-->

Gaza Menderita, Di Mana Dunia?


Oleh : Alimatul Mufida (Mahasiswa) 

Wilayah Gaza, bagian dari Palestina, telah mengalami penderitaan panjang akibat blokade, genosida, dan kependudukan. Sejak 7 Oktober 2023, krisis kemanusiaan di Gaza mencapai puncaknya dengan serangan besar-besaran oleh militer Israel laknatullah. Gaza telah diblokade secara penuh. Blokade ini menyebabkan kelaparan yang tersistem, keterbatasan ekstrem terhadap pergerakan manusia dan barang, termasuk makanan, bahan bakar, dan obat-obatan. Israel laknatullah terus menerus melakukan penyerangan dan pembantaian hingga pertengahan 2024, lebih dari 38.000 warga Palestina syahid, mayoritas mereka perempuan dan anak-anak. Infrastruktur sipil seperti rumah sakit, sekolah, dan tempat ibadah turut dihancurkan. Hari-hari melihat saudara kita di Gaza rasanya sangat menyayat hati, di saat yang sama mereka tidak bisa mengakses makanan tetapi kita di sini dengan mudahnya untuk menyantap hidangan yang kita inginkan. 

Apa yang terjadi di Gaza bukan merupakan konflik militer. Pola serangan Israel — yang menyasar wilayah sipil, penghancuran sistem kehidupan masyarakat, serta retorika yang digunakan beberapa pemimpin Israel — menunjukkan unsur intensi genosida, yaitu niat untuk menghancurkan, secara keseluruhan jantung kaum muslimin.

Selain itu, situasi ini juga memperlihatkan ketimpangan kekuatan ekstrem. Israel sebagai kekuatan militer, dengan dukungan dari negara-negara Barat, berhadapan dengan populasi sipil yang terkepung dan tak memiliki perlindungan memadai.

Kritik terhadap dunia internasional juga mencuat. Meski ada tekanan dari PBB dan masyarakat sipil global, banyak negara besar masih gagal mengambil tindakan tegas terhadap Israel. Hal ini memperdalam ketidakpercayaan terhadap sistem hukum internasional dan memperburuk penderitaan rakyat Palestina.

Situasi di Gaza tidak hanya merupakan tragedi kemanusiaan, tetapi juga cerminan kegagalan komunitas internasional dalam mencegah kekejaman massal. Fakta-fakta di lapangan memperkuat argumen bahwa sistem kapitalisme yang bercokol memang diciptakan semata-mata untuk berpihak pada kepentingan Barat. Buktinya, komunitas internasional seolah-olah lumpuh terhadap fakta yang menimpa kaum muslimin, padahal fakta apalagi yang perlu dibuktikan? 

Di sisi lain, negara-negara mayoritas muslim bahkan diam tak bergeming. Tidak satupun berani untuk mengerahkan pasukan militer dalam rangka membebaskan Palestina. Ini membuktikan lemahnya kaum muslimin. Bahwa perpecahan yang membuat kaum muslimin tidak mampu untuk menolong saudara seimannya. Para pemimpin negeri-negeri muslim terdekat seperti Mesir bahkan tidak mampu untuk sekadar membuka gerbang Rafah-Gaza dalam rangka memasukkan bantuan-bantuan berupa logistik dan obat-obatan. Sekat-sekat nasionalisme benar-benar masuk ke dalam sanubari kaum muslimin. Pemimpin negeri-negeri muslim lebih takut dengan ancaman negara Barat daripada takut akan hari penghakiman. 

Sudah saatnya kita semua menyadari bahwa kaum muslimin butuh adanya persatuan. Kaum muslimin yang jumlahnya seperti buih di lautan sama sekali tidak mampu untuk mengusir entitas penjajah yang jumlahnya tidak seberapa. Semua ini terjadi karena tidak adanya persatuan umat di bawah satu kepemimpinan yang sama. Kaum muslimin membutuhkan perisai dalam melindungi segenap jiwa, harta, dan kehormatan. Sudah saatnya kaum muslimin menghendaki adanya persatuan dan penerapan aturan Islam secara kaffah, dengan adanya persatuan maka Gaza dan Palestina akan dibebaskan. Akhirnya kemenangan adalah sebuah niscaya. 

Wallahu a’lam bissawwab