Tata Kelola Tanah Telantar dalam Islam
Oleh : Risqia Rahmi
Aktivis Dakwah
Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertahanan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid, menyebutkan bahwa Negara bisa mengambil alih tanah bila tidak dimanfaatkan selama kurun waktu tertentu. Pengambilalihan tak hanya bisa terjadi untuk tanah bersertifikat HGB atau HGU saja, tetapi juga bisa dilakukan terhadap tanah berstatus hak milik jika terlantar. Kebijakan ini didasarkan pada pasal 7 ayat 2 Peraturan Pemerintah atau PP nomor 20 tahun 2021 tentang penertiban kawasan dan tanah telantar serta Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Dengan dasar aturan tersebut memungkinkan Negara mengambil alih tanah bersertifikat yang tidak difungsikan, diusahakan, dimanfaatkan, atau dipelihara oleh pemiliknya selama dalam jangka waktu tertentu. Dalam hal ini adalah dua tahun, maka tanah tersebut bisa dianggap sebagai tanah telantar. (Kompas.com, 18/7/2025)
Rencana pemerintah untuk mengambil alih paksa tanah yang tidak dimanfaatkan selama dua tahun ini menuai banyak kritikan. Pasalnya, pemerintah belum memiliki kerangka rencana yang jelas mengenai pemanfaatan lahan-lahan tersebut nantinya. Seharusnya sebelum mengeluarkan suatu kebijakan terkait dengan lahan telantar ini, pemerintah juga harus memikirkan mengenai anggaran yang diperlukan dalam pengelolaannya.
Kondisi seperti ini menggambarkan bagaimana kapitalisme mengubah cara pandang terhadap tanah yang seharusnya dapat diperuntukkan untuk kemaslahatan rakyat, tetapi malah diperjualbelikan demi keuntungan segelintir pihak. Tanah yang seharusnya menjadi amanah publik malah dijadikan komoditas, apalagi faktanya tanah dengan status HGU dan HGB lebih banyak dikuasai oleh perusahaan besar dan investor, bukan rakyat kecil. Sementara itu, rakyat yang ingin memiliki lahan untuk tempat tinggal, bertani, atau berdagang justru kesulitan mendapatkannya dan semakin terpinggirkan. Alih-alih Negara sebagai pelindung rakyat justru menjadi fasilitator bagi pemilik modal. Inilah salah satu contoh kegagalan sistem kapitalisme dalam mewujudkan keadilan agraria yang merata.
Berbeda dengan pengelolaan tanah di dalam sistem Islam. Menurut Islam, tanah adalah amanah yang Allah Swt. berikan kepada manusia yang harus dimanfaatkan dan dikelola sesuai syariat. Islam telah menetapkan tiga jenis kepemilikan, yaitu kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan Negara. Kepemilikan individu adalah Allah Swt. sebagai pembuat syariat memberikan izin kepada individu untuk memanfaatkan sesuatu barang. Barang-barang yang boleh dimiliki individu adalah barang yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak dan jumlahnya juga tidak banyak, seperti rumah dan tanah.
Adapun kepemilikan umum adalah komoditas yang dijadikan Islam sebagai hak milik seluruh kaum Muslim untuk memanfaatkannya. Akan tetapi, tidak boleh untuk menguasai atau memilikinya sebagai hak milik pribadi. Contohnya barang tambang, hasil hutan, sungai, dan jalan umum. Sedangkan kepemilikan Negara adalah sesuatu yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat. Masyarakat mempunyai hak atas kepemilikan negara tetapi pengelolaan serta pengaturan pemanfaatannya diserahkan oleh Khalifah atau Negara, seperti padang pasir, pegunungan, pantai, tanah yang tak bertuan, tanah mati yang tidak terurus atau terbengkalai.
Dengan demikian, Islam memberikan kepastian bahwa setiap orang akan mendapatkan haknya sesuai ketetapan Allah Swt. Tidak seperti sistem kapitalis yang menentukan bahwa hanya orang-orang yang terlibat dalam proses produksinya saja yang berhak mendapat harta.
Demikianlah Islam memberikan jaminan atas hak-hak individu terhadap apa-apa yang telah Allah Swt berikan kepadanya, serta mencegah orang-orang yang serakah dari upaya eksploitasi dan monopoli harta yang dapat merugikan kepentingan orang lain.
Wallahu a'lam bish shawab
Posting Komentar