-->

PEMBLOKIRAN REKENING, NEGARA DHOLIM


Oleh : Kanti Rahayu (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Beberapa waktu lalu, pemerintah membuat kebijakan yang mencengangkan. Antara lain pemblokiran rekening yang tidak aktif selama tiga bulan serta tanah yang tidak terpakai selama dua tahun akan diambil oleh negara. Bahkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sudah mengambil tindakan tegas dengan menutup 31 juta akun yang tidak aktif. Namun, sebagian dari langkah tersebut dibatalkan, yaitu dengan mengaktifkan kembali 28 juta akun yang telah ditutup setelah Ketua PPATK dipanggil oleh Presiden Prabowo ke Istana Negara (CNN indonesia, 11/08/2025). Sungguh merupakan kebijakan yang di luar nalar. Pemerintah tidak peduli dengan warga yang menganggur, tetapi kepada hak milik orang lain yang menganggur justru di ambil. 

Meskipun Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengambil tindakan ini untuk melindungi keutuhan sistem keuangan di Indonesia. Rekening yang tidak aktif sering kali disalahgunakan untuk menampung aktivitas ilegal, seperti perjudian online, korupsi, perdagangan narkoba, dan tindak kejahatan yang lain. Setelah di lakukan pemblokiran terjadi penurunan dalam jumlah transaksi setoran untuk judi online setelah rekening yang tidak aktif dibekukan. Dilaporkan bahwa setoran judi online menyusut dari Rp 5 triliun menjadi Rp 1 triliun (news. detik. com, 5/7/2025). Bukankah seharusnya diselesaikan dan dijaga keamanan data nasabah dan warganya bukan malah mencegah dengan cara pemblokiran rekening?

Kebijakan untuk memblokir rekening yang tidak aktif ini tentu saja memicu debat dan kepanikan. Tanpa adanya sosialisasi yang tepat dan terencana, banyak orang yang terkejut saat mendapati rekening mereka tiba-tiba terblokir. Sebenarnya, tidak semua rekening yang diblokir digunakan untuk kegiatan kriminal.

Banyak individu yang mengajukan protes, termasuk di antaranya anggota Komisi XI DPR RI, Melchias Marcus Menengah, yang mengungkapkan ketidaksetujuannya terhadap keputusan PPATK untuk menutup rekening dormant atau yang tidak aktif, sebagai langkah pencegahan terhadap kejahatan finansial. Ia berpendapat bahwa tindakan PPATK ini setara dengan mengatur cara seseorang menggunakan uang pribadinya (Republika.co.id, 31/7/2025).

Di sini kita dapat mengamati sisi buruk dari sistem kapitalisme yang sekuler: pemerintah bukan lagi sebagai pelayan masyarakat, melainkan bertransformasi menjadi pemalak yang berusaha mengambil keuntungan dari kekayaan rakyatnya. Bukannya memberikan perlindungan, pemerintah justru berperan sebagai predator ekonomi yang memanfaatkan setiap kesempatan untuk meningkatkan pendapatannya, meskipun dengan cara-cara yang merugikan masyarakat. Rekening yang dibekukan bukan milik para koruptor atau pelanggar hukum, namun milik warga biasa yang mungkin hanya lupa untuk bertransaksi.

Tindakan ini jelas melawan prinsip dalam Islam, yaitu dasar praduga tak bersalah. Dalam Islam, seseorang tidak dapat dijatuhi hukuman, apalagi hartanya disita, kecuali sudah terbukti secara hukum di hadapan syariah. Rasulullah SAW bersabda, "Siapa saja yang mengambil harta orang lain tanpa hak, maka ia akan menemui Allah dalam keadaan mendapat murka-Nya. " (HR. Bukhari dan Muslim).

Kapitalisme mengubah kekayaan menjadi alat kontrol oleh negara untuk kepentingan para elit dan perusahaan. Negara yang menganut kapitalisme dapat membatalkan atau mengatur kepemilikan individu dengan alasan regulasi, kestabilan ekonomi, atau penegakan hukum, meskipun banyak warga biasa yang menjadi korban. Sistem ini telah memberikan justifikasi pada tindakan pemblokiran sepihak tanpa adanya cara untuk membela diri bagi pemilik akun. Hak-hak masyarakat sering diabaikan demi efisiensi dan pengawasan.

Sebaliknya, dalam pandangan Islam, hak milik pribadi diurus dengan sangat hati-hati. Hukum syariat melarang pengambilan harta secara paksa, baik oleh individu maupun oleh negara, kecuali ada alasan yang sah menurut hukum syar'i. Dalam Islam, negara bukanlah lembaga yang menindas, tetapi merupakan raa’in—yang bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Nabi Muhammad bersabda, “Imam (pemimpin) ibarat seorang gembala, dan ia bertanggung jawab atas gembalaannya” (HR. Bukhari dan Muslim).

Negara dalam sistem Islam tidak akan mencegah atau mengambil aset masyarakat kecuali melalui proses peradilan syar'i yang jujur dan jelas. Bahkan, pengumpulan zakat dilakukan dengan prinsip kepercayaan, bukan dengan cara paksaan atau tipu daya pajak seperti dalam sistem kapitalisme. Kepemilikan masyarakat tidak boleh diusik tanpa bukti dan prosedur hukum yang sesuai dengan syariah.

publik—seperti harta, sumber daya alam, dan kekayaan negara—dikelola dengan prinsip yang adil dalam distribusi, bukan hanya menguntungkan segelintir orang kaya. Islam mengajarkan bahwa negara tidak seharusnya mencari keuntungan dari masyarakat yang rentan. Sebaliknya, para pemimpin diharuskan untuk menjaga ketakwaan dan bertanggung jawab atas kesejahteraan semua umat.

Hanya dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, masyarakat dapat merasakan keadilan yang sesungguhnya. Khilafah sebagai pendekatan pemerintahan Islam memastikan adanya pemisahan yang jelas antara hak dan yang tidak benar. Di bawah syariat, negara berperan sebagai pelindung, bukan sebagai pengambil hak orang lain.