Distorsi Zakat Jadi Pajak, Umat Dipaksa Tunduk pada Sistem Rusak
Oleh : Novi Ummu Mafa
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, menyampaikan sebuah analogi menarik dalam acara Sarasehan Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah, bahwa membayar pajak memiliki kedudukan yang setara dengan menunaikan zakat dan wakaf bagi mereka yang mampu. Menurutnya, ketiganya memiliki tujuan serupa yaitu menyalurkan sebagian rezeki kepada yang membutuhkan agar tercipta keadilan sosial dan kemaslahatan umum. Ia menyebutkan bahwa dalam setiap rezeki dan harta yang diperoleh seseorang terdapat hak orang lain. Hak tersebut dapat diberikan melalui zakat, wakaf, maupun pajak, dan pajak itu kemudian disalurkan kembali kepada pihak yang membutuhkan.” (detik.com, 14 Agustus 2025.
Secara lebih luas, Sri Mulyani menjelaskan bahwa pajak yang dibayar masyarakat tidak hanya bersifat administratif atau kewarganegaraan semata, melainkan juga instrumen nyata melalui APBN yang mendanai berbagai program sosial, seperti bantuan keluarga miskin, layanan kesehatan, pendidikan, serta pemberdayaan UMKM, yang semuanya mengembalikan manfaat kepada masyarakat yang membutuhkan.
Rakyat jadi Sapi Perah
Kebijakan pajak di negeri ini semakin menunjukkan ketidakadilan yang nyata. Hampir semua lini kehidupan kini tak luput dari jeratan pajak. Mulai dari kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, hingga aktivitas usaha kecil yang menjadi tumpuan rakyat semua dikenai pajak. Tarif pajak kian meningkat, objek pajak semakin diperluas, sementara daya beli masyarakat terus melemah karena tekanan ekonomi. Akibatnya, rakyat kecil yang seharusnya dilindungi justru dipalak habis-habisan oleh negara.
Ironisnya, di saat rakyat berkeringat membayar pajak, para pejabat justru hidup dalam kenyamanan. Gaji dan tunjangan mereka terus naik, fasilitas melimpah, bahkan pajak penghasilan dari gaji dan tunjangan pejabat ditanggung negara. Artinya, pajak yang seharusnya dibayar pejabat sesungguhnya dibebankan kembali kepada rakyat melalui APBN dan APBD. Dengan demikian, rakyat bukan hanya dipaksa membayar pajak untuk dirinya sendiri tetapi juga ikut menanggung pajak para pejabat yang hidup makmur dari uang rakyat.
Kondisi ini menyingkap wajah asli demokrasi kapitalisme, sistem yang menjadikan rakyat sebagai sapi perah, sementara elite politik dimanjakan dengan fasilitas istimewa. Pajak bukan lagi instrumen pembangunan, tetapi alat legal untuk menguras harta rakyat demi menopang gaya hidup mewah penguasa. Maka, membandingkan pajak dengan zakat atau wakaf jelas merupakan kekeliruan besar, sebab pajak dalam sistem kapitalisme hanyalah perampasan, bukan ibadah yang menumbuhkan keberkahan.
Mekanisme Distribusi Harta dalam Islam
Islam memiliki mekanisme yang adil dalam mengatur distribusi harta yaitu zakat. Zakat adalah kewajiban syar’i yang telah ditetapkan Allah ﷻ dengan aturan yang baku, baik jenis maupun kadarnya sehingga tidak bisa diubah sesuka penguasa. Zakat hanya diwajibkan bagi kaum muslimin yang hartanya telah mencapai nisab, sedangkan orang miskin tidak dibebani kewajiban ini, justru merekalah yang berhak menjadi penerima zakat. Hasil zakat pun tidak bisa digunakan sembarangan, tetapi hanya disalurkan kepada delapan golongan penerima sebagaimana yang ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS. At-Taubah: 60). Dengan demikian, zakat benar-benar menjadi instrumen distribusi harta yang membersihkan, menyucikan, dan menumbuhkan keberkahan, bukan sekadar pungutan yang menambah beban rakyat.
Hal ini sangat berbeda dengan pajak dalam sistem kapitalisme. Pajak adalah pungutan buatan manusia yang besarannya bisa berubah-ubah sesuai kehendak rezim, bahkan bisa diperluas ke hampir semua aspek kehidupan. Rakyat miskin pun tetap harus membayar pajak, misalnya lewat PPN atas barang konsumsi harian, sehingga rakyat dipalak habis-habisan oleh sistem. Ironinya, pajak yang dikumpulkan negara justru banyak dialokasikan untuk membiayai birokrasi, gaji dan tunjangan pejabat, bahkan tidak jarang bocor melalui praktik korupsi.
Akibatnya, pajak menjadi instrumen penindasan rakyat dan sumber kemewahan para pejabat bukan sarana keadilan sosial sebagaimana disamakan dengan zakat atau wakaf.
Pajak dalam Sistem Khilafah
Adapun dalam sistem Khilafah, pajak (dharibah) bukanlah sumber utama pendapatan negara. Pajak hanya diberlakukan dalam kondisi darurat, misalnya ketika Baitul Mal kosong sementara ada kebutuhan mendesak seperti pembiayaan jihad atau penanganan bencana besar. Pajak pun hanya dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya, bukan rakyat miskin. Begitu kondisi normal kembali, pungutan pajak langsung dihentikan. Inilah yang membedakan pajak dalam Islam dengan pajak kapitalisme dalam Islam, pajak bersifat insidental, terbatas, dan adil. Sementara dalam kapitalisme pajak bersifat permanen, tak terbatas, dan menindas rakyat.
Karena itu, menyamakan pajak dengan zakat adalah sebuah kekeliruan besar. Zakat merupakan kewajiban ilahiyah yang penuh keberkahan dan meringankan beban rakyat, sedangkan pajak kapitalisme hanyalah instrumen perampasan legal yang menjerat rakyat kecil demi menopang kemewahan penguasa. Satu-satunya jalan keluar dari ketidakadilan ini adalah dengan kembali pada sistem Islam dalam bingkai Khilafah, yang menegakkan zakat sebagai instrumen utama keuangan negara dan menempatkan pajak hanya sebagai mekanisme darurat yang insidental serta penuh keadilan.
Khatimah
Maka jelaslah, pajak kapitalisme yang menjerat rakyat tidak layak disamakan dengan zakat yang merupakan syariat Allah ﷻ. Menyamakan keduanya sama saja dengan menutup-nutupi hakikat ketidakadilan yang sedang berlangsung, seolah rakyat rela dipalak demi menopang kekuasaan rezim yang rakus. Pertanyaannya, sampai kapan umat akan terus dibiarkan diperas atas nama pajak, sementara syariat Islam yang penuh keadilan justru terus diabaikan? Tidakkah kerinduan pada sistem Ilahi yang menetapkan zakat sebagai kewajiban mulia, yang dengan itu rakyat disejahterakan dan harta dijaga keberkahannya, akan terus dipendam?
Saatnya umat sadar, hanya Khilafah Islam yang mampu menyingkirkan pajak zalim kapitalisme dan menggantinya dengan aturan Allah yang hakiki, adil, dan menenteramkan.

Posting Komentar