-->

Ketika kemiskinan menjadi alat politik


Oleh : Heni Satika (Praktisi Pendidikan) 

Data yang dikeluarkan oleh BPS memperlihatkan penurunan angka kemiskinan sebanyak 200ribu orang dari 24.06 juta jiwa pada bulan September 2024 menjadi 23.85 juta jiwa pada bulan Maret 2025. Penurunan angka kemiskinan ini, disangsiikan oleh banyak pihak. Pasalnya fakta menyatakan sebaliknya, pengangguran akibat PHK makin banyak. Rebutan lowongan pekerjaan terjadi diberbagai tempat. Bahkan ada orang meninggal karena rebutan makanan di sebuah pesta nikahan anak seorang kepala daerah. Kalau bukan faktor kemiskinan, apakah ada hal lain yang membuat mereka mau berjubel, antri bahkan setor nyawa untuk sekedar makan. Dilansir dari tirto.id (26/7/2025) Yusuf Rendy Manilet, seorang peneliti CORE Indonesia menyatakan bahwa data BPS perlu dikaji ulang karena tidak sesuai fakta. Angka kemiskinan masih menggunakan Rp 20.305 per hari. Artinya dikatakan miskin kalau pengeluaran hariannya Rp 20.305. Ini tentu tidak valid. Di kota besar yang semuanya harus beli, uang sejumlah itu tidak banyak nilainya. 

Komentar senada juga datang dari direktur indef Esther Sri Astuti yang mengatakan data BPS harus dikritisi. Apalagi banyak kepala daerah yang menjadikan tingkat Kemiskinan menjadi komoditas politik. Mereka bisa mengklaim data dari BPS sebagai pengumuman tingkat keberhasilan karena penurunan angka kemiskinan. Sehingga ada pihak yang berkepentingan memberikan standart kemiskinan yang ekstrim. Supaya diatas kertas angka kemiskinan menurun. Berbagai lembaga meminta Pemerintah memperbaiki standar kemiskinan sehingga bisa mendekati fakta di lapangan.

Beginilah fakta dari Demokrasi, apapun bisa menjadi komoditas kepentingan agar maju ke tampuk kekuasaan di periode berikutnya. Di dalam Islam akan sangat berbeda penanganannya. Pertama standar miskin adalah terpenuhinya kepentingan primer tiap jiwa. Seperti makan, minum, pakaian,rumah,kesehatan, pendidikan dan keamanan yang layak untuk ukuran orang yang tinggal di daerah tersebut. Jika standar ini belum terpenuhi maka mereka termasuk kategori miskin. Sehingga penanganannya dalam Islam mereka berhak mendapat zakat. Kedua dilihat faktor penyebab kemiskinan apa karena tidak punya pekerjaan, tua, sakit ataukah lainnya. Jika karena tidak ada pekerjaan maka negara hukumnya wajib memberikan pekerjaan. Jika karena sakit atau sudah tua, maka dicari ahli warisnya untuk bertanggungjawab. Jika diantara ahli waris itu hidup berkecukupan tetapi tidak mau mengurusnya. Maka negara akan campur tangan memaksanya untuk mengurusi. Jika kondisi semua tidak ada, maka peran keluarga akan diambil alih oleh penguasa untuk mencukupi nya dengan dana dari Baitulmaal. 

Dari kondisi ini tertutup kemungkinan menjadikan kemiskinan sebagai komoditas politik bahkan sebagai bahan kampanye. Karena memang sejatinya itulah tugas seorang pemimpin. Tidak ada namanya pencitraan sehingga perlu bawa kamera kemana-mana untuk merekamnya. 
Rindu bertemu pemimpin yang adil dan melayani rakyat. Itu semua tidak mungkin tanpa sistem Islam yang berkuasa. Marilah kita perjuangkan bersama.