Kasus Perdagangan Bayi, Potret Buram Perlindungan Anak di Negeri Ini
Oleh : Efriyani, M.Pd
Kasus perdagangan bayi lintas negara yang baru-baru ini diungkap Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Jawa Barat kembali menyayat nurani publik. Sebanyak 24 bayi asal Jawa Barat dijual ke Singapura dengan harga berkisar antara Rp11 juta hingga Rp16 juta, tergantung kondisi dan permintaan.
Direktur Kriminal Umum Polda Jabar, Kombes Pol Surawan, dalam konferensi pers Selasa, 15 Juli 2025, menyampaikan bahwa sindikat ini bekerja terorganisir, menyasar perempuan dalam kondisi rentan secara ekonomi dan sosial.(Beritasatu.com.Bandung/18/07/2025)
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ai Maryati Solihah, menyebut bahwa persoalan perdagangan bayi harus dilihat secara komprehensif, mulai dari hulu ke hilir. Tidak hanya soal hukum, tetapi juga sistem pencatatan sipil, edukasi, dan kerja sama antarnegara.
Namun, jika kita telisik lebih dalam, kasus ini bukanlah peristiwa insidental semata. Ini adalah hasil dari sebuah sistem yang cacat secara fundamental—yakni sistem sekularisme-kapitalisme yang meminggirkan peran agama dalam kehidupan dan menyerahkan urusan rakyat kepada mekanisme pasar yang kejam.
Kemiskinan Struktural: Akar Perdagangan Bayi
Kejahatan ini muncul dari kondisi sosial yang timpang, di mana kemiskinan menjadi akar utama. Ibu-ibu dalam kondisi ekonomi terjepit, tekanan mental, dan tidak adanya jaminan negara atas kesejahteraan hidup, menjadi sasaran empuk sindikat.
Ketika agama dipisahkan dari sistem kehidupan, fitrah manusia hilang, dan moral tergadai demi materi.
Anak-anak yang seharusnya dijaga, malah diperjualbelikan. Mereka tidak dianggap sebagai manusia yang mulia, tetapi sebagai barang dagangan. Realitas ini menunjukkan bahwa sistem sekuler gagal total dalam menjaga harkat dan martabat manusia.
Gagalnya Sistem Demokrasi Dalam Menyelengarakan Pendidikan Generasi Unggul
1. Pendidikan Terjebak pada Kepentingan Politik Jangka Pendek
Dalam sistem demokrasi sekuler, kebijakan pendidikan seringkali berubah-ubah tergantung rezim yang berkuasa. Kurikulum direvisi bukan karena pertimbangan ilmiah atau kebutuhan umat, melainkan demi pencitraan atau memenuhi kepentingan politik sesaat. Akibatnya:
Arah pendidikan tidak konsisten.Guru dan siswa menjadi bingung dengan perubahan yang sering tanpa dasar kuat.
Tidak ada visi jangka panjang membentuk generasi berkarakter kuat dan beradab.
2. Komersialisasi Pendidikan
Demokrasi kapitalistik menjadikan pendidikan sebagai komoditas. Sekolah dan perguruan tinggi berorientasi pada keuntungan, bukan pada pembentukan insan berilmu dan berakhlak:
Lembaga pendidikan swasta menjamur, namun akses terbatas untuk yang tidak mampu.
Biaya pendidikan semakin mahal dan menjauh dari rakyat miskin.
Nilai-nilai spiritual dan idealisme dikorbankan demi angka dan prestise semu.
3. Minimnya Nilai-Nilai Moral dan Agama
Sistem demokrasi menempatkan agama di ruang privat dan tidak mengintervensi kebijakan publik, termasuk pendidikan. Hal ini mengakibatkan:
Generasi tumbuh tanpa pondasi aqidah yang kokoh.Kurikulum abai terhadap pendidikan akhlak yang holistik.Pelajar mengenal sains tapi miskin adab dan ruh keimanan.
4. Output Pendidikan: Generasi Gagal Identitas
Karena tidak ditopang oleh sistem yang membentuk karakter dan visi hidup yang benar, lulusan pendidikan demokratis:Lebih mengejar ijazah daripada ilmu.Cenderung pragmatis, oportunis, dan kehilangan arah hidup.Terbiasa tunduk pada arus globalisasi tanpa daya filter dari ideologi Islam.
5. Lemahnya Peran Negara.
Dalam sistem demokrasi, negara hanya bertindak sebagai regulator, bukan penanggung jawab utama pendidikan. Akibatnya:Tanggung jawab pendidikan bergeser ke individu dan keluarga yang kadang tak siap.Tidak ada jaminan pemerataan mutu pendidikan di seluruh wilayah. Pendidikan Islam hanya diberi ruang terbatas atau dipinggirkan.
Islam: Solusi Sistemik dan Hakiki untuk Perlindungan Anak
Islam tidak sekadar mengajarkan kasih sayang kepada anak sebagai ajaran moral, tetapi juga membangun sistem sosial, ekonomi, pendidikan, dan hukum yang mampu menjamin keselamatan anak secara nyata.
Berikut adalah tiga solusi utama dari Islam yang mampu menjawab akar permasalahan secara sistemik:
1. Negara Menjamin Kesejahteraan Rakyat secara Langsung
Dalam sistem kapitalisme, negara hanya bertindak sebagai fasilitator, bukan penanggung jawab kesejahteraan rakyat. Akibatnya, masyarakat yang lemah secara ekonomi dibiarkan berjuang sendiri, sering kali dengan cara yang tidak manusiawi.
Sebaliknya, dalam sistem Islam:
* Negara (Khilafah) bertindak sebagai penanggung jawab langsung dalam pemenuhan kebutuhan pokok rakyat: pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan.
* Baitul Mal (kas negara) akan digunakan untuk membiayai kebutuhan rakyat miskin, janda, anak yatim, dan kelompok lemah lainnya.
* Rasulullah SAW bersabda:
“Imam (khalifah) adalah pemelihara dan penanggung jawab rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan sistem ini, ibu-ibu tidak akan terlintas dalam pikirannya untuk menjual bayinya untuk bertahan hidup. Mereka akan mendapatkan jaminan hidup layak, bantuan langsung jika miskin, bahkan fasilitas kesehatan gratis saat hamil dan melahirkan.
2. Sistem Pendidikan yang Membangun Kepribadian Islam
Pendidikan dalam sistem sekuler saat ini cenderung berorientasi pada pasar dan dunia kerja, bukan pada pembentukan moral dan kepribadian. Akibatnya, banyak generasi yang cerdas secara akademik tetapi dangkal secara moral.
Dalam sistem Islam:
* Tujuan pendidikan adalah membentuk kepribadian Islam (`syakhsiyyah Islamiyyah`) yang memadukan akal sehat dan hati nurani berdasarkan akidah Islam.
* Kurikulum mencakup pelajaran akidah, akhlak, fiqih keluarga, dan sosial, yang membentuk pandangan hidup bahwa anak adalah amanah, bukan beban.
* Pendidikan tanggung jawab orang tua dan negara, dan disediakan secara gratis oleh negara.
* Laki-laki dan perempuan dididik sesuai fitrahnya dan dipersiapkan untuk menjalankan peran sosial secara bertanggung jawab.
Dengan pendidikan seperti ini, akan lahir generasi orang tua yang memahami hak dan tanggung jawab terhadap anak, dan aparat negara yang bertindak dengan integritas tinggi untuk melindungi rakyat, bukan sebaliknya.
3. Sistem Sanksi Tegas, Adil, dan Menjerakan
Dalam sistem hukum sekuler, sering terjadi ketidakadilan dan lemahnya efek jera. Hukum bisa dibeli, hukuman ringan, dan proses hukum berlarut-larut.
Sebaliknya, dalam sistem Islam:
* Penerapan hukum (`hudud`, `qishash`, `ta'zir`) bersifat tegas, adil, dan menjerakan.
* Kejahatan perdagangan manusia termasuk jarimah berat yang bisa dijatuhi hukuman keras, bahkan hukuman mati, sesuai dengan tingkat kerusakan yang ditimbulkan.
* Hukum Islam tidak mengenal kompromi kelas: siapa pun yang bersalah—rakyat biasa maupun pejabat—akan diproses secara adil.
* Proses pengadilan bersifat cepat, transparan, dan bebas korupsi.
Dengan penerapan sanksi yang menjerakan ini, masyarakat memiliki dua hal sekaligus: rasa takut untuk berbuat salah dan rasa aman karena hukum melindungi mereka.
Saatnya Negara Hadir dalam Makna Sebenarnya
Anak-anak adalah amanah dari Allah SWT, bukan beban ekonomi atau objek eksploitasi. Mereka adalah generasi penerus peradaban dan pemimpin masa depan. Negara yang membiarkan mereka diperdagangkan tanpa perlindungan hakiki adalah negara yang gagal menjalankan fungsinya.
Sudah saatnya negeri ini berhenti menyelesaikan masalah dengan pendekatan tambal sulam. Selama sistem kapitalisme sekuler masih dijadikan pondasi kehidupan bernegara, selama itu pula kejahatan seperti ini akan terus bermunculan.
Islam tidak hanya memberi nilai-nilai, tetapi juga sistem nyata untuk mewujudkan keadilan dan perlindungan bagi setiap anak. Dengan negara Islam (Khilafah) yang menerapkan syariah secara kaffah:
* Rakyat sejahtera,
* Pendidikan bermutu dan membentuk moral,
* Hukum ditegakkan dengan adil dan tegas,
* Anak-anak tumbuh dalam lingkungan yang aman, sehat, dan bermartabat.
Anak-anak tidak membutuhkan negara yang hadir saat skandal muncul di berita. Mereka butuh negara yang hadir sejak dalam kandungan, melindungi mereka dengan sistem yang benar. Negara yang demikian hanya bisa diwujudkan dengan Islam kaffah.
Posting Komentar