Ketika Angka Kemiskinan Dipermainkan
Oleh : Linda Anisa
Baru baru ini, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan bahwa pada Maret 2025, angka kemiskinan nasional turun menjadi 8,47%, dari 8,57% pada September 2024, atau sebesar 23,85 juta orang. Ini merupakan angka kemiskinan terendah dalam dua dekade terakhir (liputan6.com). Sementara itu, merujuk pada kemiskinan ekstrem diukur berdasarkan standar PPP 2017 (USD 2,15/hari) juga menurun menjadi 0,85% dari total penduduk, setara 2,38 juta orang (Bisnis.com).
Meski begitu, realitas di lapangan justru bertolak belakang. Bagaimana tidak, angka PHK meningkat tajam hingga 32%, dengan puluhan ribu pekerja formal di-PHK pada paruh pertama 2025 (liputan6.com). Inilah ilusi kesejahteraan dalam sistem kapitalisme di mana kemiskinan tidak diukur dari realitas kebutuhan hidup manusia, tetapi dari angka-angka statistik yang bisa dimanipulasi sesuai standar global. Dengan standar garis kemiskinan hanya Rp20 ribu per hari, rakyat seolah diminta merasa cukup meski hidup dalam kekurangan. Angka menjadi alat legitimasi kebijakan ekonomi, bukan sebagai cermin penderitaan rakyat. Bahkan di daerah penghasil pangan dan garam terbesar seperti Indramayu pun, kemiskinan tetap membelit rakyatnya (Beritasatu, 25 Juli 2025).
Inilah wajah kapitalisme dalam pengelolaan kemiskinan. uang, angka, dan citra lebih dianggap penting daripada realitas kesejahteraan manusia. Akar persoalannya bukan sekadar metode penghitungan, tetapi sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri. Kapitalisme menjadikan kekayaan hanya berputar di tangan segelintir elite, sedangkan rakyat kecil hanya dijadikan angka statistik dalam laporan tahunan. Akses terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, bahkan kebutuhan dasar seperti pangan dan papan, semua dikomersialkan. Negara dalam sistem ini bukan pelindung rakyat, melainkan hanya berfungsi sebagai fasilitator pasar dan pengatur birokrasi angka. Sehingga sistem kapitalis melembagakan ketimpangan, dan menjadikan kemiskinan sebagai variabel statistik yang mudah dimanipulasi.
Islam Memiliki Standar Kesejahteraan yang Berbeda
Islam memiliki konsep yang sangat berbeda dalam menyelesaikan persoalan kemiskinan. Dalam sistem Khilafah, negara bertanggung jawab langsung dan penuh terhadap pemenuhan kebutuhan dasar seluruh individu rakyatnya baik Muslim maupun non-Muslim. Negara akan menjamin ketersediaan pangan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, dan keamanan, tanpa dikaitkan dengan kemampuan beli atau logika pasar. Dalam Islam, kesejahteraan diukur bukan dari angka, tetapi dari apakah kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi secara nyata dan layak atau tidak.
Islam tidak pernah mengadopsi standar buatan lembaga asing seperti PPP (Purchasing Power Parity), melainkan menggunakan standar syar’i yang berpihak kepada manusia, bukan pasar. Sumber daya alam dikelola negara sebagai milik umum, bukan diserahkan kepada korporasi atau dijual kepada asing. Negara mengambil peran aktif dalam mendistribusikan kekayaan, bukan hanya mencatatnya.
Maka, selama sistem kapitalisme masih dijadikan dasar dalam mengatur ekonomi, kemiskinan hanyalah akan dipermainkan sebagai statistik yang bisa dinaik-turunkan sesuka kepentingan politik. Kesejahteraan hakiki hanya akan terwujud jika sistem Islam ditegakkan secara kaffah, dan negara hadir sebagai pelayan umat, bukan pelayan korporasi dan kepentingan global.
Penurunan angka kemiskinan versi BPS (8,47% pada Maret 2025) hanyalah sebatas angka statistik yang bisa digunakan sebagai legitimasi kebijakan pemerintah menuju citra kesejahteraan. Realitas PHK, pengangguran, dan ketimpangan justru memunculkan paradoks: angka mungkin turun, tetapi nyawa-nyawa rakyat tetap terpinggirkan.
Islam menawarkan solusi sistemik yang bukan hanya normatif, tapi praktis. Jika diterapkan secara kaffah di bawah sistem Khilafah, umat ini akan keluar dari jebakan statistik dan dibebaskan dari belenggu kemiskinan. Negara harus hadir sebagai pelindung dan pengayom, bukan hanya sebagai pencatat angka. Hanya dengan kembali kepada prinsip Islam-lah kesejahteraan hakiki akan terwujud.
Wallahu a’lam bi ash sawab
Posting Komentar