-->

Ketika Saudara Menjadi Penekan, Gaza Ditinggalkan


Oleh : Meidy Mahdavikia

Untuk pertama kalinya sejak pecahnya konflik Gaza, negara-negara Arab dan Muslim seperti Arab Saudi, Qatar, Mesir, Yordania, dan Turki secara terbuka mendesak Hamas melucuti senjata dan menyerahkan kekuasaan di Jalur Gaza kepada Otoritas Palestina sebagaimana diberitakan oleh CNBCIndonesia.com (27/5/2025). Seruan ini muncul di tengah tekanan internasional yang kian membesar, setelah dunia menyaksikan dampak mengerikan dari serangan Israel yang menewaskan lebih dari 60.000 warga Gaza sejak Oktober 2023, termasuk lebih dari 18.000 anak.  

Kelaparan sistemis (Genocide by Starvation) digunakan sebagai senjata, memaksa rakyat Gaza mati perlahan di bawah blokade. Lebih ironis lagi, menurut laporan Internasional.sindonews.com (24/7/2025) mengungkap bahwa negara Mesir justru menekan Imam Besar Al-Azhar untuk cabut kecaman 'Israel Biang Kelaparan Gaza', seolah suara moral dunia Islam harus dibungkam demi meredam gesekan politik. Pada saat yang sama, investigasi Internasional.Sindonews.com (1/8/2025) memunculkan dugaan bahwa Israel sengaja membiarkan serangan 7 Oktober untuk membenarkan invasi brutal yang kini berlangsung.

Sekularisme dan Runtuhnya Ukhuwah

Peristiwa ini tidak lahir di ruang hampa. Ia adalah buah dari sistem sekuler yang telah memisahkan urusan agama dari politik, memutus ikatan ukhuwah Islamiyah, dan menempatkan kepentingan nasional pragmatis di atas kewajiban syar’i. Para penguasa Muslim kini lebih sibuk menjaga kursi kekuasaan dan hubungan diplomatik ketimbang mempertahankan kehormatan umat. Mereka memandang tragedi Gaza bukan sebagai panggilan iman, melainkan sebagai isu politik yang harus dikelola sesuai kepentingan pihak-pihak besar.

Bahkan ketika suara ulama mencoba menyuarakan kebenaran, tekanan politik memaksa mereka bungkam. Sistem sekuler ini mengajarkan bahwa keberhasilan negara diukur dari stabilitas ekonomi dan hubungan internasional, bukan dari sejauh mana ia menolong saudaranya yang tertindas. Akibatnya, umat terpecah, kekuatan politik umat lumpuh, dan suara kebenaran terkubur di bawah diplomasi dingin.

Janji Allah dalam QS.Ali Imran ayat 110 dan QS.An-Nur ayat 55 seharusnya menjadi kompas kebijakan umat, namun kini ayat-ayat itu sering hanya dibaca di bibir, bukan diimplementasikan dalam tindakan. Namun, janji mulia ini seperti terkurung di lembar mushaf, tak pernah benar-benar menjadi pijakan strategi dan kebijakan. Inilah rupa sebenarnya sistem sekuler yang rapuh dalam moral, namun kokoh dalam membelenggu kebangkitan umat.

Janji Kemenangan Itu Nyata

Penyelesaian tragedi Gaza tidak cukup hanya dengan dialog diplomatik atau jeda tembak sementara. Umat Islam perlu bangkit dengan berlandaskan kesadaran akan kehormatannya sebagai umat pilihan Allah yang diberi amanah memimpin manusia menuju kebenaran. Kesadaran ini harus dibangun melalui dakwah yang murni dan ideologis, yang mengajak umat kembali kepada penerapan Islam secara kaffah.

Sejarah mencatat, kemuliaan pernah terwujud di masa Rasulullah ﷺ, para sahabat, dan para khalifah yang memimpin dengan keberanian dan ketakwaan. Mereka tidak hanya mengirim doa, tetapi juga kekuatan nyata untuk membela kehormatan umat. Jalan itu hanya mungkin terwujud dengan adanya kepemimpinan Islam global yang menegakkan syariah dan memimpin jihad sebagai solusi tuntas bagi penjajahan.

Inilah jalan yang menjadikan darah syuhada Gaza tidak tumpah sia-sia, melainkan menjadi pemantik kebangkitan yang akan memutus rantai penindasan. Momentum genosida Gaza adalah ujian sekaligus peluang. Bila umat menjadikan keadaan ini sebagai awal kebangkitan, niscaya janji Allah akan kemenangan dan kemuliaan pasti menjadi nyata. Palestina akan bebas, bukan berkat kebaikan musuh, melainkan karena tegaknya kekuatan Islam yang hakiki.