-->

Kapitalisme Jadikan Rakyat Tamu di Tanah Sendiri


Oleh : Novi Ummu Mafa

Rencana pemerintah melalui Kementerian ATR/BPN untuk mengambil alih tanah-tanah berstatus Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Guna Usaha (HGU) yang tak dimanfaatkan selama dua tahun menuai banyak kritik. Menurut pengamat tata kota dan transportasi Yayat Supriatna, kebijakan ini belum ditopang oleh kesiapan negara dalam mengelola lahan-lahan yang sudah dimiliki. Ia menyebut bahwa banyak aset tanah milik negara, seperti lahan di tepi sungai, taman, bahkan aset BMKG di Tangerang, dibiarkan terbengkalai tanpa pengelolaan. Dilansir dari (Bloombergtechnoz.com, 19/7/2025)Yayat menegaskan bahwa pemerintah seharusnya menunjukkan kapasitas nyata dalam mengelola aset tanahnya sendiri sebelum menyasar lahan milik warga atau korporasi. Ia juga menyoroti lemahnya rencana bisnis pemerintah serta ketidakjelasan siapa yang akan mengelola dan dari mana sumber dananya. Dalam konteks negara demokratis seperti Indonesia, menurutnya, pendekatan serampangan seperti ini berpotensi memunculkan persoalan baru alih-alih menyelesaikan akar masalah agraria.

Tanah jadi Komoditas

Dalam sistem kapitalisme, tanah tak lagi dipandang sebagai amanah publik yang wajib dijaga dan dimanfaatkan demi kemaslahatan umat. Sebaliknya, tanah dalam sistem kapitalisme telah direduksi menjadi sekadar komoditas yang bisa diperdagangkan demi laba. Negara yang seharusnya menjadi pelindung hak rakyat atas tanah justru berperan sebagai fasilitator kepentingan korporasi besar. Ini terbukti dari dominasi pemilikan lahan melalui skema Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) yang lebih banyak dikuasai oleh segelintir elit pemilik modal, sementara rakyat kecil kian terpinggirkan dan semakin kesulitan mendapatkan sebidang tanah untuk tempat tinggal, bercocok tanam, bahkan sekadar berdagang.

Penarikan kembali tanah-tanah yang dinyatakan “terlantar” justru berpotensi menambah celah untuk memperkuat dominasi oligarki atas lahan. Atas nama efisiensi dan optimalisasi aset, tanah rakyat yang dibiarkan dua tahun tak tergarap diancam diambil alih, namun ironisnya ribuan hektar tanah negara sendiri justru terbengkalai tanpa pengelolaan. Ini menunjukkan wajah nyata dari kapitalisme yang munafik. Rakyat dituntut patuh dan produktif sementara negara dan para pemodal bebas mengabaikan tanggung jawab asalkan tetap untung.

Tanah sebagai Objek Bisnis

Masalah pengelolaan tanah dalam sistem kapitalisme selalu dikaitkan dengan anggaran dan keuntungan. Dalam pandangan pemerintah jika tidak menghasilkan keuntungan secara finansial, maka tanah dianggap sia-sia. Pandangan ini mencerminkan paradigma ekonomi yang kering dari nilai-nilai kemanusiaan. Tanah sebagai sumber kehidupan seharusnya dikelola dengan tanggung jawab moral dan sosial, bukan semata demi pertumbuhan ekonomi versi pasar bebas. Dalam sistem kapitalisme semua hal tunduk pada kepentingan investor. Maka tidak mengherankan bila kebijakan pengelolaan lahan selalu berpihak pada korporasi dan mengabaikan rakyat kecil.

Dalam kondisi seperti ini keadilan agraria mustahil terwujud. Sebaliknya, sistem kapitalisme terus mereproduksi ketimpangan. Tanah sebagai alat penghisapan, bukan sebagai jalan hidup rakyat. Pemerintah menyusun kebijakan demi memperlancar arus investasi, bukan memperkuat kedaulatan rakyat atas sumber daya. Maka, selama sistem ini tetap dipertahankan, rakyat hanya akan menjadi tamu di tanahnya sendiri dan setiap jengkal lahan bisa berubah menjadi alat penindasan oleh kekuatan modal.

Islam Menjadikan Tanah Sebagai Amanah dan Sarana Kesejahteraan

Berbeda dengan sistem kapitalisme yang menundukkan tanah di bawah kepentingan modal, Islam memandang tanah sebagai amanah Allah yang harus dikelola demi kemaslahatan umat, bukan demi akumulasi keuntungan segelintir elite. Dalam sistem Khilafah Islam, tanah tidak bisa diperlakukan sebagai barang dagangan semata yang berpindah tangan sesuai logika pasar bebas. Islam memiliki aturan syar’i yang tegas dan adil dalam mengatur kepemilikan dan pengelolaan tanah.

Dalam Khilafah, tanah dibagi menjadi tiga kategori kepemilikan:

1. Tanah milik individu, seperti tanah warisan, hibah, atau hasil ihya’ul mawat (menghidupkan tanah mati) yang dimiliki sah oleh rakyat.


2. Tanah milik negara, yakni tanah yang dikuasai oleh negara untuk dikelola demi kepentingan rakyat, bukan untuk dijual apalagi diserahkan ke tangan swasta atau asing.


3. Tanah milik umum, seperti padang rumput, air, hutan, dan pertambangan yang haram dimiliki individu atau swasta, karena menjadi hak kolektif umat.

Tanah milik negara dalam sistem Khilafah tidak boleh diserahkan secara bebas ke individu, ormas, apalagi korporasi yang bisa menyalahgunakannya. Sebaliknya, negara akan mengelola lahan tersebut secara strategis dan penuh tanggung jawab untuk proyek-proyek vital: menyediakan perumahan murah bagi rakyat, mencetak lahan pertanian baru, atau membangun infrastruktur umum seperti pasar, sekolah, dan rumah sakit. Tujuannya bukan meraih laba atau mengejar investor, melainkan untuk memastikan kesejahteraan rakyat dan keberkahan kehidupan.

Islam juga memiliki mekanisme pengelolaan lahan-lahan terlantar dan tanah mati. Jika seseorang membiarkan tanahnya tidak diolah selama tiga tahun berturut-turut tanpa uzur syar’i, maka negara berhak mencabut hak miliknya dan memberikannya kepada orang lain yang sanggup menghidupkan dan memanfaatkannya. Namun, proses ini bukan sembarangan, apalagi berbau kepentingan bisnis. Ini dijalankan secara adil dan transparan di bawah aturan syariah, demi menjaga hak rakyat dan mendorong produktivitas tanah sebagai sumber penghidupan.

Rasulullah ﷺ bersabda:
"Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya."
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Tirmidzi)

Hadis ini menunjukkan bahwa tanah adalah sumber kehidupan yang tidak boleh disia-siakan. Namun, pengelolaannya harus sesuai dengan hukum syara’, bukan berdasarkan pertimbangan politik atau bisnis.

Sistem Khilafah menutup celah oligarki tanah dan menjamin bahwa tanah tidak dikuasai korporasi, melainkan didistribusikan secara adil kepada umat. Ini sangat kontras dengan sistem kapitalisme saat ini yang menjadikan tanah sebagai komoditas yang tunduk pada kepentingan pasar dan investor.