-->

Kemiskinan niscaya dalam Kapitalisme, Kesejahteraan niscaya dalam Islam


Oleh : Ummu Farras

Lagi dan lagi, Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data kemiskinan nasional. Mereka mengklaim terjadi penurunan angka kemiskinan pada Maret 2025. Bahkan, disebut-sebut angka kemiskinan ekstrem berhasil ditekan. Namun jika kita menelisik lebih dalam, klaim tersebut justru menyisakan ironi dan tanda tanya besar. 
Pasalnya, pada saat yang sama, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Ribuan buruh di sektor industri, transportasi, hingga ritel kehilangan pekerjaan akibat penyesuaian bisnis di tengah lesunya daya beli.
Pertanyaannya, bagaimana angka kemiskinan bisa turun di tengah fakta lapangan yang menunjukkan kondisi sebaliknya?

Ternyata, salah satu “jurus” yang digunakan BPS adalah mengubah batas garis kemiskinan nasional menjadi sekitar Rp20.305 per hari. (Cnnindonesia.com, 25/07/2025) 
Angka ini didasarkan pada acuan Purchasing Power Parity (PPP) 2017 yang ditetapkan Bank Dunia, yakni USD 2,15 per hari. Dengan kata lain, siapa saja yang masih bisa hidup dengan lebih dari Rp20 ribu per hari dianggap tidak miskin ekstrem.

Ini adalah bentuk manipulasi statistik yang disengaja untuk menciptakan kesan progres, meskipun realitas di lapangan menunjukkan penderitaan yang meluas. Standar garis kemiskinan yang sangat rendah ini jelas tidak relevan dengan harga kebutuhan pokok yang terus meroket. Bayangkan, dengan Rp20 ribu, apa yang bisa dibeli hari ini? Satu liter minyak goreng dan sebutir telur pun tak cukup. Apakah orang yang hanya mampu makan sekali sehari dan tinggal di kontrakan sempit bisa disebut “tidak miskin ekstrem” hanya karena penghasilannya Rp21 ribu per hari?

Inilah realitas dalam sistem kapitalisme. Rakyat tidak hanya menjadi korban kebijakan ekonomi, tetapi juga korban pencitraan dan permainan angka. Kemiskinan bukan diatasi, tetapi disamarkan.

Masalah dari kemiskinan ekstrem bukanlah terletak pada cara mengukurnya, tetapi pada sistem ekonomi kapitalisme itu sendiri. Dalam sistem ini, sumber daya dan kekayaan hanya berputar di antara segelintir elite. Ketimpangan menjadi keniscayaan. Sementara mayoritas rakyat harus berebut akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan pekerjaan yang layak.

Kapitalisme menempatkan negara sebagai fasilitator pasar bebas, bukan sebagai pelayan rakyat. Negara hanya sibuk menciptakan “iklim usaha” yang ramah investor, sambil mengabaikan jutaan warganya yang tidak punya akses pada kebutuhan dasar. Harga BBM diserahkan ke mekanisme pasar, listrik dikomersialkan, pendidikan dan kesehatan diprivatisasi. Tak heran jika rakyat semakin sulit hidup layak, sementara kekayaan negeri dijual murah ke pihak asing dan konglomerat.

Kapitalisme adalah sistem yang cacat secara struktural. Ia menciptakan kemiskinan bukan karena kurangnya sumber daya, tetapi karena distribusi yang tidak adil dan kebijakan yang memihak pemilik modal. Sementara itu, pemerintah lebih peduli pada pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan investasi asing, ketimbang memastikan perut rakyatnya kenyang.

Islam dan Khilafah Menjamin Kesejahteraan Rakyat

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki sistem ekonomi yang adil dan menyejahterakan. Dalam sistem Khilafah, negara bertanggung jawab penuh terhadap pemenuhan kebutuhan dasar rakyat: pangan, papan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Semua itu dijamin tanpa syarat pasar dan tidak boleh dikomersialkan.

Negara dalam sistem Khilafah tidak berpangku tangan membiarkan rakyat kelaparan atau terlunta-lunta karena PHK. Kekayaan alam dikelola oleh negara untuk kemaslahatan umat, bukan diserahkan kepada swasta, korporasi asing untuk dijadikan ladang bisnis. Hasil tambang, hutan, laut, dan energi adalah milik umum yang harus dikelola oleh negara dan hasilnya dikembalikan kepada rakyat.
Pendidikan dan layanan kesehatan disediakan secara gratis dan berkualitas oleh negara. Lapangan kerja diciptakan berdasarkan kebutuhan riil, bukan karena tekanan pasar. Negara juga memiliki mekanisme distribusi kekayaan agar tidak terjadi penumpukan di tangan segelintir orang.

Ukuran kemiskinan dalam sistem Islam pun berbeda. Kemiskinan tidak diukur dengan angka PPP buatan Bank Dunia, tetapi dari realitas pemenuhan kebutuhan pokok individu. Jika ada warga negara yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar, maka negara wajib turun tangan, mencarikan solusi, bahkan menjamin nafkahnya.

Sistem Islam bukan sekadar teori. Ia telah terbukti selama berabad-abad dalam sejarah peradaban Islam. Di masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, tidak ditemukan lagi orang yang layak menerima zakat, karena semua kebutuhan sudah tercukupi. Baitul Mal (lembaga keuangan negara Islam) berperan aktif dalam mendistribusikan kekayaan, mendanai pembangunan, dan menjamin kebutuhan rakyat.
Sumber kekayaan negara sangat kuat karena berasal dari:
• Harta milik umum (seperti hasil tambang, energi, dan air)
• Harta milik negara (kharaj, fai, jizyah, dll)
• Zakat (khusus untuk Muslim)
• Ghanimah (harta rampasan perang)
Semua ini dikelola secara amanah dan adil, bukan untuk memperkaya elit penguasa, melainkan untuk memastikan tidak ada satu pun rakyat yang hidup dalam kelaparan.

Dalam sebuah hadis riwayat Muslim, Rasulullah, SAW bersabda:
"Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya." (HR. Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa dalam Islam, pemimpin tidak boleh membiarkan rakyat kelaparan, apalagi memanipulasi data untuk menyembunyikan kegagalan karena ia bertanggung jawab langsung atas kesejahteraan rakyatnya.

Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa kemiskinan yang terus-menerus ini bukan karena nasib, melainkan karena sistem yang salah. Kapitalisme bukan hanya gagal mensejahterakan, tetapi juga menipu dan menzalimi rakyat. Ia hanya melayani kepentingan pemilik modal, bukan rakyat jelata.

Sebaliknya, Islam melalui sistem Khilafah telah terbukti mampu mewujudkan keadilan sosial dan kesejahteraan yang hakiki. Bukan dengan angka, tetapi dengan realitas yang bisa dirasakan oleh setiap individu.

Jika umat menginginkan perubahan yang nyata, maka solusinya bukan reformasi dalam sistem kapitalisme, tetapi transformasi total menuju sistem Islam. Saatnya umat mencampakkan kapitalisme dan kembali kepada aturan Allah SWT yang telah terbukti adil, manusiawi, dan membawa keberkahan dunia akhirat.
Wallahualam bissawab.[]