-->

Saat Negara Gagal Merawat, Keluarga Jadi Korban


Oleh : Linda Anisa

Di balik tembok rumah yang sunyi, kekerasan bisa meledak tanpa suara. Ya, dalam hitungan minggu di bulan Juli 2025 saja, Indonesia kembali diguncang oleh serangkaian kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang brutal. 

Pada 8 Juli, Briptu EMY dilaporkan telah melakukan kekerasan berulang terhadap istrinya sejak 2021, termasuk dugaan hendak menabrak kendaraan korban (www.detik.com). Sekitar 8–9 Juli, seorang ibu di Paluta (Sumatera Utara) membanting bayinya yang berusia 11 bulan hingga tewas. Pelaku mengaku stres akibat kekerasan yang diterimanya dari suami dan masalah judi suami. Pada 3 Juli 2025, MI (77) ditemukan tewas akibat dipukul oleh anak tirinya, SN (52), dengan alat dapur (cobek) di Rumah, Kecamatan Tumijajar, Lampung. Pelaku kini menjalani pemeriksaan kejiwaan karena dugaan gangguan jiwa (Tarakan Indonesia+9). 

Dari deretan kasus diatas terungkap bahwa banyak pelaku ternyata menunjukkan gejala gangguan kejiwaan seperti stres, depresi, bahkan psikosis. Sejatinya KDRT bukanlah sekadar masalah moral individu atau konflik rumah tangga semata. Di banyak kasus, ini adalah produk dari luka mental yang membusuk dalam diam. Ketika pelaku mengalami tekanan psikologis berat dan negara tidak menyediakan sistem pendukung kesehatan mental yang memadai, maka rumah menjadi ladang kekerasan.

Upaya Pemerintah dalam Menyelesaikan Kasus KDRT

Pemerintah Indonesia telah melakukan berbagai upaya untuk menangani permasalahan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), baik melalui kebijakan hukum, layanan perlindungan, edukasi publik, hingga kerja sama antar lembaga. Secara hukum, keberadaan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga menjadi landasan utama penanganan KDRT. UU ini mengatur bentuk-bentuk kekerasan, mekanisme pelaporan, serta sanksi hukum bagi pelaku. Namun, implementasinya dinilai masih lemah karena terlalu bergantung pada laporan korban dan belum sepenuhnya melindungi semua jenis relasi domestik, seperti pasangan yang tidak menikah secara resmi. 

Selain regulasi, pemerintah melalui Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyediakan layanan pengaduan seperti SAPA 129 dan membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) di berbagai daerah. Layanan ini memberikan bantuan hukum, psikologis, medis, hingga penampungan sementara (shelter) bagi korban KDRT. Pendampingan psikososial juga disediakan, meski masih terbatas karena kurangnya tenaga profesional dan penyebaran yang belum merata, terutama di daerah terpencil.

Dalam aspek pencegahan, negara melakukan kampanye edukatif seperti “16 Hari Anti-Kekerasan terhadap Perempuan” dan mendorong masuknya pendidikan kesetaraan gender dalam kurikulum. Namun, program edukasi ini belum berjalan secara menyeluruh di semua jenjang pendidikan. Pemerintah juga menjalin kerja sama lintas sektor yang melibatkan Kemenkes, Kemensos, Polri, Komnas Perempuan, hingga organisasi masyarakat sipil untuk memperkuat sistem perlindungan dan penanganan kasus KDRT.

Di bidang penegakan hukum, aparat seperti polisi dan jaksa juga dilatih agar memiliki perspektif korban. Pembentukan Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) di kantor kepolisian menjadi langkah konkret untuk meningkatkan penanganan kasus secara sensitif dan profesional. Meski demikian, tantangan tetap ada. Korban kerap enggan melapor karena takut, malu, atau bergantung secara ekonomi pada pelaku. Stigma sosial, minimnya akses ke layanan, serta keterbatasan anggaran menjadi hambatan yang terus perlu diatasi. Dengan demikian, meskipun upaya negara telah berjalan, penguatan sistem dan komitmen implementasi di akar rumput masih menjadi pekerjaan besar ke depan.

Iman yang Rapuh, Mental yang Runtuh

Salah satu akar dari krisis ini adalah melemahnya keimanan, baik secara personal maupun kolektif. Ketika iman tak lagi menjadi pondasi hidup, manusia mudah terseret oleh kekosongan batin, kehilangan pengharapan, dan tak punya tempat berpijak saat diterpa ujian. Nilai-nilai spiritual yang dulu menguatkan jiwa seperti sabar, tawakal, syukur, mulai tergantikan oleh nilai-nilai duniawi yang mengarah pada pencapaian materi, eksistensi sosial, dan validasi digital. Akibatnya, ketika semua itu goyah, manusia runtuh tanpa pelindung batin yang kokoh.

Namun, penyebab melemahnya iman ini bukan semata-mata kesalahan individu, tapi juga karena sistem dunia yang saat ini semakin jauh dari nilai-nilai ilahiah. Sekularisme, yang memisahkan agama dari kehidupan publik, telah menjauhkan masyarakat dari fondasi spiritualnya. Agama dianggap urusan pribadi semata, tidak relevan dalam pendidikan, ekonomi, bahkan kebijakan negara. Ketika spiritualitas dikecilkan, ruang jiwa manusia menjadi kosong. Dalam kekosongan inilah gangguan mental mudah tumbuh.

Manusia hari ini dipaksa hidup dalam ritme konsumsi yang tak pernah usai. Mereka diukur dari produktivitas, nilai jual, dan performa, bukan dari kebajikan, ketulusan, atau ibadah. Hidup dipersempit pada pencapaian duniawi. Dalam sistem ini, kegagalan ekonomi dianggap sebagai kegagalan hidup, sehingga tekanan mental menjadi tak terelakkan. Kapitalisme tidak memberi ruang untuk istirahat batin; ia menciptakan kompetisi abadi yang melelahkan jiwa. Bahkan dalam relasi sosial pun, manusia diajarkan untuk bersaing, bukan bersaudara.

Maka, solusi dari krisis mental hari ini tidak cukup dengan terapi, obat, atau konseling saja. Harus ada perubahan paradigma hidup. Harus ada kembali pada nilai-nilai keimanan yang menjadi pondasi ketenangan batin. Sistem pendidikan harus kembali mengakar pada tauhid. Ekonomi harus berpihak pada keadilan, bukan eksploitasi. Budaya harus membangun koneksi batin, bukan sekadar pencitraan. Dan negara harus hadir bukan hanya sebagai penyedia layanan, tetapi sebagai penjaga nilai-nilai spiritual masyarakat.

Hanya Pada Islam Semuanya dapat Dituntaskan

Dalam sistem negara Islam (daulah Islamiyah), penanggulangan gangguan mental dilakukan secara komprehensif, dengan pendekatan yang tidak hanya bersifat medis atau psikologis, tetapi juga berbasis akidah, sistem sosial, dan kebijakan negara yang menenangkan jiwa dan menjaga keseimbangan hidup manusia. Negara Islam menyadari bahwa kesehatan mental tidak bisa dipisahkan dari kondisi iman, ketenteraman hidup, serta keadilan sosial yang diwujudkan melalui sistem yang diturunkan oleh syariat.

Pertama, negara Islam memastikan bahwa keimanan dan ketakwaan menjadi fondasi utama kehidupan masyarakat. Negara menjamin pendidikan akidah sejak dini melalui kurikulum yang membentuk kepribadian Islam (syakhsiyah Islamiyah), sehingga individu tumbuh dengan pemahaman bahwa hidup adalah amanah, penuh ujian, dan memiliki tujuan mulia yaitu meraih ridha Allah. Pendidikan ini menciptakan ketahanan mental karena membekali setiap warga dengan cara berpikir yang positif, sabar, dan tidak mudah putus asa. Negara juga mendorong ibadah sebagai bagian dari gaya hidup, karena ibadah adalah penyejuk hati dan sumber ketenangan jiwa.

Kedua, negara Islam menerapkan sistem ekonomi Islam yang menghapus sumber-sumber stres dan kecemasan struktural seperti kemiskinan ekstrem, pengangguran, atau ketimpangan sosial yang besar. Negara menjamin kebutuhan dasar tiap individu makanan, papan, sandang, pendidikan, dan kesehatan sebagai hak, bukan belas kasihan. Dengan sistem distribusi kekayaan yang adil melalui zakat, infaq, sedekah, larangan riba, serta pengelolaan kekayaan umum oleh negara, kecemasan akibat tekanan ekonomi dapat ditekan secara sistemik. Ini sangat penting, karena dalam kapitalisme, stres sering lahir dari beban hidup yang tidak seimbang dengan kemampuan, sedangkan Islam membangun sistem ekonomi yang menjaga keseimbangan itu.

Ketiga, negara Islam membentuk struktur sosial yang saling peduli dan melindungi. Islam menghapus sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan publik. Dalam masyarakat Islam, prinsip amar ma’ruf nahi munkar menjadi budaya hidup yang aktif, sehingga setiap individu merasa diawasi, dibimbing, dan tidak dibiarkan sendiri menghadapi masalahnya. Negara juga mendorong solidaritas sosial dan menanamkan nilai ukhuwah Islamiyah yang membuat masyarakat saling menyayangi dan menolong.

Keempat, negara Islam menyediakan layanan kesehatan jiwa yang berbasis syariat, tidak hanya mengandalkan pendekatan medis, tetapi juga terapi ruhiyah dan nasihat keagamaan. Psikolog dan konselor dalam negara Islam dibekali dengan ilmu syar’i agar dapat memberikan panduan yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Penderita gangguan mental diperlakukan dengan hormat, tanpa stigma, dan diberikan akses pengobatan serta perlindungan sosial secara gratis. Negara juga akan mengawasi media, sistem kerja, dan gaya hidup masyarakat agar tidak mendorong pada gaya hidup hedonis, konsumtif, atau kompetitif berlebihan yang justru menjadi pemicu utama gangguan mental di sistem sekuler saat ini.

Dengan sistem pemerintahan yang menjadikan syariat sebagai landasan seluruh kebijakan, negara Islam membangun ketenangan jiwa secara struktural, bukan hanya menunggu masalah muncul lalu mengobatinya. Negara Islam bekerja preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam satu kesatuan sistem yang harmonis dengan fitrah manusia. Inilah yang menjadikan negara Islam mampu menangani gangguan mental secara menyeluruh—karena ia tidak hanya mengobati gejala, tetapi juga menghapus akar-akar gangguan jiwa yang ditumbuhkan oleh sistem sekular dan kapitalistik hari ini.
Wallahu a’lam bi ash sawab.