Kapitalisme Biang Kerok Kerusuhan dan Kedzaliman
Oleh : Ummu Sumayyah
Rakyat mendapat suguhan berbagai kebijakan yang menyesakkan. Sebelumnya, kenaikan pajak yang tidak wajar, ditambah lagi tunjangan DPR yang naik fantastis. Hal ini membuat rakyat tidak bisa berdiam diri. Demi meluapkan emosi yang selama ini terpendam, akhirnya melakukan aksi demonstrasi menolak kebijakan. Aksi ini serentak di berbagai wilayah, termasuk Lampung.
Ribuan massa dari berbagai kalangan masyarakat turut andil di dalamnya, seperti mahasiswa, buruh, dan petani. Semua bersatu untuk menyuarakan beberapa tuntutan evaluasi kepada pemerintah, DPR, dan aparat kepolisian. Mereka membawa banner berisi kecaman menuju kantor DPRD provinsi Lampung, Bandar Lampung. Sementara itu, pihak Kepolisian dan TNI mengawasi jalannya aksi agar tidak memicu anarkis. (CNNIndonesia.com, 01/09/25).
Tidak jauh berbeda di wilayah Kota Metro, Kabupaten Lampung Selatan, dan Kabupaten Way Kanan juga menggelar aksi serupa. Mereka membentangkan spanduk dan doa bersama. Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Pol Umi Yuni melaporkan bahwa seluruh rangkaian aksi berlangsung aman, tertib, dan damai tanpa kericuhan (Medialampung.co.id, 02/09/25).
Kezaliman yang Terakumulasi
Berbagai rangkaian aksi yang digelar merupakan bentuk kekecewaan masyarakat kepada penguasa yang selalu berjanji, tetapi mengingkari. Mereka menilai kebijakan yang ditekankan sepenuhnya tidak berpihak kepada rakyat. Alih-alih menyejahterakan rakyat melalui program bantuan yang sifatnya sementara. Padahal ini upaya membungkam suara rakyat. Seiring berjalannya waktu, rakyat bangun dari tidurnya. Ketika kezaliman sudah terakumulasi, rakyat siap beraksi menuntut keadilan.
Seharusnya negara mengambil pelajaran atas pemberontakan rakyatnya, menjadi alarm keras untuk perbaikan. Negara bertindak bukan hanya sebagai wasit, melainkan fasilitator menuju perubahan. Kritik publik bukanlah ancaman, tetapi bentuk kepedulian masyarakat terhadap carut marutnya kondisi negara. Keadilan bukan sekadar harapan, melainkan hak rakyat yang harus segera ditunaikan.
Demokrasi Penyebab Kezaliman
Sesungguhnya kesadaran masyarakat atas banyaknya kezaliman belum menyentuh akar persoalan. Perubahan yang mereka inginkan juga masih berporos dalam sistem Demokrasi. Dasar pembuatan hukum undang-undang masih bersumber pada akal manusia. Bagaimana bisa menciptakan keadilan, sedangkan standar mereka hanya manfaat dan kepentingan para kapitalis. Rakyat terus tersakiti.
Inilah wajah asli sistem Kapitalisme Demokrasi, penyebab utama segala bentuk kezaliman. Asas yang dianutnya adalah sekularisme. Tidak membiarkan agama mengatur urusan kehidupan, tak terkecuali negara. Prinsip dasar negara menganut kedaulatan di tangan rakyat, tetapi faktanya tidak diberikan keleluasaan untuk mengomentari penguasa. Semua hanya omong kosong belaka.
Rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu demi meraih kursi jabatan, diimingi janji penuh kepalsuan. Setelah terpilih, mereka malah menyejahterakan diri sendiri. Jangankan mendapat imbalan, keluhan rakyat pun tidak didengarkan. Dari sinilah timbul jurang kesenjangan antara rakyat dan penguasa. Rakyat dijadikan penonton atas keserakahan dibalik layar kekuasaan.
Islam Mewujudkan Keadilan
Sebaliknya, akan berbeda jika negara menerapkan sistem Islam. Kedaulatan sepenuhnya dikembalikan pada syariat, artinya hanya Allah yang berhak menetapkan hukum. Siapapun orangnya, baik pemimpin atau rakyat harus taat dengan seluruh hukum Allah. Semua undang-undang yang dibuat berdasarkan dalil syarak, yaitu Al-quran, Hadis, ijmak sahabat, dan qiyas. Seorang Khalifah diberi wewenang untuk melegalisasi undang-undang tersebut yang wajib ditaati oleh seluruh individu rakyat, baik muslim dan non muslim yang berada dalam naungan Khilafah.
Allah SWT berfirman:”Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik.” (TQS. Al-An’am: 57).
Selain itu, dalam sistem pemerintahan islam, masyarakat akan diarahkan untuk beramar makruf nahi munkar, salah satunya mengoreksi penguasa. Sementara Majelis Umat menjadi tempat aspirasi masyarakat, sehingga keluhan mereka tersampaikan oleh penguasa yang berlaku zalim. Hal ini bertujuan untuk meluruskan kebijakan penguasa agar kembali pada koridor syariat.
Allah SWT juga memerintahkan dalam surat Ali Imran ayat 104, artinya:“Hendaklah ada di antara kamu segolongan orang yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.”
Adapun sabda Nabi Muhammad saw., “Seutama-utamanya jihad adalah menyampaikan kalimat yang hak kepada penguasa (sultan) atau pemimpin (amir) yang zalim.” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Sistem Khilafah merupakan negara yang memungkinkan pemimpin melakukan pelanggaran salah satu hukum syariat. Islam akan mengatur hukum dalam mengoreksi kebijakan penguasa. Dengan artian, Khalifah bersikap terbuka terhadap individu rakyat yang ingin menyampaikan kritik atau nasihat kepadanya.
Sebagaimana pernah dicontohkan oleh Abu Bakar Ash Shiddiq ketika diangkat menjadi Khalifah. Dalam pidato pertamanya, dia menyampaikan:“Wahai manusia, sungguh aku telah dibaiat sebagai pemimpin atas kalian, akan tetapi aku bukanlah manusia terbaik di antara kalian, bila aku membuat kebijakan yang baik, maka dukunglah aku, jika aku bersikap buruk (tidak sesuai aturan /Undang Undang) maka luruskanlah aku.”
Dengan demikian, masyarakat dijamin kebebasan dan keamanannya dalam menyampaikan pendapat dan kritikan terhadap Khalifah. Tidak akan dikriminalisasi dan dipenjarakan karena mengkritik perilaku Khalifah dan kebijakannya. Seluruh rakyat akan mendapat keadilan dan gerakan perubahan
Khatimah
Inilah gambaran model kepemimpinan antikritik yang lahir dari sistem Islam. Dia akan menyadari keterbatasannya sebagai manusia, bukan berarti tidak berbuat dan mengambil kebijakan yang salah. Suara rakyat menjadi arahan menuju perbaikan. Tidak cukup dengan mengganti pemimpinnya, melainkan kembali pada aturan yang ditegakkannya yaitu sistem Islam dalam bingkai Khilafah.
Wallahu a’lam bishawab
Posting Komentar