-->

Kurikulum Cinta, Proyek Deradikalisasi dan Sekularisasi Generasi Muslim Sejak Dini

Oleh : Henise

Kementerian Agama (Kemenag) secara resmi meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai wajah baru pendidikan Islam nasional. Menteri Agama Nasaruddin Umar menyebut kebijakan ini sebagai transformasi besar dalam dunia pendidikan, dengan klaim menghadirkan pendidikan Islam yang lebih humanis, inklusif, dan spiritual. Di balik narasi manis tersebut, tersimpan bahaya besar yang patut diwaspadai: proyek deradikalisasi dan sekularisasi generasi Muslim sejak usia dini.

Cinta yang Terdistorsi: Memelintir Makna Islam

Sepintas, gagasan Kurikulum Berbasis Cinta terdengar mulia dan positif. Namun jika dikaji secara kritis, kebijakan ini justru menanamkan pola pikir berbahaya. Anak-anak Muslim tidak lagi diarahkan untuk mencintai agamanya secara utuh dan kaffah, tetapi diminta untuk mencintai semua hal secara indiscriminatif — tanpa batas halal dan haram, tanpa pemisahan haq dan batil.

Konsep “cinta” yang dipromosikan tidak lagi berlandaskan pada ketakwaan kepada Allah, melainkan pada nilai-nilai sekuler seperti toleransi tanpa batas, relativisme kebenaran, dan penyamarataan akidah. Akhirnya, generasi Muslim diajari bersikap lunak pada kebatilan dan keras pada kebenaran.

Proyek Deradikalisasi Sejak Dini

KBC sejatinya bukan hanya sekadar kurikulum, tapi bagian dari proyek besar deradikalisasi. Label “radikal” disematkan pada siapa saja yang ingin menerapkan Islam secara kaffah — mulai dari mengenakan jilbab syar’i, mengkaji kitab-kitab ulama, menyeru pada penerapan syariat Islam, hingga mengkritisi sekularisme dan liberalisme.

Di sisi lain, siapa saja yang bersikap ramah pada pemikiran Barat, yang mendukung pluralisme dan menolak syariat Islam, dianggap sebagai muslim moderat, dan diberi panggung luas di dunia pendidikan, media, dan birokrasi.

Yang lebih menyedihkan, para siswa Muslim diajari untuk lebih hormat dan lembut pada non-Muslim ketimbang pada saudara seimannya sendiri. Rumah ibadah non-Muslim dijaga, hari rayanya dirayakan bersama, bahkan disisipkan dalam kalender sekolah. Sementara masjid-masjid yang aktif dalam pengajian syariah justru diawasi dan dibatasi.

Kurikulum Cinta = Kurikulum Sekuler

Kurikulum Berbasis Cinta secara ideologis berasas pada nilai-nilai sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan, terutama dalam aspek politik dan pendidikan. Sekularisme menjadikan akal manusia sebagai satu-satunya standar benar-salah, dan menolak campur tangan wahyu dalam mengatur kehidupan.

Padahal dalam Islam, kehidupan seorang Muslim harus dilandasi oleh akidah Islam. Akidah inilah yang semestinya menjadi fondasi seluruh sistem kehidupan, termasuk pendidikan. Pendidikan bukan hanya soal transfer ilmu, tapi juga pembentukan pola pikir (aqliyah) dan pola jiwa (nafsiyah) yang Islami.

Jika akidah Islam tidak menjadi asas pendidikan, maka yang lahir adalah generasi ambigu: Muslim dari segi identitas, tapi sekuler dari segi cara berpikir dan bersikap. Mereka tidak lagi merasa wajib menerapkan Islam secara total, dan bahkan alergi jika mendengar kata “syariat” atau “khilafah”.

Islam Menetapkan Kurikulum Berbasis Akidah

Islam memiliki pandangan yang sangat tegas tentang pendidikan. Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah) dalam diri peserta didik, yaitu pola pikir dan sikap hidup yang dibangun berdasarkan akidah Islam. Karenanya, kurikulum Islam harus didesain berdasarkan akidah, bukan “cinta” yang bersifat kabur dan relatif.

Dalam sistem Islam, negara (khilafah) memiliki tanggung jawab penuh untuk menjaga akidah rakyatnya, termasuk melalui sistem pendidikan. Negara wajib menyusun kurikulum yang membentuk generasi faqih fiddin, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya, serta siap mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia.

Negara juga harus mencetak para mujtahid, ulama, teknokrat, dan profesional yang berakidah Islam dan menguasai tsaqafah Islam serta sains modern. Semua ini hanya mungkin tercapai dengan sistem pendidikan Islam, bukan dengan kurikulum cinta beraroma liberal dan sekuler.

Seruan kepada Umat dan Para Pengemban Dakwah

Umat Islam harus menyadari bahwa kurikulum cinta bukan solusi, tapi ancaman. Ia adalah alat penjinakan pemikiran Islam sejak dini. Karenanya, para pengemban dakwah harus terus menyuarakan bahaya KBC dan menguatkan opini Islam kaffah sebagai solusi hakiki pendidikan.

Kita harus menghidupkan kembali kesadaran bahwa pendidikan adalah medan pertempuran ideologis. Kurikulum Islam tidak hanya mencetak insan berilmu, tapi juga pembela Islam. Kurikulum Islam tidak hanya mencintai, tapi mencintai dengan cara yang benar — yaitu mencintai Islam dan membenci kebatilan.

Penutup

Kurikulum cinta hanyalah bagian dari proyek besar sekularisasi umat Islam. Ia menanamkan nilai-nilai moderat, liberal, dan anti-syariah dalam pikiran anak-anak Muslim. Ia menjauhkan generasi dari syariat dan membentuk pribadi yang toleran terhadap kebatilan.

Saatnya umat Islam menolak kurikulum sekuler ini dan menuntut diterapkannya kurikulum berbasis akidah Islam. Hanya dengan kurikulum Islam yang kaffah, umat ini bisa bangkit dan melahirkan generasi yang layak memimpin peradaban mulia di bawah naungan Khilafah Islamiyah.

Wallahu a'lam