa-bangsa dan negara-negara lain di dunia. Bukan sebagai pengekor maupun agen pemikiran dan ekonomi negara lain. Dengan tujuan kurikulum pendidikan yang demikian, negara mampu menjalankan kewajiban menjaga aqidah generasi. Apabila akidah generasi kuat maka mereka akan taat secara totalitas kepada syariat Allah, sehingga mampu menyelesaikan semua permasalahan dalam kehidupannya.
Generasi juga bisa memahami dan menjauhkan diri dari paham-paham yang menyesatkan aqidah mereka seperti ide moderasi beragama. Namun kurikulum demikian tidak akan mungkin bisa diterapkan kecuali dalam negara yang menerapkan sistem Islam secara kaffah yakni Daulah Khilafah.
Wallahu A'lam Bisshowab.
Posting Komentar