-->

Kelonggaran Impor, Mengakibatkan Lesunya Ekonomi Indonesia


Oleh : Lulu Sajiah, S.Pi., Pemerhati Agromaritim

Indonesia dikenal negara kaya akan sumber daya alam (SDA) baik hayati maupun non-hayati. Apabila pengelolaan dengan bijaksana, sangat mudah untuk memproduksi bahan baku dalam negeri. Ini akan menyerap tenaga kerja, menekan angka pengangguran, sekaligus memenuhi kebutuhan domestik dalam negeri. Hal tersebut, tentunya bisa menekan angka impor bahan baku dan barang jadi.

Namun, di negara ini terdapat 14 perusahaan terjadi pengurangan tenaga kerja besar-besaran, yakni 939.038 pekerja pada periode Agustus 2024 sampai Februari 2025. Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) tersebut paling besar terjadi di perusahaan tekstil. Data penambahan tenaga kerja hanya tumbuh sebanyak 523.383 orang pada periode itu. Info ini disampaikan Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi (metrotvnews.com, 8/8/2025).

Masih dilaman yang sama, Ristadi menilai ancaman gelombang PHK masih tetap membayangi apabila barang-barang impor murah terus membanjiri pasar domestik. Di sisi lain, terjadi penurunan tingkat konsumsi dalam negeri, sedangkan belanja pemerintah terhadap industri barang dan jasa yang aktivitas bisnisnya bergantung pada permintaan domestik.

Faktanya, pemerintah telah merubah aturan impor melalui Permendag Nomor 16 Tahun 2025 sebagai pengganti Permendag Nomor 8 Tahun 2024. Perubahan tersebut mencakup relaksasi terhadap 10 komoditas, salah satunya bahan baku plastik. Maka kelonggaran impor terjadi, dan itu pemerintah berdalih untuk menghadapi ketidakpastian global dan menjaga daya saing industri nasional. Sedangkan, keberlangsungan industri dalam negeri saat ini dalam posisi ketergantungan barang bahan baku, barang penolong dari impor itu besar sekali.

Dampak kondisi ekonomi kelas menengah di Indonesia tahun ini belum menguat. Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda, menyampaikan, daya beli mereka lemah, cenderung habis untuk sekadar urusan sandang dan harian belaka. Penjualan rumah dan properti dinilai belum terangkat pada kondisi yang stabil, dan penjualan mobil baru juga masih lesu. Kondisi ini sebenarnya cukup mengilustrasikan kelesuan ekonomi kelas menengah.

Narasi pemerintah yang menyebut perekonomian Indonesia terus melejit, seolah sama dengan menyebut kelas ekonomi menengah bagaikan tumbuh seperti tanaman bonsai.

Itulah yang terjadi dalam sistem kapitalisme. Indonesia menerapkan sistem kapitalisme, sistem yang berstandar materi dan bergantung pada negara tuan akan kebijakannya. Saat ini, negara tuan memaksakan mengimpor barang yang diinginkannya ke negara yang dituju, dengan mengabaikan perkembangan atau penurunan ekonomi negara yang dituju.

Sistem Khilafah Mampu membatasi Jumlah Barang Impor

Permasalahan ekspor dan impor barang merupakan salah satu urusan negara. Negara mengarahkan dan ikut campur tangan secara langsung terhadap perdagangan barang dengan negara lain. Maka dari itu, negara membangun pos-pos di tiap-tiap perbatasan negara sebagai tempat-tempat pengintai. Tempat ini sekaligus jalur khalifah menuju negara lain.

Tujuan pos-pos ini untuk mengarahkan secara langsung para pelaku bisnis baik individu maupun kelompok, baik sebagai penjual ataupun pembeli. Negara langsung menangani perpindahan individu serta kekayaan yang keluar masuk negara melalui perbatasan tersebut.

Warga negara khilafah diharamkan mengeluarkan barang penting dari dalam negeri yang bisa mengancam keberadaan negara. Namun, jika komoditi dikeluarkan bukan untuk membantu orang asing dalam memusuhi kaum Muslim, semisal pakaian, hasil pertanian dan sebagainya, maka dalam kondisi ini hukumnya mubah/boleh. 

Juga, khalifah (kepala negara) akan serius mengatasi barang-barang impor yang berlebih dalam rangka memproduktifkan bahan-bahan baku dari SDA yang dimiliki, sekaligus menyediakan jumlah lapangan kerja yang sangat banyak.

Di sisi lain, khalifah serius menjalankan sanksi bagi warganya sebagai importir barang yang melebihi kebutuhan dalam negeri, yakni dengan saksi ta'zir. Apalagi barang impor itu berpotensi merusak akal seperti narkotika.[]