Konflik Agraria Butuh Solusi Dalam Sistem Islam
Oleh : Siti Asri Mardiati
Indonesia tidak luput dari problem pertanahan, mulai dari perampasan lahan yang menimbulkan terampasnya ruang hidup keluarga, hingga konflik agraria. Berdasarkan data Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), sepanjang 2015—2022 ada 2.710 konflik agraria yang berdampak pada 5,8 juta hektare lahan yang menjadi sumber penghidupan 1,7 juta keluarga.
Sedikitnya 1.615 warga ditangkap aparat dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya dan 77 orang menjadi korban penembakan. Data 2021 menunjukkan, ada 59 atau 80% kasus di sektor perkebunan sawit dengan luas mencapai 255.006,06 hektare, disusul kasus tambang.
Dari tahun ke tahun, kasus di sektor perkebunan selalu tertinggi. Tingginya eskalasi konflik ini disebabkan mudahnya pemerintah memberikan izin usaha perkebunan melalui penerbitan izin lokasi dan hak guna usaha (HGU), tumpang tindihnya perkebunan dengan wilayah hajat hidup masyarakat, diperparah dengan adanya hak guna bangunan dengan jangka pakai tidak terhingga (sebagaimana termaktub dalam Bab VIII tentang Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja 2023).
Konflik di area pertambangan merupakan kasus terbesar kedua setelah perkebunan. Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mencatat, sepanjang 2020, setidaknya terjadi 45 konflik tambang di Sumatra, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, hingga Papua. Di semua lokasi itu, ada jejak konflik sosial dan kerusakan lingkungan di wilayah lingkar pertambangan, mengakibatkan 69 orang dikriminalisasi dan lebih dari 700.000 hektare lahan rusak. Tampaknya, di mana ada tambang, di situ ada penderitaan dan kerusakan lingkungan.
SDA Melimpah di Indonesia
Masih berdasarkan catatan Jatam, sekitar 44% daratan Indonesia telah diberikan untuk sekitar 8.588 izin usaha tambang. Jumlah itu seluas 93,36 juta hektare atau empat kali lipat luas Provinsi Kalimantan Timur dan Kalimantan Utara. Sebanyak 13 kasus di antaranya melibatkan aparat kepolisian. Perusahaan Tambang Mas Sangihe (TMS), misalnya, telah mengantongi izin lingkungan dan usaha produksi pertambangan.[i]
Konflik selanjutnya terjadi di area infrastruktur proyek strategi nasional (PSN) dan kawasan ekonomi khusus (KEK). Akibat adanya konflik ini, dibuatlah regulasi tentang tanah untuk kepentingan umum, padahal konflik pertanahan ini telah menyebabkan masyarakat—termasuk ibu dan anak-anak—trauma, ketakutan, dan keamanan hidup mereka terancam.
Seperti terjadi di Rempang Eco-City, berupa hilangnya sumber penghidupan dan tempat tinggal bagi keluarga, ditambah fasilitas pendidikan yang tidak didapatkan secara layak untuk anak-anak. Wajar kemiskinan dan kelaparan makin meningkat seiring adanya perampasan ruang hidup mereka. Belum lagi masyarakat harus merasakan dampak buruk dari perubahan alam akibat kenaikan suhu udara, salah satunya berupa bencana banjir yang sering berulang.
Medan (ANTARA) - Gubernur Sumatera Utara (Sumut) Bobby Nasution mengatakan konflik agraria di wilayah Provinsi Sumatera Utara terjadi pada lahan yang luasnya mencapai 34.000 hektare.
"Konflik agraria di Sumut tertinggi secara nasional mencapai 34.000 hektare dengan 33 kasus," ucap Bobby dalam kunjungan kerja spesifik Komisi II DPR RI.
Konflik Pertanahan dan Solusi ala Demokrasi
Pihak-pihak yang berhadapan pada konflik pertanahan adalah rakyat, pengusaha/korporasi, dan penguasa/pemerintah. Mulai dari perkebunan, pertambangan, hingga infrastruktur, mayoritas melibatkan korporasi dibandingkan warga sekitar, seperti perambahan hutan oleh perusahaan, penyerobotan tanah, serta kontrak yang tidak dipenuhi perusahaan, seperti dana community development dan ganti rugi yang tidak menemukan kesepakatan antara warga dan perusahaan.
Kasus-kasus di atas kemudian coba diselesaikan pemerintah dengan adanya regulasi ala demokrasi yang bersemboyan “dari rakyat, untuk rakyat”. Pada kasus perkebunan, terbitlah UU 39/2014 dan UU Cipta Kerja 2011 yang diperbarui dengan UU 6/2023. Pada kasus pertambangan, dibuatlah UU Minerba No. 3/2020, Pasal 162 dan 96 huruf b, dan Permen ESDM No. 11/2018.
Selanjutnya, pada kasus infrastruktur, terbit Perpres 3/2016 yang berturut-turut diubah dengan Perpres 58/2017, Perpres 56/2018, dan Perpres 109/2020 (mencakup 201 PSN dan 10 program). Ada juga PP 19/2021 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Beleid tersebut merupakan turunan dari UU Cipta Kerja 2021.
Faktanya, pendistribusian tanah di Indonesia memang sangat timpang. Namun, perlu kiranya untuk menelisik lebih lanjut adanya hubungan erat antara tanah, oligarki, dan kekuasaan. Ini karena selama ini, pihak korporasi bisa “membeli” kebijakan berupa aturan pemerintah demi memenuhi ambisi bisnis mereka.
Dalam hal ini, demokrasi dan kapitalisme memang memungkinkan koeksistensi antara kekuasaan dan korporasi, yakni kekuasaan dengan kepentingan politiknya, serta korporasi dengan kepentingan ekonominya. Ketika kekuasaan dan korporasi terintegrasi dalam sebuah aturan, yang akan dinomorsatukan adalah korporasi, bukan rakyat.
Akibatnya, penguasa yang semestinya mengatur penggunaan lahan secara adil, justru “ugal-ugalan” memberikan izin kepada kaum korporat. Mereka tidak peduli dampak buruk jangka panjang dari regulasi itu, terutama UU Cipta Kerja. Demi sebuah investasi, mereka membuka pintu investasi selebar-lebarnya melalui legitimasi yang dihasilkan dari penguasaan politik sebagai tempat lahirnya regulasi.
Demokrasi memandang bahwa dalam hukum, manusialah yang mengatur semua permasalahan dan manusia pula sebagai hakim yang menetapkan hukum. Sementara itu, dalam Islam, hukum asal perbuatan manusia terikat dengan hukum syarak. Tidak dibenarkan bagi manusia untuk menyelesaikan suatu hukum dengan membuat peraturan hidupnya sendiri.
Dalam demokrasi, manusia punya kebebasan hak kepemilikan dan rakyatlah sumber kekuasaan. Rakyat yang membuat undang-undang dan yang menggaji kepala negara untuk menjalankan undang-undang yang dibuatnya. Atas nama rakyat pula, manusia berhak mencabut kembali kekuasaan itu dari kepala negara, menggantinya dan mengubahnya sesuai dengan kepentingan masing-masing. Oleh karenanya, muncullah pergantian-pergantian regulasi yang dianggap sebuah solusi dan perlu diperbarui jika dianggap tidak sesuai kepentingan tertentu.
Namun, sistem politik demokrasi juga tidak terlepas dari sistem ekonominya (kapitalisme), yakni yang berkepentingan adalah korporasi. Alhasil, penguasa justru tunduk dengan para pemilik modal yang akhirnya menguasai negara.
Begitu gamblangnya betapa demokrasi bukan jalan menyelesaikan permasalahan, terutama masalah hajat hidup rakyat. Sistem ini justru mengakibatkan kesengsaraan bagi manusia, terutama perempuan dan anak. Ia juga mengatasnamakan rakyat, tetapi nyatanya rakyatlah yang mengalami kesusahan. Seluruh tenaganya terkuras untuk kepentingan ekonomi pengusaha dan dari tubuhnya lahir regulasi berbau kepentingan oligarki.
Politik Islam Sebuah Solusi
Pada dasarnya, tanah merupakan tempat tinggal dan beraktivitasnya manusia. Dalam Islam, tanah merupakan salah satu kekayaan yang mendapat perhatian penting. Aturan pertanahan dalam Islam akan menjamin ketahanan pangan, keamanan, tempat tinggal, dan lainnya.
Islam memandang masalah pertanahan dengan mendudukkan hak milik tanah atas dasar tiga kepemilikan, yaitu individu, umum, dan negara. Tanah rakyat wajib dilindungi dan tidak boleh dijadikan milik umum dan negara; sedangkan tanah milik umum tidak boleh dimiliki atau diserahkan kepada individu, seperti tanah yang mengandung barang tambang yang melimpah (emas, tembaga, hutan, pantai, lautan, dan SDA lainnya); juga sumber dan saluran air, serta jalan-jalan umum.
Pemberian hak pengusahaan hutan (HPH) kepada perusahaan swasta saat ini, misalnya, lahir dari kebijakan privatisasi yang jelas-jelas merupakan kebijakan yang haram dan zalim yang hanya menguntungkan para pengusaha atau segelintir pihak saja.
Sedangkan dalam sistem Islam, privatisasi air, tambang, ruas jalan, dan sebagainya yang diberikan oleh swasta, tidak boleh ada (akan dicabut). Kejadian ini pernah terjadi saat Abyadh bin Hamal datang menemui Rasulullah saw., meminta agar diberi tambang garam yang ada di Ma’rib. Lalu Rasul pun memberikan tambang itu kepada Abyadh. Ketika Abyadh pergi, salah seorang di majelis itu berkata, “Apakah Anda tahu yang Anda berikan kepadanya? Anda memberikannya (tambang yang seperti) air yang terus mengalir.” Kemudian Rasulullah saw. menarik kembali tambang itu dari Abyadh. (Lihat HR Abu Dawud).
Dalam catatan sejarah, Rasulullah saw. dan para khalifah telah mengelola dan mengatur harta milik negara secara maksimal untuk mewujudkan kemaslahatan kaum muslim. Walaupun khalifah berhak mengelola harta milik negara, tetapi mereka tidak memosisikan diri sebagai pedagang, produsen, ataupun pengusaha.
Kedudukan negara hanya sebagai pengatur yang wajib berdasarkan hukum syarak, bukan ambisi atau kepentingan tertentu. Aspek yang diutamakan oleh negara sebagai pengatur urusan rakyat (ri’ayah) adalah merealisasikan kemaslahatan umat, bukan kepentingan keuntungan semata.
Terkait tanah milik individu, negara akan memberikan proteksi kepada setiap rakyat yang memiliki tanah, menerbitkan sertifikat tanah kepada pemiliknya, memudahkan pemanfaatannya, dan melindunginya dari para pengganggu. Pengklasifikasian ini memberikan kepastian kepemilikan agar tidak terjadi penguasaan dan pemanfaatan oleh segelintir orang, khususnya tanah umum dan negara.
Islam juga mengutamakan perlindungan atas peran utama perempuan, yakni sebagai ibu generasi dan pengurus rumah tangga. Terkait hal ini, Islam telah mengatur cara mengasuh, mendidik, dan membina generasi agar mereka cinta kepada Allah, Rasul-Nya, dan Al-Qur’an, menjadikan mereka generasi pemimpin dan barisan pejuang pembela Islam.
Posting Komentar