-->

Beras Oplosan, Cermin Kecurangan Kapitalisme


Oleh : Mutia Syarif
Blitar, Jawa Timur 

Kembali terjadi fenomena pengoplosan bahan pangan. Kali ini, bahan makanan pokok masyarakat yang menjadi sasaran. Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan, beras oplosan beredar sampai di rak supermarket dan minimarket. Beras itu dikemas seolah-olah premium, tapi kualitas dan kuantitasnya menipu. (kompas.com, 13 Juli 2025)

Ini merupakan sebuah keprihatinan serius di sektor pangan nasional. Hasil investigasi Kementerian Pertanian (Kementan) bersama Satgas Pangan menunjukkan 212 merek beras terbukti tidak memenuhi standar mutu, mulai dari berat kemasan, komposisi, hingga label mutu. (kompas.com, 13 Juli 2025)

Mentan Amran Sulaiman menegaskan, praktik semacam ini menimbulkan kerugian luar biasa hingga Rp 99 triliun per tahun, atau hampir Rp 100 triliun jika dipertahankan.

Sungguh miris, lagi-lagi rakyat menjadi korban kecurangan kapitalisme. Lebih tega dan tak berperasaan, mereka menyasar kebutuhan pokok paling mendasar masyarakat. Praktik kecurangan adalah hal yang sangat mungkin terjadi dalam sistem kapitalisme. Sebab kapitalisme berasaskan sekulerisme, yakni pemisahan agama dari kehidupan. Tidak adanya peran agama dalam pengaturan kehidupan akan menyebabkan kekacauan di semua lini. Karena tolok ukur perbuatannya bukanlah halal dan haram, melainkan manfaat semata. Maka dari itu , sistem kapitalisme akan menempuh segala cara demi keuntungan.

Sekalipun pemerintah langsung menindaklanjuti isu tersebut dengan melaporkan kasus ke Kapolri dan Jaksa Agung, namun kecurangan seperti ini terus terjadi. Hal ini karena lemahnya pengawasan dan sistem sanksi yang berlaku di negeri ini. Lebih dari itu, para individu yang "gagal" bertakwa adalah penyebab utamanya. Sistem pendidikan yang diterapkan negeri ini gagal mencetak masyarakatnya untuk menjadi individu yang amanah dan bertakwa. 

Pengelolaan pangan dari hulu ke hilir dikuasai oleh korporasi dengan orientasi bisnis. Dan pada faktanya, penguasaan negara terhadap sektor pangan hanya 10 persen. Sehingga negara tidak memiliki bargaining power terhadap korporasi. Kemudian imbas dari hal ini adalah lemahnya pengawasan dan sistem sanksi.

Penguasa dan pejabat dalam islam adalah pelayan rakyat. Maka sudah menjadi kewajiban bagi mereka untuk meriayah rakyat terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan pokok. Salah satunya adalah pengelolaan pangan. Islam mengharuskan mereka menjadi soaok pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab dalam menegakkan keadilan.

Tegaknya aturan dalam islam didukung oleh tiga hal yakni, ketakwaan individu, kontrol masyarakat dan ditegakkannya aturan oleh negara. Hal ini akan terwujud dengan diterapkannya sistem sanksi yang tegas dan menjerakan. Dalam sistem islam, terdapat qadhi hisbah yang akan memeriksa dan memastikan regulasi terkait hal ini berjalan dengan baik dan sesuai aturan. Selain itu negara juga harus mengambil peran aktif dalam mengurusi pangan masyarakat. Mulai dari produksi, distribusi, sampai pada konsumsi. Tidak cukup hanya memastikan pasokan tersedia, tapi juga mengawasi dan mengurusi rantai tata niaga, sehingga tidak tercipta celah-celah kecurangan. Dan memastikan pangan benar-benar sampai kepada seluruh individu masyarakat.

Dengan sistem yang begitu detail dan teliti seperti ini, niscaya tidak akan ada celah bagi kecurangan. Sistem sempurna ini merupakan sistem yang datang dari sang Khalik yaitu Allah Swt. Maka, sudah semestinya kita kembali pada sistem sempurna ini, dan mencampakkan sistem kapitalisme yang rusak dan merusak. Wallahu 'alam.