-->

Penistaan Nabi Berulang Kembali, Buah Kebebasan Ala Demokrasi


Oleh : Alin Aldini, S. S., Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Bentrokan meletus di Istambul, Turki, usai sejumlah massa berdemo memprotes kartun Nabi Muhammad yang dibuat majalah satir LeMan, Senin, 30 Juni 20205. Beberapa kartunis majalah satir ditangkap otoritas Turki setelah menerbitkan ilustrasi yang dinilai menyinggung agama karena dianggap menggambarkan Nabi Muhammad dan Nabi Musa. Kartun itu memicu kecaman luas dari pemerintah dan kelompok konservatif. Presiden Recep Tayyip Erdogan menyebut karya tersebut sebagai ‘provokasi keji’ dan menegaskan pemerintah tak akan mentolerir penghinaan terhadap nilai-nilai sakral umat Islam (cnbcindonesia.com, 5/7/2025)

Turki dengan banyaknya bekas peninggalan Islam di sana, masih membuktikan kelemahannya pada penghina Nabi ketika menerapkan sistem pemerintahan yang berakidah sekuler, meski kecaman dan aksi protes dari massa pun menunjukkan kemuliaan Nabi Muhammad SAW tidak bisa digambarkan hanya sekadar dengan kartun, karena di dalam Islam sendiri tidak boleh menggambarkan Rasulullah SAW, jika ada yang berani memvisualisasikannya, jelas itu adalah sebuah penghinaan.

Tidak cukup hanya mengecam, people power terbukti justru hanya menimbulkan masalah baru, yaitu kerusuhan. Kemarahan umat Muslim sejatinya panggilan akidah Islam yang masih tersisa di Turki meski hanya sebatas dianut oleh individu-individu saja, begitu pun penguasanya. Panggilan akidah Islam yang masih kental membuat siapa saja ikut geram akibat dari penghinaan ini. Namun sayangnya sistem hidup sekuler-kapitalisme akan jadi tameng kebebasan berekspresi jika hanya mengecam atau bahkan menangkap beberapa kartunis atau pembuat gambar yang menghina nabi tersebut.

Buah simalakama demokrasi yang mengusung empat pilar kebebasan, salah satunya kebebasan berekspresi membuat siapa saja yang memiliki ‘imajinasi’ dengan alasan kritik terhadap kezaliman menjadi bumerang untuk menegakkan keadilan, karena sejatinya hanya aturan hidup Islam yang mampu membawa keadilan. Dalam sistem demokrasi yang berakidah sekuler-kapitalisme, suara terkuat adalah ‘uang’ atau negara adidaya yang memiliki banyak modal. Yang benar bisa jadi salah, dan yang salah bisa jadi benar. 

Dalam klarifikasi pemimpin redaksi majalah LeMan, Tuncay Akgun, bahwa nama seorang Muslim yang terbunuh dalam pengeboman Israel difiksikan sebagai Muhammad. Lebih dari 200 juta orang di dunia Islam bernama Muhammad. LeMan juga telah membuat klarifikasi bahwa gambar mereka telah sengaja disalahartikan untuk menyebabkan provokasi (cnnindonesia.com, 1/7/2025)

Klarifikasi ini pula, menuai bentrok bukan hanya antara organisasi konservatif dengan menggandeng pemerintah dan majalah LeMan tersebut tapi juga organisasi masyarakat sipil yang menganggap tindakan pemerintah ini berlebihan dan menambah catatan buruk iklim kebebasan pers di Turki.

Berkaca dari sejarah umat Islam saat Rasulullah SAW masih ada, penghina dan penista agama sudah ada sejak saat itu. Sejatinya kebatilan dan kebenaran akan senantiasa ‘berperang’. Rasulullah SAW memang cenderung memaafkan atau hanya berdoa keburukan bagi orang-orang yang menghinanya saat sebelum hijrah ke Madinah, karena saat itu belum ada wahyu untuk memerangi bahkan membunuh orang yang menghina dan menistakan agama.

Berlainan halnya saat kekuasaan politik berada di tangan Rasulullah SAW, posisi beliau bukan hanya sekadar Nabi tapi juga pemimpin atau penguasa sebuah negara Islam, maka beliau berhak (berkewajiban) melaksanakan hukum ta’zir yang kadarnya disesuaikan dengan besarnya kesalahan.

Oleh karena itu, kebutuhan umat akan hadirnya institusi negara yang mampu menerapkan hukum adil, yakni sistem Islam, menjadi sebuah agenda utama dalam melaksanakan seluruh hukum syara'. Barat memang membangun propaganda islamphobia agar khilafah (institusi Islam) tersebut semakin buruk dalam kacamata umat, namun kesadaran umat akan kebutuhannya tidak bisa dibendung lagi, kebangkitan Islam memang senantiasa akan terus dijegal oleh paham-paham kebebasan ala demokrasi.[]