KOK BISA TANPA KOMPENSASI SETELAH DIBONGKAR RUMAHNYA?
Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)
Sudah menjadi rahasia umum jika rakyat selalu di posisi yang lemah. Apalagi jika sudah menyangkut masalah penggusuran rumah, lebih-lebih jika terkait dengan masalah ganti ruginya.
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang lebih dikenal dengan Kang Dedi Mulyadi (KDM) menjelaskan mengapa uang kompensasi bagi sebagian warga Bekasi tidak mereka dapatkan setelah rumahnya di daerah bantaran sungai dibongkar.
KDM menjelaskan melalui akun Instagram pribadinya bahwa ada keluhan tentang hal ini dan terdapat perbedaan pembongkaran bangunan liar di wilayah Kabupaten Bekasi, dengan pembongkaran ada yang dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat (www.jabar.tribunnews.com, Kamis 10 Juli 2025) (1).
KDM menjelaskan bahwa bagi warga yang rumahnya dibongkar oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, mendapatkan kompensasi; sedangkan warga yang rumahnya dibongkar oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi, tidak mendapatkan kompensasi. KDM menjelaskan bahwa uang kompensasi itu berasal dari dana tanggung jawab sosial (CSR) mitra kerja Pemprov Jabar, dan bukan dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) provinsi Jawa Barat. Sedangkan kabupaten Bekasi tidak mempunyai dana CSR (Corporate Social Responsibility). Tapi KDM menambahkan bahwa Penataan bantaran sungai tetap perlu dilakukan agar saluran air bisa diperlebar dan diperdalam, sehingga berkontribusi dalam penanganan banjir.
Menjamurnya bangli merupakan bukti kerusakan tata kota akibat system sekuler kapitalisme saat ini. Ekonomi kapitalistik yang menekankan pasar bebas, membuat pemerintah mengistimewakan para kapitalis yang bisa membangun fasilitas rakyat; yang penting mereka punya modal besar. Akhirnya fasum dikomersilkan, karena para kapitalis ingin mereguk keuntungan materi. Termasuk dalam membangun kota. Hal ini berefek pembangunan terpusat pada kota besar-kota besar saja, seperti salah satunya Bekas. Maka terjadilah ledakan urbanisasi. Pembangunan marak di Bekasi yang membutuhkan banyak pekerja, sehingga rakyat darimana pun tertarik mengadu nasib di Bekasi. Dampaknya jumlah penduduk bertambah, dampaknya makin menjamur bangli (bangunan liar). Efek ikutannya adalah banjir semakin menggila.
Pemerintah gagal menyelesaikan akar masalah maraknya bangli dan terjadinya banjir, yaitu tata kota yang buruk. Tapi malah justru berjibaku dengan penggusuran dengan dalih untuk meremajakan bantaran kali. Hak rakyat untuk mendapatkan kebutuhan dasarnya, yaitu kesejahteraan dan rumah yang layak, terabaikan. Bahkan dengan dalih keterbatasan dana dan perbedaan pihak yang berwenang, akhirnya rakyat yang rumahnya digusur tidak mendapatkan Ganti rugi yang layak.
Kompensasi penggusuran tidak didapat oleh warga juga menjadi bukti dampak buruknya kebijakan Otoda (Otonomi Daerah), di mana kebijakan pemerintah daerah tiap wilayahakan berbeda terhadap satu kasus. Terbukti kebijakan pemkab Bekasi dan pemprov Jabar berbeda kebijakan soal Ganti rugi warga korban penggusuran. Bahkan ironisnya, dana kompensasi bukan dari APBD tapi CSR yang merupakan sumbangan sosial dari Perusahaan-perusahaan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah abai dalam memenuhi hak warga untuk mendapatkan ganti rugi. Sangat khas kebijakan kapitalistik, di mana negara berpikir seperti pedagang, yang selalu berhitung untung rugi untuk melayani rakyatnya. Tidak akan ada lagi pelayanan terhadap rakyat yang Ikhlas tanpa pamrih.
Berbeda dengan system Islam, dengan kesempurnaannya yang berasal dari Allah yang Maha Tahu aturan yang terbaik untuk hambaNya. Islam akan menjamin kebutuhan dasar rakyat dengan penerapan Islam secara kafah sebagai konsekuensi iman pada Allah SWT. Hal ini hanya bisa diwujudkan dalam naungan Khilafah. Ini karena KHilafah sebagai negara, berkewajiban melayani (meriayah) dan melindungi (sebagai junnah/perisai) bagi rakyat. Sesuai dengan hadis Nabi :
“Sungguh Imam (Khalifah) adalah perisai (junnah). Orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung dengan dirinya (HR Muslim).
Khilafah akan memenuhi kebutuhan rakyat akan fasum yang mereka butuhkan, baik berupa sekolah, kampus, perkantoran, rumah sakit, klinik, pasar, bandara, stasiun, dan lain-lain; dengan kualitas terbaik dan mudah mereka jangkau. Dijamin di setiap kota akan ada semua fasilitas itu. Ditopang dengan Pembangunan transportasi umum yang baik, untuk mempermudah mobilitas warga, dengan biaya yang terjangkau, bahkan bisa murah atau bahkan gratis. Termasuk juga menjamin kebutuhan dasar rakyat baik sandang, pangan dan papan. Otomatis Khilafah akan mensejahterakan rakyat di kota masing-masing, sehingga mencegah laju urbanisasi dan menjamurnya bangli.
Jika Khilafah akan membangun fasum (fasilitas umum) dengan resiko menggusur rumah rakyat, maka akan dikomunikasikan sebaik mungkin agar rakyat sukarela pindah, bukan dipaksa pindah. Ini karena Khilafah akan memberikan ganti untung, bukan sebatas ganti rugi, bagi rakyat yang akan dipindah rumahnya (digusur). Jika rakyat tidak rela, mereka tidak akan dipaksa pindah; akan tetapi tetap ditekankan komunikasi efektif dan pemberian Ganti untung bagi rakyat yang setuju pindah tersebut. Dengan cara ini akan besar kemungkinan rakyat tersebut bersedia pindah.
Khilafah adalah system pemerintahan Islam yang bersifat memusat. Segala kebijakan memusat pada Keputusan Khalifah sebagai pemimpin negara, yang berkewajiban membuat keputusan berdasarkan Syariat Islam. Sehingga tidak akan ada perbedaan kebijakan berkaitan dengan satu hal-seperti masalah pemberian kompensasi warga yang digusur rumahnya-, hanya karena perbedaan wilayah. Karena selama itu dalam wilayah Khilafah, maka hanya akan ada satu kebijakan dalam satu hal. Bahwa jika ada warga yang digusur rumahnya untuk proyek negara demi kepentingan rakyat, maka akan diberikan Ganti untung bagi warga tersebut. Tidak akan ada kebijakan Otoda alias Otonomi Daerah, yang menimbulkan tumpeng-tindih kebijakan dan menimbulkan ketidakadilan serta diskriminasi di tengah-tengah rakyat.
Ini ditunjukkan oleh Umar bin Khaththab melalui keteladanannya saat menjabat sebagai Khalifah. Ada seorang Yahudi lansia, protes rumah gubuknya digusur karena gubernur Mesir mempunyai proyek perluasan masjid. Dia protes pada gubernur Mesir. Gubernur Mesir tidak menanggapi protes tersebut. Akhirnya Yahudi lansia ini protes pada Khalifah Umar bin Khaththab. Beliau pun mengambil tulang dan digoresnya tulang itu dengan pedangnya. Tulang itu lantas diberikan pada Yahudi lansia tersebut sebagai jawabannya dan memerintahkan agar tulang tersebut diberikan pada Gubernur Mesir. Awalnya si Yahudi lansia tersebut terheran-heran. Tapi dia menuruti saja apa yang diperintahkan Khalifah Umar. Lalu dia menemui gubernur Mesir dan memberikan tulang tersebut seraya menyampaikan bahwa ini pesan dari Khalifah Umar. Sontak gubernur Mesir tersebut ketakutan. Dia buru-buru mendirikan kembali gubuk si Yahudi lansia tersebut dan ini membuat dia terheran-heran. Dia pun bertanya, apa gerangan yang membuat gubernur tersebut ketakutan? Lantas gubernur tersebut menjelaskan bahwa tulang itu adalah pesan dari Khalifah Umar agar berbuat adil pada semua rakyat, walau pun pada seorang Yahudi lansia sekalipun. Karena jika tidak demikian, maka Khalifah Umar yang akan mendisiplinkan gubernur tersebut dengan menebaskan pedangnya. Hal ini membuat Yahudi lansia terkagum-kagum dengan keadilan Islam, akhirnya dia pun masuk Islam dan merelakan untuk menyerahkan gubuknya untuk proyek perluasan masjid.
Inilah solusi Khilafah dengan Islam kafahnya, yang pasti akan memberikan keadilan bagi rakyatnya, yang akan mampu menyelesaikan secara tuntas berkaitan dengah problem ganti rugi penggusuran rumah warga.
Wallahualam Bisawab
Catatan Kaki :
(1) https://search.app/fS4KG
Posting Komentar