-->

Pajak Berbeda dengan Zakat

Oleh : Ida Nurchayati

Berbagai cara dipakai penguasa untuk meningkatkan pemasukan negara. Menteri Keuangan Sri Mulyani salah satunya. Dalam Sarasehan Nasional Ekonomi Syariah yang ditayangkan YouTube Bank Indonesia, Ani menyampaikan bahwa membayar pajak sama dengan membayar zakat dan wakaf. Menurut Ani, pajak akan kembali kepada yang membutuhkan, seperti membiayai Program Keluarga Harapan, bantuan sembako, bantuan modal untuk UMKM hingga Sekolah Rakyat (cnnindonesia.com, 13/8/2025). Benarkah logika yang dibangun Sri Mulyani?

Paradigma Kapitalisme

Negara kita menerapkan sistem ekonomi kapitalisme yang lahir dari akidah sekulerime yang menjunjung tinggi kebebasan. Dalam bidang ekonomi lahir kebebasan kepemilikan, mekanisme ekonomi diserahkan pada pasar sementara penguasa hanya berfungsi sebagai regulator dan fasilitator untuk melayani kepentingan pemilik modal. Lahirlah UU yang pro konglomerat bukan pada kepentingan rakyat seperti UU Migas, UU Omnibus law dan UU Minerba.

Kebebasan kepemilikan meniscayakan sumber daya alam yang melimpah di negeri ini dikuasai segelintir oligarki, baik individu, swasta, asing maupun aseng. Negara dalam melaksanakan pembangunan, mengandalkan pemasukan dari pajak serta utang luar negeri. Berbagai macam cara dilakukan penguasa untuk menaikkan pemasukan dari sektor pajak. Akhirnya rakyat menjadi korban, dipalak dengan aneka pajak yang sangat memberatkan. Baik pajak yang ditarik Pemerintah Pusat maupun Daerah seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai, pajak bumi bangunan, pajak bermotor dan lain sebagainya. 

Pajak vs Zakat

Sri Mulyani mengklaim bahwa membayar pajak sama dengan membayar zakat. Faktanya pemasukan negara tidak hanya dipakai untuk mengurus kebutuhan rakyat yang membutuhkan. Sebaliknya, sebagian besar anggaran justru dinikmati para pejabat dari gaji dan fasilitas yang fantastis, bahkan kadang dinikmati penguasa dan pengusaha melalui proyek- proyek strategis nasional. Uang negara juga dipakai untuk membayar bunga pinjaman luar negeri yang jumlahnya juga tidak sedikit. Belum lagi dana negara yang dikorupsi oleh tikus-tikus berdasi.

Sementara zakat hanya diperuntukkan untuk delapan golongan yang memang sangat membutuhkan, yakni fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, fiisabilillah dan ibnu sabil sebagaimana firman Allah Swt dalam Surat At Taubah ayat 60 yang artinya, 

“Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil zakat, para mu’allaf yang dilunakkan hatinya, untuk (memerdekakan) budak, (membebaskan) orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu kewajiban dari Allah. Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

Berdasarkan nash diatas membayar zakat hukumnya wajib yakni suatu perbuatan yang mendapatkan pahala ketika dikerjakan dan mendapat dosa ketika ditinggalkan. Zakat merupakan salah satu rukun Islam yakni perkara mendasar yang mengikat seorang muslim yang harus dilaksanakan. Kewajiban yang akan mengantarkan pada keridhaan Allah dan surga-Nya.

Berbeda dengan pajak dalam konsep kapitalisme maka hukumnya haram. Suatu perbuatan ketika ada celaan dari nash (dalil) maka hukumnya haram. 

Dalil-dalil yang berkaitan dengan haramnya pajak, Pertama, firman Allah dalam Surat An Nisa ayat 29, yang artinya

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil". 

Sebagaian ulama menganggap bahwa pajak dianggap upaya memakan harta dengan cara batil. Hal ini bertentangan dengan prinsip kepemilikan harta dan pentasharufannya.

Kedua, hadis Nabi,

“Tidak akan masuk surga pemungut pajak (cukai).” (HR Ahmad, Ad-Darimi dan Abu Ubaid).

Pajak atau dharibah didalam Islam merupakan alternatif pemasukan terakhir ketika kas baitul mal dalam keadaan kosong, sementara negara butuh dana untuk kebutuhan yang sifatnya urgen seperti menyantuni fakir miskin, menggaji pegawai atau jihad fisabilillah. Negara boleh memungut pajak hanya untuk kalangan aghniya (kaya) yang beragama Islam dan sifatnya temporer.

Membangun Negara Tanpa Pajak

Sistem ekonomi Islam menawarkan alternatif solusi Anggaran Pendapatan Belanja Negara tidak bertumpu pada pajak. Pajak seperti dalam sistem kapitalisme hukumnya haram. Penguasa dalam Islam adalah pelayan rakyat, dia bertanggungjawab atas pemenuhan setiap kebutuhan dasar pokok rakyatnya berupa sandang, pangan dan papan, maupun kebutuhan pokok konunal rakyat seperti kesehatan, pendidikan dan kesehatan. 

Seorang khalifah akan menerapkan Islam sacara kaffah termasuk sistem ekonominya. APBN dikelola sesuai syariat baik pemasukan dan pengeluarannya.

Sumber pemasukan dalam Islam sangat banyak. Diantaranya harta rampasan perang (anfal, ghanimah, fa'i dan khumus); kharaj; jizyah; harta kepemilikan umum (sumber daya energi, air, laut, sungai, kanal, jalan, serta barang tambang yang depositnya besar); harta milik negara; sarana umum; harta rampasan penguasa atau pegawai negara yang diperoleh dengan cara batil; harta waris bagi yang tidak punya ahli waris; hartanya orang murtad serta dharibah yang sifatnya temporer khusus dipungut bagi orang-orang kaya muslim ketika kas baitul mal kosong sementara negara harus menunaikannya seperti jihad, menyantuni fakir miskin dan sebagainya.

Dengan sumber pemasukan yang begitu banyak maka tidak mustahil bagi negara khilafah membangun tanpa bertumpu pada pajak. Sejarah pernah membuktikan khilafah mampu mewujudkan kesejahteraan dan keadilan bagi semua baik muslim maupun non muslim.

Wallahu a'lam