-->

Blokir Rekening ala Kapitalisme, Bagaimana Islam Memandangnya?


Oleh : Linda Anisa

Lagi dan lagi warga digegerkan dengan kebijakan sepihak yang merugikan mereka. Bagaimana tidak, mencuatnya berita terkait pemblokiran rekening nasabah secara sepihak baru – baru ini menjadi buktinya. PPATK sejak Mei 2025 telah melakukan penghentian sementara terhadap transaksi rekening dormant (tidak aktif) dengan alasan mencegah penyalahgunaan dalam tindak pidana seperti judi online dan pencucian uang (ppatk.go.id).

Meskipun PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) memiliki kewenangan memblokir rekening atas dugaan tindak pidana berdasarkan UU No. 8 Tahun 2010, Pasal 44 (i), tindakan tersebut memiliki batasan tegas yakni hanya boleh dilakukan jika ada indikasi kuat terhadap tindak pidana pencucian uang (Bisnis.com).

Namun kenyataannya, pemblokiran rekening dormant—yang berarti tidak aktif—tanpa indikasi pidana nyata dianggap berbahaya oleh lembaga riset seperti The PRAKARSA. Peneliti Ari Wibowo menyebutnya sebagai “pelanggaran serius terhadap hak konstitusional dan hak asasi finansial warga negara” karena dilakukan tanpa proses hukum yang memadai (THEJURNAL.ID).

Selain itu, Ketua Infobank Institute, Eko B. Supriyanto, menyebut bahwa langkah tersebut menimbulkan luka kepercayaan publik terhadap perbankan: “Luka sekali … ini bisa berbahaya apabila terjadi ketidakpercayaan masyarakat terhadap perbankan” (infobanknews.com). Hal serupa disampaikan oleh legislator Melchias Markus Mekeng, yang menyatakan bahwa PPATK “sudah terlalu jauh masuk ke dalam ranah pribadi” tanpa landasan hukum yang jelas (www.jpnn.com).

Kasus pemblokiran rekening dormant oleh PPATK menjadi contoh nyata bagaimana negara, atas nama pengawasan keuangan, dapat mengakses, membatasi, bahkan menghentikan hak seseorang atas harta pribadinya tanpa proses peradilan yang transparan. Hal ini menimbulkan keresahan publik dan mencederai prinsip keadilan, karena mengabaikan asas praduga tak bersalah.

Islam dan Pemblokiran Rekening Nasabah

Dalam pandangan Islam, kepemilikan individu atas harta merupakan hak yang sakral dan tidak boleh dirampas, dibatasi, atau dibekukan tanpa alasan yang dibenarkan secara syar’i dan berdasarkan proses hukum yang adil. Hal ini ditegaskan oleh banyak fuqaha (ahli fikih) dalam berbagai literatur klasik. Misalnya, dalam Al-Mughnī karya Ibn Qudāmah, disebutkan: “Tidak halal mengambil harta seorang Muslim kecuali dengan kerelaannya atau dengan hak yang dibenarkan oleh syariat.” (Al-Mughnī, Jilid 4, hlm. 416)
Prinsip ini selaras dengan hadits Nabi Muhammad ﷺ: “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian adalah suci atas kalian, sebagaimana sucinya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan kata lain, Islam memandang pelanggaran terhadap hak kepemilikan sebagai pelanggaran serius terhadap kehormatan seorang Muslim. Maka, tindakan seperti pemblokiran rekening bank tanpa bukti hukum, sebagaimana yang terjadi dalam sistem kapitalisme sekuler, termasuk dalam bentuk pelanggaran terhadap prinsip ini.

Lebih jauh lagi, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, dalam kitab Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, menekankan bahwa negara tidak memiliki kewenangan mengambil harta individu tanpa dalil syar'i:
“Negara tidak berhak mengambil, mengelola, atau menyita harta milik individu kecuali jika terdapat nas (teks syar’i) yang jelas yang membenarkannya.”
(Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam, hlm. 120)
Dalam hal ini, kecurigaan administratif, data teknis seperti "rekening dormant", atau dugaan semata, tidak cukup menjadi dasar untuk merampas atau membekukan harta. Semua itu harus melalui pengadilan syar’i, dengan bukti nyata, dan individu yang dituduh memiliki hak penuh untuk membela diri.

Sementara itu, prinsip al-barā’ah al-aṣliyyah dalam hukum Islam menyatakan bahwa seseorang tidak bertanggung jawab atas sesuatu sampai terbukti secara hukum. Imam asy-Syathibi menjelaskan dalam al-Muwāfaqāt: “Asal segala sesuatu adalah bebas dari tanggungan hingga datang dalil yang mewajibkan.” (Al-Muwāfaqāt, Jilid 2, hlm. 302)

Artinya, jika seseorang memiliki rekening dan tidak melakukan transaksi dalam jangka waktu tertentu, itu tidak bisa otomatis dianggap sebagai aktivitas ilegal. Tanpa pembuktian yang sah, harta orang tersebut tidak boleh diblokir atau dibekukan.
Dalam sistem Khilafah Islam, pemimpin negara bertindak sebagai rā‘in (pengurus urusan umat), bukan pengontrol harta rakyat. Syekh Abdul Qadim Zallum dalam Al-Amwāl fi Dawlat al-Khilāfah menegaskan:
“Penguasa tidak dibenarkan mengambil harta dari rakyat, kecuali jika ada sebab yang dibenarkan oleh syariat dan sesuai dengan metode yang telah ditentukan.”
(Al-Amwāl fi Dawlat al-Khilāfah, hlm. 151)

Dengan demikian, sangat jelas bahwa dalam Islam tidak dibenarkan adanya praktik semena-mena seperti pemblokiran rekening tanpa pengadilan syar’i. Tindakan semacam ini bukan hanya bertentangan dengan fikih muamalah dan prinsip keadilan, tetapi juga mencederai maqashid syariah dalam menjaga harta. Selama harta tersebut diperoleh secara halal dan tidak ada bukti penggunaan dalam tindakan kriminal, maka harta itu sepenuhnya milik individu, baik digunakan, disimpan, maupun ditinggalkan. Negara tidak berhak mengambilnya atas dasar "tidak aktif" atau tidak digunakan dalam jangka waktu tertentu. Ini adalah bentuk penjagaan Islam terhadap stabilitas keuangan rakyat, rasa aman dalam bertransaksi, dan kepercayaan terhadap sistem pemerintahan.

Dengan demikian, sistem Islam menegakkan keadilan secara menyeluruh. Ia tidak hanya melindungi harta rakyat, tetapi juga menjaga martabat manusia dari intervensi yang zalim. Negara dalam Islam tidak berorientasi pada kepentingan ekonomi elit atau penguatan kontrol administratif, melainkan pada penegakan hukum yang berpihak kepada rakyat dan diridhai oleh Allah Swt.
Wallahu a’lam bi ash sawab