-->

Benarkah Angka Kemiskinan Menurun?


Oleh : Yaurinda 

Kemiskinan masih menjadi masalah besar untuk negara dengan sistem kapitalis hari ini. Namun belakangan Badan Pusat Statistik (BPS) mengatakan tingkat kemiskinan menurun ditengah peningkatan jumlah kemiskinan di perkotaan, jumlah kemiskinan di perdesaan justru menurun dari 11,34% atau setara 13,01 juta jiwa pada September 2024, menjadi 11,03% atau setara 12,58 juta jiwa pada Maret 2025.

Lain halnya Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Esther Sri Astuti, meragukan rilis Badan Pusat Statistik (BPS) soal data kemiskinan lantaran dinilai tak sesuai dengan realita di lapangan.

"Karena saat ini kan banyak PHK (pemutusan hubungan kerja) besar-besaran, terus ketika dibuka lowongan pekerjaan sedikit, malah banyak yang antre. Artinya berarti ketika saya lihat, oh ternyata garis kemiskinannya itu kan tidak ter-update ya," kata Esther Dikutip dari Tirto.id, Sabtu (26/7/2025).

Selain itu fakta dilapangan standar garis kemiskinan pada Maret 2025 berdasarkan survei sosial ekonomi nasional (Susenas) sendiri adalah Rp609.160 per kapita per bulan, atau sekira Rp20.305 per hari. Dengan ukuran pendapatan seperti itu tentu yang dikatakan miskin semakin sedikit. Namun cukup kah dengan penghasilan seperti itu bisa memenuhi kebutuhan, padahal semua bahan pokok naik.

Dari data BPS angka kemiskinan ekstrem memang turun di atas kertas. Namun ini hanya sebuah progres yang semu tanpa ada fakta. Sistem Kapitalisme memang lebih peduli pada citra ekonomi dari pada realitas penderitaan rakyat. Sesungguhnya akar kemiskinan ekstrem bukan pada definisinya, tetapi pada sistem ekonomi Kapitalisme yang menciptakan jurang antara kaya dan miskin. 

Kekayaan menumpuk pada segelintir orang, sementara akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak semakin mahal dan sulit. Jangankan mengurus kesejahteraan rakyat, negara dalam sistem kapitalisme hanya berperan sebagai pengelola angka dan fasilitator pasar bebas. Solusi yang ditawarkan pun tak pernah menyentuh akar masalah. Jelas sistem ekonomi ini cacat dan menindas rakyat.

Ini sangat jauh berbeda dengan sistem Islam, dimana negara bertanggung jawab penuh atas kebutuhan dasar rakyatnya kebutuhan pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan diberikan tanpa syarat pasar. Sumber daya alam dikelola negara untuk kemaslahatan umat, bukan dikomersialkan. Sistem ini pasti mampu mensejahterakan rakyatnya. Lantas bagaimana caranya?

Didalam Islam diatur bahwa kepemilikan umum dibagi menjadi tiga, yaitu (1) segala sesuatu yang menjadi bagian dari kemaslahatan umat, seperti tanah lapang dalam negara. (2) Barang tambang yang depositnya besar seperti sumber minyak.(3) Benda yang menghalangi monopoli seseorang atas penguasaan nya, seperti sungai.

Semua jenis kepemilikan umum tidak boleh diprivatisasi dan wajib dikelola negara untuk mengisi kas Baitul mal yang akan dikembalikan manfaatnya kepada masyarakat sebagai salah satu sumber pendapatan negara. jika sistem Islam dipilih sebagai sistem kita di Indonesia maka dari sumber kepemilikan umum saja kebutuhan masyarakat akan terpenuhi. Karena sumber daya alamnya sangat luas.

Jika sumber daya alam dikelola negara maka lapangan pekerjaan akan banyak tersedia. Hasil dari pengelolaan akan dikembalikan manfaatnya untuk masyarakat seperti menyediakan sarana prasarana, pendidikan, kesehatan, keamanan dengan harga murah bahkan bisa jadi gratis. Dan semuanya mungkin terjadi karena kas negara selalu terisi dan pembiayaan adalah tanggung jawab negara. 

Selain itu negara tidak mengukur kemiskinan dari angka pendapatan masyarakat apalagi dengan standar yang sangat rendah seperti hari ini, melainkan dari apakah kebutuhan pokok setiap individu terpenuhi secara layak. Jadi tolok ukur sejahtera bukan hanya sekedar data yang tidak menyeluruh dari setiap komponen masyarakat. Data akan selalu diperbaharui setiap saat untuk memastikan setiap individu terpenuhi kebutuhannya.