Kenaikan PBB Ugal-ugalan Membuat Rakyat Menderita, Adakah Solusi dari Sistem Ekonomi Islam?
Oleh : Imam Suyudi, Praktisi Bisnis Syariah
PBB di sini bukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, bukan pula Peraturan Baris Berbaris. PBB yang dimaksud adalah Pajak Bumi dan Bangunan—pungutan tahunan yang dikenakan kepada pemilik tanah dan bangunan. Namun belakangan ini, PBB seolah berubah makna: “Pajak Bikin Bingung” atau bahkan “Pajak Bikin Bangkrut.” Kenaikannya begitu drastis, tanpa logika, tanpa empati.
Di berbagai daerah, lonjakan PBB menjadi momok. Di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, tarif PBB-P2 sempat naik hingga 250 persen. Di Kabupaten Semarang, seorang warga bernama Tukimah terkejut saat tagihan PBB rumahnya melonjak dari Rp161.000 menjadi Rp872.000. Di Kota Cirebon, kenaikan mencapai 1.000 persen. Di Jombang, pajak naik 800 persen, dan seorang warga membayar dengan uang koin dari celengan anaknya sebagai bentuk protes.
Fenomena ini mencerminkan ambisi pemerintah daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD), tanpa mempertimbangkan daya beli masyarakat. Ribuan warga Pati turun ke alun-alun, menyerukan satu kata: lengserkan. Mereka bukan pemilik properti mewah, melainkan rakyat biasa yang hidup dari hasil tani dan warisan rumah sederhana. “Ekonomi sedang sulit. Kami bukan terlahir orang kaya,” ujar mereka.
Tokoh masyarakat pun angkat bicara. Prof. Dr. Djohermansyah Djohan, Guru Besar IPDN, menyebut kebijakan ini tidak peka dan cacat prosedural. Ia menegaskan, kebijakan publik tidak boleh hanya berorientasi pada PAD, tetapi harus mempertimbangkan kemampuan rakyat dan tingkat kemiskinan.
“Pemimpin harus punya hati yang luas. Jangan marah-marah kepada rakyat,” katanya.
Ironisnya, di tengah kesulitan rakyat, pemerintah justru memberikan fasilitas pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) Badan bagi perusahaan yang menanamkan modal di Ibu Kota Nusantara (IKN). Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 28 Tahun 2024, pengurangan PPh Badan diberikan hingga 100 persen sejak perusahaan mulai beroperasi secara komersial. Perusahaan besar yang beroperasi di berbagai daerah pun berpotensi menikmati fasilitas ini.
Inilah wajah sistem kapitalisme, kebijakan yang berpihak pada pemilik modal besar, sementara rakyat kecil hanya menjadi objek penderita. Situasi ini mengingatkan kita pada masa jahiliah di Jazirah Arab, ketika kaum Quraisy memungut biaya dari para peziarah yang datang ke Ka'bah untuk menyembah berhala. Pungutan itu digunakan untuk pemeliharaan berhala dan keuntungan pribadi para pemimpin suku.
Namun, sejarah berubah saat Nabi Muhammad SAW menaklukkan Makkah. Islam hadir sebagai sistem yang menolak penindasan, kesewenang-wenangan, dan ketidakadilan. Sebagaimana firman Allah dalam QS al-Maidah ayat 8 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah dan saksi-saksi yang bertindak dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat kepada takwa.”
Dalam sistem ekonomi Islam, negara dipimpin oleh seorang imam atau khalifah yang bertugas mengelola harta rakyat sesuai syariat. Pajak dalam Islam dikenal sebagai dharibah, jizyah, dan kharaj. Pajak hanya dipungut untuk kebutuhan yang diwajibkan secara kolektif, seperti pembangunan jalan dan sekolah. Selain itu, tidak ada pajak tambahan yang memberatkan rakyat.
Pajak Bumi dan Bangunan dalam sistem Islam disebut kharaj, yaitu pajak atas tanah kharajiyah—tanah yang hasilnya dipungut oleh negara dari pemiliknya, baik Muslim maupun non-Muslim. Namun, pemungutannya sangat ketat: hanya dari sisa nafkah dan harta orang kaya, sesuai syariat. Harta orang kaya adalah harta yang tersisa setelah kebutuhan primer dan sekunder terpenuhi secara makruf, sesuai taraf hidup di daerah masing-masing.
Artinya, pajak tidak dipukul rata berdasarkan persentase, melainkan dihitung berdasarkan kelebihan harta setelah kebutuhan dasar terpenuhi. Contohnya, jika seseorang membutuhkan mobil dan pembantu, maka pajak baru dikenakan jika ia memiliki kelebihan harta setelah memenuhi kebutuhan tersebut. Begitu pula jika ia memiliki istri, maka kebutuhan istrinya juga diperhitungkan. Jika hartanya tidak melebihi kebutuhan tersebut, maka ia tidak wajib membayar pajak.
Khalifah Umar bin Khattab RA memberikan contoh nyata dalam penerapan kharaj. Beliau meneliti kandungan tanah sebelum menetapkan pajak, dan tidak bertindak zalim terhadap pemiliknya. Dalam beberapa kondisi, beliau menetapkan 1 jarib tanah dikenakan 1 qafiz (sekitar 33 kg hasil bumi) dan 1 dirham. Di daerah lain, jumlahnya berbeda, tergantung pada kandungan tanah. Beliau bahkan memberlakukan kebijakan berbeda untuk wilayah Syam.
Inilah sistem ekonomi Islam: adil, manusiawi, dan berpihak pada kesejahteraan rakyat. Pajak dipungut berdasarkan kemampuan, bukan sekadar angka. Negara tidak memeras rakyat demi ambisi pendapatan, tetapi mengelola harta dengan amanah dan kasih sayang.
Sebagai umat Islam, sudah sepatutnya kita merindukan penerapan Islam secara kaffah. Rasa rindu itu harus dibuktikan melalui pencarian ilmu dan dakwah yang konsisten. Karena hanya dengan sistem yang adil dan berpihak pada rakyat, kita bisa keluar dari jerat penderitaan akibat kebijakan yang ugal-ugalan. Wallahu a’lam bishawab.[]
Posting Komentar