-->

Ramai ASN Wanita Gugat Cerai, Akibat Problematika Sistemik


Oleh : Dewi Ummu Azkia

Kasus gugatan cerai di kalangan guru perempuan yang baru diangkat jadi Aparatur Sipil Negara (ASN) lewat skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) jadi sorotan.

Fenomena ini juga terjadi di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Dari sekitar 3.000 ASN PPPK yang menerima surat keputusan (SK) pengangkatan tahun ini, 42 orang dilaporkan mengajukan gugatan cerai.
Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga (Disdikpora) Kabupaten Cianjur, Ruhli, menyebut bahwa sebagian besar pemohon cerai adalah perempuan.
"Pemicunya ekonomi, salah satunya karena sekarang perempuannya sudah punya kemandirian ekonomi sebagai PPPK, sehingga menggugat cerai suaminya," ucapnya.

Sebelumnya, di Kabupaten Blitar, Jawa Timur, Dinas Pendidikan setempat mencatat sedikitnya 20 guru sekolah dasar (SD) mengajukan gugatan cerai suaminya hanya dalam beberapa bulan terakhir.
Angka ini melonjak tajam dibandingkan tahun 2024 yang hanya mencatat 15 kasus dalam kurun waktu satu tahun penuh.
"Ada lonjakan kasus gugat cerai di kalangan guru ASN, dalam hal ini jalur PPPK," kata Kepala Bidang Pengelolaan SD pada Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, Deny Setyawan.
Ia menduga, peningkatan ini berkorelasi dengan status baru para guru sebagai ASN, yang membuat mereka lebih mandiri secara finansial (beritamerdeka.net). 

Kondisi seperti ini jika kita teliti persoalan memang tidak sesederhana apa yang terlihat, siapa yang akan disalahkan? Bak benang kusut yang perlu kita runut akar masalahnya. 

Menurut pandangan Islam, perempuan bersekolah menuntut ilmu, kuliah hingga pendidikan tinggi supaya bermanfaat di masyarakat adalah sebuah kemuliaan. 
Perempuan bekerja untuk mencari penghasilan juga diperbolehkan alias mubah jika tidak melalaikan tugas utamanya sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. 
Perempuan menggugat cerai suami juga bukan sebuah keharaman, jika memang ada alasan yang dibenarkan secara syari'at. 

Mengkaitkan persoalan yang terjadi dengan tiga kondisi ini bisa kita analisa bahwa problematika yang terjadi adalah problematika sistemik. 

Di era kapitalis saat ini para perempuan menempuh pendidikan untuk mendapat gelar tujuannya semata sebagai status sosial, mereka merasa terhormat di mata masyarakat jika memiliki gelar dan kemudian mendapatkan pekerjaan ditempat yang bergengsi, lalu mereka memposisikan diri setara dengan laki-laki. Merasa mampu memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan suaminya, didukung oleh opini kaum feminis yang terus menerus menggaungkan ide ide nya seperti "Perempuan harus punya kemandirian finansial supaya tidak tergantung laki-laki".
Juga ide-ide serupa lainnya, sehingga para perempuan yang memiliki pendidikan yang lebih tinggi dari suaminya, penghasilannya lebih besar pula, muncul rasa tinggi hati, kemudian menggugat cerai karena alasan malu punya suami yang pekerjaannya tidak selevel dengannya. 

Sungguh sebuah keadaan yang harus secara serius diluruskan, kesenjangan pemahaman yang sudah salah kaprah ini dan bahkan masyarakat kita seolah sudah memaklumi dengan kondisi ini. Diperparah dengan peran negara yang abai atas amanah mengedukasi masyarakat dengan pemikiran yang benar dan gagal mensejahterakan rakyatnya, dalam hal ini membuka lapangan pekerjaan bagi laki-laki dewasa yang memiliki tanggungjawab atas nafkah keluarganya. 

Fenomena ini demikian jelas merupakan sebuah problematika sistemik, penyelesaiannya pun harus secara sistemik dari hulu hingga hilir. Mulai dari sistem pendidikannya, sistem ekonominya dan tentu saja yang paling mendasar adalah ideologi yang diterapkan untuk meriayah bangsa ini yang akan melahirkan kebijakan-kebijakan yang komprehensif mencakup seluruh aspek kehidupan. 

Sistem pendidikan terbaik hanya sistem pendidikan Islam kaffah, berlandaskan Aqidah Islam yang kokoh jelas akan melahirkan insan yang kuat iman, faham betul standar kebahagiaannya adalah ketika Allah Swt. ridho, hingga saat mereka telah dewasa dan melangkah ke jenjang pernikahan mereka telah siap dengan ilmu berumah tangga dengan benar, faham akan hak dan kewajiban sebagai suami dan istri dengan benar. Suami sebagai qowwam akan memiliki kekuatan lahir-batin, spiritual dan finansial, akan mampu melindungi keluarganya, istri sholehah merasa aman mendampingi suaminya, mendidik anak-anak mereka dengan penuh kasih sayang. Jika istri memiliki pendidikan tinggi ilmu yang dia miliki bisa diberdayakan untuk kemaslahatan di lingkungannya, tidak dituntut menopang ekonomi keluarga, sehingga istri tetap menjadi "tulang rusuk" dan tidak dijadikan tulang punggung. 

Dalam sistem ekonomi Islam, negara akan memastikan semua laki-laki dewasa yang sehat jasmani dan rohani akan mendapatkan pekerjaan yang layak untuk menanggung nafkah keluarganya, dengan kekayaan alamnya yang melimpah lebih dari cukup untuk mensejahterakan seluruh rakyat jika dikelola negara dengan amanah. 
Dua aspek tersebut tidak mungkin bisa diterapkan kecuali dalam sebuah negara yang berideologi Islam kaffah. Sebuah idiologi yang di turunkan dari Allah Sang Maha Adil, sudah pasti akan melahirkan keadilan dan kesejahteraan. 

Wallahu a'lam bishowab