Kurikulum Cinta Kemenag, Proyek Deradikalisasi Sejak Dini
Oleh : Linda Anisa
Kementerian Agama (Kemenag) baru saja merilis Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sebagai wajah baru pendidikan Islam di Indonesia. Peluncuran ini mendapat liputan luas dari berbagai media nasional seperti Republika, Antara, hingga portal resmi Kemenag. Kementerian Agama meluncurkan Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) ini sebagai bagian dari upaya menyusun ulang orientasi pendidikan keagamaan di Indonesia.
Kurikulum ini tidak hanya berfokus pada transfer ilmu, tetapi bertujuan menanamkan nilai-nilai cinta, kebersamaan, dan tanggung jawab ekologis sejak dini, mulai dari pendidikan dasar hingga perguruan tinggi. Kurikulum Berbasis Cinta merupakan pendekatan pendidikan yang menitikberatkan pada titik temu antarumat manusia, bukan perbedaan. Menurut Menteri Agama Nasaruddin Umar, KBC lahir dari kegelisahan terhadap berbagai krisis kemanusiaan yang terus berulang. Ia meyakini pendidikan adalah pintu masuk untuk perubahan sosial yang lebih mendalam dan tahan lama. (https://kemenag.go.id).
Sekilas, Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) terdengar seperti sebuah terobosan positif. Jika dilihat dari namanya, seakan memunculkan kesan baik yang identik dengan kelembutan, kasih sayang, dan perdamaian. Namun, benarkah kurikulum ini membawa kebaikan yang sejati bagi generasi Muslim?. Faktanya jika ditelaah secara kritis, justru akan didapati jawaban yang sebaliknya. Di balik kemasan yang tampak indah, tersimpan bahaya yang sangat serius, yaitu agenda deradikalisasi sejak usia dini yang mengaburkan batas antara pemurnian akidah dan pembentukan loyalitas kepada nilai-nilai asing non-Islami. KBC menjadi alat ideologis untuk membentuk generasi yang tidak lagi memahami Islam sebagai jalan hidup yang menyeluruh (kaffah), tetapi sebagai agama moral universal yang terbatas pada ibadah ritual dan akhlak personal saja.
Lebih dari itu, kurikulum ini justru berpotensi menciptakan perlakuan yang tidak adil di tengah umat Islam sendiri. Generasi Muslim dididik untuk bersikap lunak, santun, dan toleran terhadap non-Muslim bahkan sampai ikut merayakan hari raya mereka, menjaga rumah ibadah mereka, dan memuliakan mereka secara berlebihan namun justru bersikap keras, curiga, dan eksklusif terhadap saudara seimannya yang konsisten menyerukan penerapan Islam secara menyeluruh. Mereka yang ingin menjalankan syariat Islam kaffah diberi label radikal, intoleran, ekstremis, bahkan teroris. Mereka yang menyerukan Islam sebagai solusi hidup dianggap ekstrem, bahkan dipersekusi dan dibungkam. Sebaliknya, nilai-nilai sekuler dan liberal disambut hangat sebagai bentuk moderasi dan kemajuan.
Nampak jelas bahwa Kurikulum Berbasis Cinta (KBC) sejatinya disusun di atas asas sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Kurikulum ini tidak menempatkan akidah Islam sebagai fondasi utama dalam membentuk pola pikir dan sikap peserta didik, melainkan menjadikan akal manusia sebagai sumber kebenaran dan hukum, serta menyesuaikan nilai-nilai pendidikan dengan standar moral global yang relatif dan berubah-ubah. Inilah bentuk nyata dari sekularisme yang menyusup ke dalam dunia pendidikan yang pada akhirnya agama hanya dijadikan pelengkap etika, bukan sebagai landasan hidup.
Padahal, dalam pandangan Islam, sekularisme adalah ide yang batil dan bertentangan secara prinsipil dengan akidah Islam. Islam tidak mengenal pemisahan antara agama dan kehidupan. Syariat Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga hubungan dengan sesama manusia dan bahkan dengan lingkungan. Oleh karena itu, menjauhkan agama dari kurikulum pendidikan sama saja dengan mencabut ruh Islam dari proses pembentukan kepribadian generasi Muslim. Rasulullah ﷺ dan para sahabat telah mencontohkan bahwa pendidikan harus ditanamkan dengan dasar tauhid dan syariat secara menyeluruh, bukan nilai-nilai netral yang bersumber dari logika manusia semata.
Islam menetapkan bahwa kurikulum pendidikan harus berbasis pada akidah Islam, bukan yang lain. Hal ini bukan sekadar pilihan metodologis, tetapi merupakan kewajiban syar’i. Akidah adalah fondasi utama dalam Islam. Dalam pandangan Islam, akidah tidak hanya berfungsi sebagai keyakinan pribadi, tetapi juga sebagai asas kehidupan, termasuk dalam konteks bernegara. Karena itu, negara yang menerapkan Islam secara kaffah wajib menjadikan akidah Islam sebagai dasar dalam menyusun segala sistem, termasuk sistem pendidikan.
Pendidikan merupakan bidang strategis yang akan menentukan arah dan masa depan umat. Generasi yang sedang dibina hari ini adalah para pemimpin di masa depan. Jika mereka tidak ditanamkan akidah Islam sejak dini, maka mereka akan tumbuh dengan cara pandang yang liberal, sekuler, atau bahkan materialistik. Akibatnya, mereka tidak akan memahami hakikat hidupnya sebagai hamba Allah, dan tidak memiliki loyalitas terhadap syariat Islam. Maka dari itu, negara memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga akidah umat, bukan hanya melalui dakwah, tetapi juga melalui pendidikan formal yang sistematis dan terarah. Kurikulum yang tidak berpijak pada akidah Islam hanya akan mencetak generasi yang tercerabut dari akar keislamannya, mudah terombang-ambing oleh arus pemikiran asing, dan tidak memiliki keberanian untuk membela agamanya sendiri.
Ketika kurikulum didasarkan pada akidah Islam, maka seluruh isi dan metode pembelajarannya akan diarahkan untuk membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah islamiyah). Peserta didik tidak hanya diajarkan ilmu, tetapi juga dibentuk cara berpikir dan cara hidupnya agar selalu tunduk kepada aturan Allah. Akidah yang kokoh akan melahirkan ketundukan total kepada syariat-Nya, tanpa merasa berat atau ragu. Sebaliknya, generasi yang tidak memiliki akidah yang benar akan mudah meninggalkan agamanya, berperilaku menyimpang, bahkan menjadi pembenci terhadap ajaran Islam yang kaffah.
Bila akidah umat kuat, maka akan tumbuh generasi yang taat totalitas kepada syariat Allah. Mereka tidak hanya tahu halal dan haram, tetapi juga memiliki ghirah (semangat) untuk memperjuangkan penerapannya dalam kehidupan nyata. Mereka akan memandang Islam bukan hanya sebagai agama ritual, tapi sebagai sistem hidup yang menyelesaikan seluruh persoalan—baik sosial, ekonomi, politik, hingga budaya. Generasi seperti inilah yang akan menjadi pondasi kebangkitan Islam yang hakiki. Sebaliknya, jika kurikulum terus dibangun di atas asas sekularisme, maka umat akan semakin jauh dari syariat, dan masalah demi masalah akan terus berulang, tanpa solusi yang hakiki.
Maka tidak ada jalan lain selain menuntut perubahan kurikulum nasional agar berbasis pada akidah Islam, bukan nilai-nilai netral atau cinta versi sekuler. Hanya dengan itu, umat ini akan kembali bangkit sebagai umat terbaik, sebagaimana yang dijanjikan Allah SWT dalam Al-Qur’an: "Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah." (QS. Ali Imran: 110).
Wallahu a’lam bi ash sawab.
Posting Komentar