-->

Paradoks Persatuan Umat dalam Haji dan Realitas Perpecahan Umat Islam

Oleh : Linda Anisa                      

Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Tanah Suci Makkah untuk menunaikan ibadah haji, salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan sekali seumur hidup bagi yang mampu secara fisik dan finansial. Perjalanan spiritual ini bukan hanya menuntut kesiapan materi, tetapi juga kesungguhan hati untuk merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Momen haji menjadi simbol yang sangat kuat dari persatuan umat Islam, karena di sinilah perbedaan warna kulit, bahasa, budaya, bahkan latar belakang sosial-ekonomi larut dalam satu kesamaan tujuan: mencari ridha Allah. Jamaah dari berbagai negara datang dengan bahasa yang berbeda, namun dalam ihram yang seragam dan ritual yang sama, mereka menyatu dalam kekhusyukan yang luar biasa.

Puncaknya terjadi saat wukuf di Arafah, di mana jutaan manusia berdiri bersama, memanjatkan doa dalam linangan air mata dan penuh harap akan ampunan dan rahmat Ilahi. Pemandangan ini tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga menggambarkan bagaimana umat Islam bisa bersatu ketika tunduk sepenuhnya pada perintah Allah tanpa mempertentangkan identitas kebangsaan atau kepentingan duniawi. Selepas itu, mereka merayakan Idul Adha sebagai bagian dari ibadah yang tidak hanya simbolik, tetapi juga penuh makna—menegaskan kembali komitmen pengorbanan dan ketaatan kepada Allah, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Ibrahim AS.

Ritual haji menjadi representasi nyata dari apa yang sering diidealkan oleh umat: ukhuwah islamiyah, atau persaudaraan Islam, yang menembus batas-batas duniawi dan membentuk solidaritas global. Sayangnya, persatuan yang sangat kuat di Tanah Suci ini seringkali bersifat sementara. Begitu jamaah pulang ke negara masing-masing, mereka kembali dihadapkan pada realitas sosial dan politik yang penuh dengan perpecahan, konflik antar kelompok, dan bahkan permusuhan antar sesama Muslim. Oleh karena itu, haji bukan hanya panggilan untuk menjalankan ibadah, tetapi juga menjadi pengingat akan pentingnya menjaga semangat persatuan dalam kehidupan umat sehari-hari.

Namun, di luar momen haji yang mempersatukan, kenyataannya umat Islam masih kerap terpecah oleh perbedaan-perbedaan internal, termasuk dalam penentuan waktu ibadah. Salah satu contoh yang mencolok terjadi pada penetapan Idul Adha 1446 H tahun 2025. Meskipun pada akhirnya tanggal Idul Adha sama-sama jatuh pada 6 Juni 2025, cara penentuannya berbeda antara satu pihak dengan pihak lain. 

Pemerintah Arab Saudi menetapkan tanggal tersebut berdasarkan rukyat dan kalender Ummul Qura, dengan wukuf di Arafah pada 5 Juni dan Idul Adha pada 6 Juni 2025. Di Indonesia, Muhammadiyah menetapkan Idul Adha pada tanggal yang sama berdasarkan metode hisab hakiki wujudul hilal, yang tidak memerlukan pengamatan visual hilal. Sementara itu, pemerintah Indonesia melalui Sidang Isbat menggunakan metode rukyat yang dikombinasikan dengan kriteria MABIMS, dan memutuskan 6 Juni sebagai Idul Adha setelah hilal terlihat di Aceh. 

Perbedaan ini tidak terletak pada hasil akhirnya, melainkan pada metode, otoritas, dan dasar penentuannya—yang mencerminkan belum adanya kesatuan otoritas keagamaan global dalam Islam. Perbedaan ini menunjukkan bahwa meskipun umat Islam memiliki kesamaan akidah, mereka masih terpecah dalam hal – hal lainnya seperti penentuan waktu ibadah. Hal ini menandakan bahwa persatuan umat Islam belum terwujud secara menyeluruh, baik dalam aspek spiritual maupun sosial-politik.

Kehilangan Institusi Politik Pemersatu
Perbedaan-perbedaan internal yang terjadi di kalangan umat Islam, termasuk dalam hal penetapan waktu-waktu ibadah, penanganan konflik sesama Muslim, hingga perbedaan dalam menyikapi isu global, merupakan gejala dari sebuah masalah mendasar: tidak adanya institusi politik tunggal yang menyatukan umat dalam satu visi dan langkah. Sejarah Islam mencatat bahwa dahulu umat Islam pernah memiliki institusi yang kuat dan sentral—Khilafah Islamiyah—yang menjadi simbol dan realitas kekuasaan politik Islam. Di bawah kepemimpinan Khilafah, berbagai wilayah yang kini terbagi menjadi puluhan negara Muslim pernah dipersatukan dalam satu sistem pemerintahan, satu otoritas keagamaan, dan satu kebijakan luar negeri yang menjadikan Islam sebagai dasar panduan.

Khilafah bukanlah sekadar sistem administratif atau simbol kekuasaan, melainkan institusi yang memayungi umat Islam dalam satu identitas global yang melampaui batas-batas etnis dan geografis. Ia menjadi otoritas tunggal dalam hal penetapan hukum, termasuk penentuan awal bulan Hijriah, pengelolaan zakat dan haji, hingga pembelaan terhadap kaum Muslim yang tertindas di belahan dunia lain. Dalam sistem ini, umat Islam memiliki satu pemimpin—Khalifah—yang bertanggung jawab menjaga penerapan syariat Islam secara menyeluruh dan konsisten, serta memperjuangkan kepentingan umat dalam skala internasional.

Namun, keruntuhan Khilafah pada tahun 1924 di tangan Mustafa Kemal Ataturk, yang didukung oleh kekuatan kolonial Barat, menandai titik balik tragis dalam sejarah umat Islam. Sejak saat itu, umat Islam tidak lagi memiliki payung politik global yang menaungi mereka. Dunia Islam terfragmentasi menjadi lebih dari 50 negara bangsa (nation-state), yang masing-masing berdiri dengan dasar nasionalisme, hukum buatan manusia, dan kepentingan geopolitik lokal. Fragmentasi ini tidak hanya bersifat administratif, tapi juga telah menanamkan batas-batas psikologis dan ideologis di antara umat Islam, seolah-olah umat di Indonesia, Mesir, Turki, atau Nigeria adalah entitas yang terpisah, bukan bagian dari satu tubuh yang sama.

Konsekuensinya sangat nyata. Dalam aspek ibadah, misalnya, umat Islam di berbagai negara berbeda dalam menetapkan hari raya karena tidak adanya otoritas tunggal yang dijadikan rujukan. Dalam aspek politik dan ekonomi, umat gagal membentuk kekuatan kolektif yang mampu melindungi kepentingan mereka, seperti terlihat dalam konflik di Palestina, Suriah, Yaman, atau Rohingya. Bahkan untuk menyuarakan kepedulian bersama pun seringkali terhambat oleh perbedaan kebijakan luar negeri masing-masing negara.

Lebih jauh lagi, absennya institusi pemersatu ini membuat umat Islam kehilangan arah dalam membangun masa depan peradaban mereka. Setiap negara Muslim berjalan sendiri-sendiri dengan sistem politik yang beragam: monarki, republik sekuler, demokrasi liberal, bahkan militeristik—semuanya mengadopsi sistem yang tidak bersumber dari Islam. Akibatnya, umat Islam justru bergantung kepada negara-negara besar non-Muslim dalam berbagai aspek kehidupan: keamanan, ekonomi, teknologi, dan bahkan budaya.

Karena itu, kesadaran akan pentingnya kembalinya institusi pemersatu politik umat bukan sekadar nostalgia sejarah, melainkan kebutuhan nyata untuk menjawab tantangan zaman. Selama umat Islam tidak memiliki satu kepemimpinan politik global, perbedaan-perbedaan internal, baik dalam ibadah maupun strategi perjuangan, akan terus berlangsung dan menghambat bangkitnya kekuatan kolektif umat. Maka, menghidupkan kembali visi politik Islam dalam bentuk institusi pemersatu seperti Khilafah bukan hanya idealisme, tetapi keniscayaan jika umat ingin keluar dari krisis perpecahan dan kelemahan yang menjerat mereka hari ini.

Idul Adha, Panggilan untuk Ketaatan Total

Idul Adha bukan hanya sekadar perayaan atau ritual, tetapi juga merupakan panggilan untuk ketaatan total kepada Allah. Dalam peristiwa Idul Adha, Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail, menunjukkan ketaatan yang luar biasa dengan siap mengorbankan apa yang paling mereka cintai demi memenuhi perintah Allah. Kisah ini mengajarkan umat Islam untuk menempatkan ketaatan kepada Allah di atas segalanya, termasuk kepentingan pribadi, kelompok, dan bangsa.

Namun, kenyataannya banyak umat Islam yang hanya menjalankan aspek ritual dari agama tanpa menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mereka taat dalam ibadah pribadi, tetapi tidak dalam aspek sosial dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa ketaatan umat Islam belum total, dan mereka perlu merenungkan kembali makna sejati dari Idul Adha.

Dari Simbol ke Realitas

Persatuan umat Islam bukan hanya sebuah simbol, tetapi harus menjadi kenyataan dalam kehidupan sehari-hari. Untuk mewujudkan persatuan yang sejati, umat Islam perlu kembali kepada ajaran Islam secara menyeluruh, termasuk dalam aspek sosial dan politik. Tanpa adanya institusi politik yang menyatukan, seperti Khilafah Islamiyah, umat Islam akan terus terpecah dan kehilangan arah.
Idul Adha seharusnya menjadi momentum bagi umat Islam untuk merenungkan kembali makna sejati dari ketaatan kepada Allah dan bagaimana menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian, persatuan umat Islam bukan hanya menjadi impian, tetapi menjadi kenyataan yang dapat dirasakan dalam kehidupan nyata.
Wallahu a’lam bi ash sawab.