-->

Penghormatan pada Negara Pengusung Islamofobia, Layakkah?


Oleh : Linda Anisa

Kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Indonesia pada Mei 2025 disambut dengan hangat oleh pemerintah dan berbagai kalangan. Presiden Prabowo Subianto secara langsung menyampaikan ucapan "selamat datang" kepada Macron, menandai komitmen untuk memperkuat hubungan bilateral antara Indonesia dan Prancis, terutama di bidang pertahanan serta sektor perdagangan seperti sapi dan kelapa sawit (Kompas, 28 Mei 2025). Media juga menyoroti bahwa kunjungan ini tidak hanya bersifat simbolik, tetapi juga merupakan bagian dari penguatan kerja sama strategis antara kedua negara di berbagai bidang, termasuk industri pertahanan dan energi (MetroTV News, 28 Mei 2025).

Namun, di balik kehangatan diplomatik dan kesepakatan ekonomi yang terjalin dalam kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Indonesia pada Mei 2025, ada satu aspek penting yang seolah luput dari perhatian publik dan para pemimpin negeri ini: yaitu “rekam jejak Prancis sebagai negara pengusung kebijakan-kebijakan Islamofobik”. Prancis secara konsisten tercatat sebagai salah satu negara yang menerapkan berbagai kebijakan diskriminatif terhadap umat Islam. Salah satu contohnya adalah larangan penggunaan hijab di ruang publik, termasuk di sekolah negeri dan tempat kerja pemerintah, yang telah diberlakukan sejak 2004 dan terus diperluas dalam beberapa tahun terakhir. Bahkan pada 2023, pemerintah Prancis secara resmi melarang penggunaan abaya—pakaian longgar khas Muslimah—di sekolah-sekolah, dengan dalih menjaga sekularisme negara (Liputan6, 30 Agustus 2023).

Tak hanya itu, Komite Olimpiade Prancis juga melarang atlet perempuan Muslim mengenakan hijab dalam kompetisi olahraga, termasuk Olimpiade Paris 2024. Larangan ini menuai kritik dari berbagai organisasi hak asasi manusia karena dianggap melanggar kebebasan beragama dan menargetkan kelompok tertentu secara sistematis (Anadolu Agency, 27 September 2023).

Lebih jauh lagi, Prancis juga dikenal sebagai negara yang secara terang-terangan membela tindakan penghinaan terhadap Islam atas nama kebebasan berekspresi. Kasus paling kontroversial adalah pembelaan pemerintah terhadap media satir Charlie Hebdo yang mempublikasikan karikatur penghinaan terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Bukannya mengutuk tindakan tersebut, Presiden Macron pada 2020 justru menyatakan bahwa publikasi itu adalah bagian dari kebebasan berekspresi dan nilai-nilai Republik Prancis, yang kemudian memicu gelombang protes umat Islam di seluruh dunia (BBC Indonesia, 31 Oktober 2020).
Semua ini mencerminkan bahwa Prancis bukan sekadar negara sekuler biasa, tetapi telah menempatkan Islam sebagai objek kontrol dan bahkan serangan melalui kebijakan negara. Maka, menjadi sangat ironis ketika pemimpin dari negara mayoritas Muslim seperti Indonesia menyambut pemimpin Prancis dengan penuh kehormatan tanpa satu pun catatan kritis terhadap kebijakan anti-Islam yang masih berlangsung hingga hari ini.

Mengapa Umat Islam Harus Peduli?

Sambutan meriah terhadap kepala negara yang terang-terangan memusuhi Islam dan umatnya harus menjadi perhatian serius. Dalam Islam, penghormatan atau kerja sama dengan pihak yang memusuhi agama Allah bukan hanya soal diplomasi atau ekonomi semata, tetapi juga soal prinsip dan akidah. Umat Islam tidak boleh bersikap netral atau bahkan tunduk terhadap negara yang telah menyakiti kehormatan Rasulullah ﷺ dan menindas kaum Muslimin di wilayahnya.

Islam telah memberikan panduan yang sangat jelas bagaimana bersikap terhadap musuh-musuh Allah dan Islam. Dalam Al-Qur’an dan sejarah Islam, kita mendapati bahwa sikap lunak terhadap musuh yang terang-terangan menyerang Islam adalah bentuk kelemahan dan pengkhianatan terhadap amanah umat. Allah SWT berfirman: 
"Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (pemimpin, pelindung, atau sekutu) dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah."
(QS. Ali ‘Imran: 28).
 
Ayat ini menegaskan bahwa loyalitas umat Islam tidak boleh diberikan kepada pihak yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya, apalagi jika mereka menindas kaum Muslimin. 

Sejarah Khilafah juga menunjukkan bahwa para khalifah tidak segan bersikap tegas terhadap negara atau kekuatan asing yang menghina Islam atau memperlakukan umat Islam secara tidak adil. Mereka menjaga izzah (kemuliaan) umat dengan prinsip yang bersumber dari wahyu, bukan kalkulasi manfaat duniawi semata. Salah satu contoh nyata dari sikap tegas tersebut terlihat pada masa Khalifah Harun al-Rasyid dari Dinasti Abbasiyah. Ketika Ratu Irene dari Kekaisaran Bizantium meminta perjanjian damai namun kemudian digantikan oleh Kaisar Nikephoros yang membatalkan perjanjian dan menghentikan pembayaran jizyah, Harun al-Rasyid segera mengirimkan surat tegas: “Dari Amirul Mukminin Harun kepada anjing Romawi Nikephoros: Engkau telah menulis surat kepadaku, dan engkau akan melihat jawabanku, bukan mendengarnya.” Ia pun mengirim pasukan besar yang memaksa Bizantium kembali tunduk dan membayar jizyah. Ini adalah bukti bahwa dalam Khilafah Islam, kehormatan umat dijaga dengan kekuatan nyata, bukan diplomasi lunak yang mengorbankan prinsip.

Kapitalisme, Sistem yang Membungkam Kepekaan Akidah

Sikap abai terhadap kebijakan anti-Islam yang dilakukan Prancis dan negara-negara Barat lainnya, tak bisa dilepaskan dari sistem sekuler-kapitalistik yang diadopsi oleh negara-negara Muslim hari ini. Dalam logika sistem ini, hubungan antarnegara didasarkan pada kepentingan materi semata: investasi, ekspor-impor, alutsista, atau dukungan politik internasional. Akibatnya, aspek keimanan dan pembelaan terhadap kemuliaan Islam menjadi hal yang terpinggirkan, bahkan dianggap tidak relevan dalam perumusan kebijakan luar negeri.

Inilah sebabnya, meskipun Prancis dikenal luas sebagai negara yang mendukung Islamofobia dan bersikap tidak adil terhadap umat Islam, para pemimpin negeri Muslim tetap menyambutnya dengan karpet merah—karena “manfaat ekonomi dan politik” dianggap lebih penting ketimbang prinsip ideologis.

Islam Memiliki Tuntunan Jelas dalam Hubungan Internasional

Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam memiliki sistem hubungan internasional yang sangat jelas dan tegas. Dalam perspektif Islam, negara-negara dunia dibagi menjadi dua: Darul Islam (negara Islam yang menerapkan syariat) dan Darul Kufur (negara kafir). Hubungan dengan Darul Kufur diatur sesuai dengan sikap negara tersebut terhadap Islam dan Daulah Islam. Negara yang memusuhi Islam, menghina Rasulullah ﷺ, atau menindas kaum Muslimin, tidak boleh dijadikan sekutu atau diberi penghormatan.

Sebaliknya, Islam mengajarkan izzah (kemuliaan), prinsip kehormatan, dan keberanian dalam diplomasi. Negara Islam bukan hanya tempat berlindung bagi umat, tapi juga menjadi perisai dan penjaga martabat agama. Sikap tegas dalam diplomasi bukan berarti permusuhan tanpa alasan, melainkan bentuk keadilan dan penegakan prinsip terhadap siapa pun yang terang-terangan menentang Allah dan Rasul-Nya.

Kebutuhan Akan Kekuatan Politik Islam Global

Fakta bahwa umat Islam saat ini hanya bisa mengutuk—tanpa daya untuk menghentikan penghinaan terhadap agama mereka—adalah bukti nyata bahwa umat ini telah kehilangan pelindung sejati. Tanpa Khilafah, umat Islam terombang-ambing dalam kebijakan pragmatis negara-negara yang lebih mementingkan kepentingan jangka pendek daripada kemuliaan agama. Padahal, dengan jumlah lebih dari 1,9 miliar jiwa di seluruh dunia, umat Islam seharusnya bisa menjadi kekuatan global yang disegani, bukan hanya dalam aspek ekonomi atau militer, tapi juga dalam moral dan prinsip.
Oleh karena itu, perjuangan untuk menegakkan kembali Khilafah bukanlah romantisme sejarah, tetapi panggilan kebutuhan zaman. Umat Islam membutuhkan institusi politik global yang menjadikan Islam sebagai sumber kebijakan, pembela umat yang tertindas, dan penjaga kehormatan agama.
Tidak ada yang salah dengan menjalin hubungan diplomatik. Namun, ketika diplomasi mengabaikan prinsip akidah dan kehormatan Islam, maka itu bukan lagi kerja sama, melainkan kompromi yang mengorbankan identitas umat.

Menghormati kepala negara yang terang-terangan memusuhi Islam adalah bentuk kemunduran akhlak politik, dan umat Islam seharusnya menyadari bahwa harga diri agama mereka jauh lebih berharga daripada sekadar kesepakatan dagang atau alutsista.

Sudah saatnya umat Islam memiliki panduan yang benar dalam bersikap terhadap dunia: bukan berdasarkan manfaat sesaat, tapi atas dasar tuntunan wahyu. Dan itu hanya bisa terwujud jika umat kembali memiliki negara Islam yang menerapkan syariat secara kaffah dan memimpin dunia dengan izzah, sebagaimana pernah dilakukan oleh Khilafah Islamiyah.