-->

Utak-Atik Standar Kemiskinan, Solusi yang Primitif


Oleh : Fatimatuz Zahrah (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Indonesia adalah negara yang masih mendapatkan banyak “pekerjaan rumah” yang belum beres, salah satunya adalah PR mengentaskan kemiskinan yang masih terlihat baik di wilayah kota maupun pedesaan. Mengejutkan sekali, angka kemiskinan di Indonesia dinyatakan resmi turun dan disambut suka cita oleh istana. 

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan bahwa angka kemiskinan mengalami penurunan. Menariknya, batas garis kemiskinan nasional pada Maret 2025 justru direvisi menjadi sekitar Rp 20.305 per hari. Kenyataanya, di lapangan terjadi banyak PHK. Pada semester I tahun 2025, setidaknya 42.385 pekerja mengalami pemutusan hubungan kerja, melonjak 52,1% dibandingkan semester I tahun 2024 yang mencatat 32.064 kasus. Jika dibandingkan dengan tahun 2023, angka tersebut juga naik 21,5% dari total 26.400 orang yang terkena PHK. Peluang penciptaan pekerjaan baru diperkirakan akan menurun di berbagai belahan dunia. Data ILO menunjukkan bahwa pertumbuhan lapangan kerja secara global turun dari 1,7% (setara 60 juta tenaga kerja) menjadi 1,5% (sekitar 53 juta orang) (cnbcindonesia.com/29/07/25).

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan jumlah keseluruhan penduduk miskin di Indonesia ada 23,85 juta orang per bulan Maret 2025. Dengan demikian secara persentase jumlahnya mencapai 8,74% menurun 0,1% dibandingkan saat bulan September 2024. Menurut BPS, jumlah penduduk miskin sebesar 23,85 juta orang atau turun 0,2 juta orang dibandingkan bulan September 2024 (bbc.com/25/07/25). Meskipun angka kemiskinan dikatakan “telah turun”, tetap saja di balik klaim kemiskinan turun masih ada 23,85 juta orang dalam kondisi kekurangan hingga tidak layak. Sungguh bukan angka yang kecil 

Badan Pusat Statistik (BPS) belum menggunakan standar garis kemiskinan terbaru yang ditetapkan Bank Dunia dalam mengukur kemiskinan ekstrem. Untuk data Maret 2025, BPS masih memakai standar purchasing power parity (PPP) tahun 2017 sebesar US$ 2,15 per kapita per hari.

Sementara itu, Bank Dunia telah memperbarui garis kemiskinan ekstremnya menggunakan PPP 2021 sebesar US$ 3,00 per hari. PPP sendiri merupakan metode konversi yang memperhitungkan perbedaan daya beli antarnegara. Nilai tukar PPP 2017 dalam mata uang Indonesia yaitu Rp 5.089, sedangkan nilai tukar PPP 2021 naik menjadi Rp 5.353.

Negara masih menggunakan standar lama dikarenakan searah dengan kerangka dan target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025–2029 yang masih berpegangan pada angka PPP US$ 2,15. Adapun standar baru dari Bank Dunia baru diumumkan pada Juni lalu. “Tujuannya agar proses evaluasi tetap konsisten,” ujar Ateng dalam konferensi pers di Kantor BPS, Jakarta, Jumat, 25 Juli 2025. (kompas.com/25/07/25).

Inilah kenyataan pahit yang harus dihadapi oleh masyarakat miskin dalam sebuah negara yang lebih sibuk membangun pencitraan ketimbang memperbaiki akar persoalan. Sistem kapitalisme yang dianut telah memberikan ruang bagi segelintir pihak—baik swasta maupun korporasi—untuk menguasai sumber daya yang semestinya menjadi milik publik. Ide kebebasan kepemilikan dalam sistem kapitalisme justru mempertajam ketimpangan. Kekayaan alam yang seharusnya digunakan untuk menyejahterakan rakyat justru mengalir ke kantong-kantong pribadi oligarki.

Dari sinilah akar kemiskinan mulai tumbuh, bahkan mencapai tingkat ekstrem. Ditambah lagi dengan sistem pasar bebas yang memperbolehkan praktik monopoli atas kebutuhan pokok, membuat beban hidup masyarakat semakin berat. Untuk menutupi ketimpangan dan kegagalan tersebut, negara justru memainkan narasi melalui data statistik. Angka kemiskinan diklaim menurun, padahal realitas di lapangan menunjukkan masih banyak warga yang hidup dalam keterbatasan dan kesengsaraan.

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang melanggengkan ketimpangan, Islam menawarkan pendekatan yang menyeluruh dan solutif dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Islam tidak hanya memberikan konsep, tetapi juga menetapkan mekanisme praktis untuk menghapus kemiskinan hingga ke akarnya.
Pertama, Islam menetapkan sistem kepemilikan harta yang adil. Tujuannya adalah agar kekayaan tidak hanya berputar di kalangan orang-orang kaya saja. Hal ini ditegaskan dalam firman Allah SWT: 

مَآ اَفَاۤءَ اللّٰهُ عَلٰى رَسُوْلِهٖ مِنْ اَهْلِ الْقُرٰى فَلِلّٰهِ وَلِلرَّسُوْلِ وَلِذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَابْنِ السَّبِيْلِۙ كَيْ لَا يَكُوْنَ دُوْلَةً ۢ بَيْنَ الْاَغْنِيَاۤءِ مِنْكُمْۗ وَمَآ اٰتٰىكُمُ الرَّسُوْلُ فَخُذُوْهُ وَمَا نَهٰىكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوْاۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِۘ ۝٧

“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya (QS. Al-Hasyr: 7) 

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Nidham al-Iqtishadi fi al-Islam menjelaskan bahwa dalam Islam, harta dibagi menjadi tiga jenis: milik umum, milik negara, dan milik individu. Harta milik umum seperti sumber daya alam (minyak, gas, tambang, mineral) tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi. Negara wajib mengelola dan mendistribusikannya demi kemaslahatan umat. Prinsip kepemilikan umum ini mencegah eksploitasi dan memastikan distribusi kekayaan yang merata.

Kedua, Islam menetapkan kewajiban zakat dan menganjurkan infak serta sedekah sebagai mekanisme distribusi kekayaan. Zakat yang dikelola oleh Baitul Mal akan disalurkan kepada delapan kelompok penerima (asnaf), salah satunya adalah kaum fakir dan miskin. Ini merupakan bentuk intervensi langsung syariat terhadap masalah kesenjangan ekonomi.

Ketiga, Islam mewajibkan setiap laki-laki untuk bekerja mencari nafkah. Negara berkewajiban menjamin tersedianya lapangan kerja yang layak dengan pengembangan sektor riil seperti pertanian, perdagangan, industri, dan jasa. Dengan keterlibatan negara dalam menciptakan iklim kerja yang produktif, maka roda ekonomi akan berputar dan kemiskinan dapat ditekan.

Keempat, Islam menjadikan negara sebagai penanggung jawab utama dalam pemenuhan kebutuhan dasar rakyat seperti pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Ketiga aspek ini harus disediakan negara secara gratis dan merata tanpa diskriminasi. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah SAW: 

فَالْإِمَامُ رَاعٍ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ

"Imam adalah pengurus rakyat dan ia bertanggung jawab atas rakyat yang ia urus" (HR. An-Nasa’i). Sistem ini memastikan bahwa kebutuhan dasar masyarakat tidak tergantung pada kemampuan ekonomi individu.

Semua mekanisme ini hanya dapat berjalan secara utuh dalam kerangka negara yang menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, yaitu Daulah Khilafah. Oleh karena itu, keberadaan Khilafah bukan sekadar idealisme, melainkan kebutuhan riil umat untuk menyelesaikan berbagai persoalan termasuk kemiskinan. Dalam sistem ini, kemiskinan tidak cukup diselesaikan dengan manipulasi data statistik, tapi dengan solusi sistemik yang menyentuh langsung kehidupan masyarakat[]