-->

MENGKRITISI KEBIJAKAN BLOKIR REKENING


Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)

Kebijakan blokir rekening oleh Pemerintah viral akhir-akhir ini. Ini sungguh melukai hati rakyat. Banyak rakyat yang sudah menjadi korbannya.

Kebijakan blokir rekening pasif (rekening dormant) ini diberlakukan jika tidak digunakan dalam 2 bulan. Hal ini baru saja ditetapkan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan atau PPATK, dengan alasan untuk melindungi rekening rakyat dari potensi penyelewengan dan kejahatan seperti penipuan dan pencucian uang. Karena rekening pasif kerap dijadikan sebagai penampung transaksi judi online. Kebijakan ini dikritik oleh pihak DPR, karena dianggap PPATK telah merambah ranah milik pribadi rakyat (www.republika.com, Kamis 31 Juli 2025) (1).

PPATK mengungkapkan bahwa lebih dari 1 juta rekening diduga terkait tindak pidana, termasuk 150.000 rekening illegal (hasil jual beli ilegal dan peretasan). Sedangkan sekarang ada lebih dari 140.000 rekening dormand yang tidak aktif selama lebih dari 1 dekade (sepuluh tahun) dengan nilai Rp 428 miliar (www.ekonomi.republika.co.id, Jumat 1 Agustus 2025) (2). PPATK sempat memblokir 28 juta rekening dan sudah dibatalkan, tapi sudah menuai keluhan masyarakat yang khawatir akan keamanan uangnya yang disimpan, karena mereka membuka rekening itu tujuannya untuk menabung demi berbagai kepentingan mereka. Ada yang untuk pembiayaan masjid, ada yang untuk dana sekolah anak, dan lain-lain. Saat kebutuhan mendesak muncul, mereka terkendala mengakses uang mereka. Belum lagi kerumitan administrasi yang harus mereka Jalani untuk membuka blokir tersebut dan tidak langsung berlaku hari itu juga; padahal kebutuhan sudah mendesak untuk dipenuhi.

Pembatalan blokiran yang tak lama setelah kebijakan ditetapkan, menunjukkan kebijakan ini bermasalah sejak awal. Sebagian kalangan menyebutnya sebagai sabotase pemerintah, karena mereka sengaja mengendapkan dana di rekening sebagai tabungan dana darurat. Kebijakan ini menunjukkan bahwa sistem kapitalisme sekuler telah melegalkan pelanggaran terhadap kepemilikan pribadi tanpa bukti hukum yang sah. Padahal hak kepemilikan pribadi adalah hak dasar yang seharusnya tidak bisa diganggu gugat, kecuali ada bukti pelanggaran hukum yang sah dan jelas.

Inilah buruknya sistem kapitalisme sekuler yang menempatkan negara bukan sebagai pelindung dan pelayan rakyat, tapi sebagai pelayan kepentingan para kapitalis (pemilik modal). Kapitalisme sekuler menjadikan negara sebagai alat penekan, pemeras dan perampas harta rakyat. Kebijakan pemblokiran rekening pasif hanyalah satu contoh nyata bagaimana negara kapitalis berupaya meraup dana rakyatnya dengan dalih penegakan hukum atau pemberantasan kejahatan. Faktanya rekening-rekening tersebut milik pribadi rakyat yang sengaja dibiarkan pasif untuk tabungan atau dana darurat. Namun di mata negara kapitalis, rekening-rekening ini dianggap mangsa empuk yang bisa dimanfaatkan sebagai sumber dana segar, tak peduli apakah pemiliknya terdampak atau tidak. 

Berbeda dengan Islam yang memandang hak kepemilikan rakyat wajib dijaga secara mutlak. Dalam Islam ada konsep : albaroah al-asliah (praduga tak bersalah), yaitu setiap individu pada dasarnya terbebas dari tanggung jawab hukum sampai ada bukti yang sah dan jelas yang menetapkan kesalahannya. Pemblokiran harta tanpa proses hukum yang adil merupakan pelanggaran terhadap prinsip ini. Islam tidak membenarkan adanya sanksi termasuk pembekuan atau perampasan harta sebelum terbukti ada pelanggaran hukum melalui proses yang syariat.

Islam membagi kepemilikan harta menjadi tiga jenis. yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. Rekening bank milik perorangan adalah bagian dari kepemilikan individu, yang hak pengelolaannya sepenuhnya ada di tangan pemiliknya. Negara tidak berwenang untuk merampas, membekukan, atau mengintervensi harta tersebut secara sewenang-wenang; kecuali atas dasar ketentuan syariat yang jelas dan melalui proses hukum Islam yang adil. Negara dalam sistem Islam, yakni Khilafah, justru berkewajiban menjaga dan melindungi kepemilikan rakyatnya. Negara khilafah adalah Raain atau pengurus umat, yang menjaga dan mendistribusikan kekayaan secara adil, bukan alat penindas rakyat seperti dalam sistem kapitalisme sekuler. 

Dalam Islam, kekuasaan adalah amanah besar yang harus dijalankan dengan keadilan, bukan untuk merampas harta rakyat dengan dalih apapun. Penguasa dalam Islam terikat pada hukum syariat dan akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah atas setiap kebijakannya. Ini mengacu pada hadis, di mana Rasulullah bersabda :
"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim). 

Negara Khilafah akan menerapkan syariat Islam secara kafah atau komprehensif dalam seluruh aspek kehidupan, baik dalam politik, ekonomi, sosial, maupun hukum pidana. Dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, batas antara yang hak dan yang batil menjadi jelas. Tidak akan ada celah bagi kezaliman hukum, penyalahgunaan wewenang, atau tindakan semena-mena atas nama kepentingan negara seperti yang sering terjadi dalam sistem kapitalisme. 

Dalam Khilafah, hukum Allah menjadi rujukan utama, bukan hukum buatan manusia yang penuh dengan kepentingan dan bias kekuasaan. Dengan penerapan syariat Islam yang adil dan transparan, Khilafah akan mewujudkan ketentraman hidup di dunia dan keselamatan di akhirat. Negara tidak akan memeras rakyat, melainkan menjaga amanah kekuasaan untuk mengurus dan melindungi mereka secara benar.
Wallahualam Bisawab

Catatan Kaki :
(1) https://ekonomi.republika.co.id/berita/t09bz4409/landasan-hukum-pemblokiran-rekening-dormant-dipertanyakan-ppatk-terlalu-jauh-masuk-ranah-pribadi
(2) https://ekonomi.republika.co.id/berita/t0aka1502/dasco-ungkap-ada-dampak-positif-pemblokiran-rekening-oleh-ppatk-untung-buat-nasabah