-->

Ketika Negara Abai, Perundungan Menjadi Warisan Kultural yang Berbahaya


Oleh : Linda Anisa

Perundungan terhadap anak tak lagi bisa dianggap sekadar kenakalan remaja. Fenomena ini telah menjelma menjadi pola kekerasan yang terstruktur dan berulang, diwariskan secara turun-temurun dalam ruang sosial yang seharusnya menjadi tempat tumbuhnya nilai kemanusiaan. Ketika negara abai dan hanya hadir setelah tragedi terjadi, perundungan perlahan menjelma menjadi bagian dari budaya; sebuah warisan kultural yang diam-diam dianggap “biasa”.
Ketidaktegasan kebijakan perlindungan anak dan lemahnya implementasi pendidikan karakter menunjukkan kegagalan negara dalam menciptakan ruang aman bagi generasi muda. Pendidikan yang seharusnya membebaskan justru kerap mereproduksi relasi kuasa yang timpang antara guru dan murid, antara siswa senior dan junior, antara mereka yang “kuat” dan yang “lemah”. Dalam sistem yang hierarkis dan otoriter, perundungan menjadi mekanisme diam-diam yang dibenarkan.

Pada Juni 2025, publik dikejutkan oleh kasus perundungan tragis di Indragiri Hulu, Riau, di mana seorang siswa kelas II SD berusia delapan tahun meninggal dunia setelah diduga mengalami kekerasan dari kakak kelasnya. Kasus ini mencuat setelah sang anak mengeluhkan sakit perut dan meninggal beberapa jam kemudian. Kementerian Hukum dan HAM bersama KPAI menegaskan pentingnya evaluasi sistem pengawasan di sekolah serta menolak normalisasi kekerasan antaranak. KPAI menyebut perundungan bukan insiden tunggal, melainkan bagian dari kekerasan berulang yang perlu ditangani secara sistemik (Antara News, Times Indonesia).

Tak lama berselang, sebuah video viral dari Ciparay, Bandung menunjukkan seorang siswa SMP diceburkan ke sumur oleh temannya setelah dipaksa menenggak tuak dan merokok. Tindakan ini bukan hanya bentuk perundungan, melainkan pelecehan terhadap hak-hak anak secara terang-terangan. Komisioner KPAI, Sylvana Apituley, mengungkapkan bahwa peristiwa ini menunjukkan budaya kekerasan yang mengakar sejak dini, dan harus diputus dengan intervensi tegas dari negara. Ia menegaskan bahwa perundungan semacam ini adalah cerminan lemahnya sistem perlindungan terhadap anak di lingkungan pendidikan (Detik News, Wahana News).

Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa respons negara cenderung reaktif, bukan preventif. Penanganan hanya dilakukan setelah kasus mencuat ke media. Padahal, menurut Dian Sasmita dari KPAI, “Kasus bullying tidak pernah hanya dalam sekali kejadian, selalu ada unsur keberulangan. Oleh karena itu, upaya deteksi dini dan respons cepat atas kasus bullying sangat penting.” Pernyataan ini menyiratkan bahwa negara belum benar-benar membangun sistem yang mampu melindungi anak dari kekerasan secara menyeluruh.

Di sisi lain, kita juga harus mengakui bahwa budaya kekerasan ini berakar dari pola asuh, tontonan, dan sistem sosial yang permisif terhadap dominasi dan penghinaan. Anak-anak meniru apa yang mereka lihat dari lingkungan rumah tangga, media, hingga elite politik yang saling menjatuhkan tanpa etika. Ketika negara membiarkan ruang-ruang publik dipenuhi ujaran kebencian, kekerasan verbal, dan diskriminasi, maka kita sedang menormalisasi praktik perundungan sejak dini.

Warisan kultural semacam ini bukan hanya membahayakan korban secara psikologis, tetapi juga menciptakan masyarakat masa depan yang terbiasa menindas atau ditindas. Dalam jangka panjang, negara sedang merusak fondasi bangsa yakni anak-anak yang seharusnya tumbuh dalam kasih sayang, penghargaan, dan rasa aman.

Lemahnya penegakan hukum terhadap pelaku kekerasan anak, kurangnya edukasi antikekerasan di sekolah, dan minimnya pendampingan psikologis menjadi bukti bahwa negara gagal menciptakan ruang aman bagi anak-anak. Bahkan di beberapa kasus, pihak sekolah justru cenderung menutupi peristiwa bullying dengan alasan menjaga nama baik lembaga pendidikan.

Perundungan Berulang, Buah Busuk Sekularisme Kapitalisme 

Fenomena perundungan yang terus berulang, bahkan semakin brutal, tidak bisa dilepaskan dari sistem yang mendasari kehidupan kita hari ini yakni sekularisme kapitalisme. Ini bukan sekadar soal kurangnya pengawasan guru atau ketidakhadiran orang tua, tetapi soal bagaimana sistem hidup yang kita anut hari ini membentuk manusia-manusia yang kehilangan arah nilai, menjadikan relasi sosial sebagai arena kompetisi, bukan empati.

Sekularisme, yang memisahkan nilai-nilai agama dari kehidupan publik, telah menciptakan kekosongan spiritual dan moral. Pendidikan tak lagi dibangun untuk membentuk akhlak mulia atau karakter beradab, tetapi semata mengejar prestasi akademik dan kompetensi material. Dalam sistem ini, tidak ada standar kebaikan yang sakral; benar dan salah ditentukan oleh norma mayoritas atau keuntungan praktis. Maka tak heran jika anak-anak tumbuh tanpa panduan nilai yang kuat, meniru kekerasan karena lingkungan tak lagi memberi teladan moral yang bermakna.

Kapitalisme, sebagai sistem ekonomi dan sosial, menyuburkan mentalitas kompetisi, dominasi, dan superioritas. Anak-anak sejak dini dijejali logika “yang kuat menang, yang lemah tersingkir”. Di sekolah, mereka belajar berlomba, bukan berbagi; bersaing, bukan bekerja sama. Nilai-nilai seperti solidaritas, kasih sayang, dan kesetaraan dianggap lemah. 
Di bawah sistem kapitalisme, bahkan institusi pendidikan pun dikomersialisasi. Sekolah menjadi arena stratifikasi sosial antara yang “unggul” dan yang “kalah”, antara yang “berkelas” dan yang “terpinggirkan”. Identitas anak dibentuk berdasarkan label akademik, status ekonomi, atau popularitas, bukan kemuliaan karakter. Anak-anak yang tidak sesuai dengan standar kapitalistik ini seperti miskin, berbeda, pendiam, atau tidak menonjol sering kali menjadi sasaran empuk perundungan.

Kita menyaksikan bagaimana sistem ini tidak hanya gagal mencegah perundungan, tetapi justru menciptakan atmosfer yang memperkuatnya. Ketika agama dikeluarkan dari ruang publik, ketika institusi hanya berorientasi pada output materi, dan ketika manusia diperlakukan sebagai alat produksi, maka hilanglah rasa tanggung jawab sosial dan empati yang seharusnya menjadi fondasi hidup bermasyarakat.
Maka, perundungan bukan hanya kegagalan individu atau institusi pendidikan, melainkan kegagalan sistemik. Ia adalah buah dari sistem yang menanamkan sekularisme yang mencabut manusia dari nilai-nilai ketuhanan. Begitu pula dengan kapitalisme yang mendidik manusia untuk saling menindas demi keuntungan dan status.

Sudah saatnya kita tidak hanya menyembuhkan luka, tetapi mengganti akar yang busuk. Dibutuhkan sistem yang menanamkan nilai-nilai ketuhanan secara utuh, yang menjadikan pendidikan sebagai ladang pembentukan akhlak, dan yang menempatkan manusia sebagai makhluk bermartabat, bukan sekadar pelaku ekonomi. Tanpa itu, perundungan akan terus berulang, diwariskan, dan mendarah daging dalam tubuh bangsa.

Islam Sebagai Solusi Hakiki 

Islam memandang manusia baik tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan sebagai makhluk yang dimuliakan oleh Allah. Allah SWT berfirman: “Dan sungguh telah Kami muliakan anak cucu Adam...” (QS. Al-Isra: 70)
Ayat ini menegaskan bahwa setiap manusia memiliki kemuliaan yang melekat sejak lahir. Maka, segala bentuk perendahan, penghinaan, dan kekerasan seperti perundungan adalah tindakan yang mencederai kehormatan yang Allah anugerahkan.

Lebih jauh, Islam juga secara tegas melarang tindakan menyakiti sesama, baik secara fisik maupun verbal. Dalam hadits shahih, Rasulullah ﷺ bersabda: "Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya." (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menjadi dasar bagaimana seharusnya etika sosial dalam Islam. Islam mengajarkan agar tidak menyakiti orang lain baik dengan kata-kata (verbal bullying) maupun dengan tindakan (fisik). Prinsip ini seharusnya diterapkan sejak dini dalam pendidikan anak, keluarga, dan masyarakat secara luas.
Islam juga menanamkan prinsip ukhuwah (persaudaraan) yang kuat. Dalam Al-Qur’an disebutkan: "Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara..." (QS. Al-Hujurat: 10)

Dengan menjadikan sesama Muslim (dan sesama manusia) sebagai saudara, maka segala bentuk kekerasan dan perundungan menjadi sesuatu yang bertentangan dengan ajaran Islam. 
Negara dalam Islam (Khilafah) juga memiliki peran strategis sebagai penjamin keamanan dan pelindung rakyat, termasuk anak-anak. Negara wajib menyediakan lingkungan yang aman, adil, dan bersih dari kekerasan, serta menerapkan hukum secara tegas terhadap pelaku perundungan, tanpa memandang status sosial.

Perundungan hanya bisa dihentikan dengan membangun peradaban yang berlandaskan nilai ketuhanan, bukan sekadar aturan buatan manusia yang rapuh. Islam memberikan kerangka nilai, sistem pendidikan, dan hukum yang saling menyokong untuk membentuk masyarakat yang saling menghargai, melindungi, dan menghormati hak hidup setiap anak.
Jika kita benar-benar ingin menghentikan perundungan dari akarnya, maka kita harus kembali pada Islam secara kaffah (menyeluruh). Bukan hanya dalam ibadah pribadi, tetapi juga dalam membangun sistem pendidikan, sistem sosial, dan sistem hukum yang berpihak kepada kemuliaan manusia sebagaimana yang Allah tetapkan. Dengan menjadikan Islam sebagai fondasi kehidupan, kita tidak hanya menyelesaikan kasus perundungan, tetapi juga membangun peradaban yang benar-benar manusiawi.
Wallahu a’lam bi ash sawab.