-->

Kisruh Rebutan Pulau, Benarkah Hanya Soalan Batas Wilayah?


Oleh : Rini Mumtazsabrina

Pulau Mangkir Kecil, Pulau Mangkir Besar, Pulau Panjang, dan Pulau Lipan, merupakan empat pulau yang berada di dekat pesisir pantai Kabupaten Tapanuli Tengah yang tengah menjadi sorotan publik belakangan ini. Hal ini dipicu oleh Keputusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menegaskan bahwa keempat pulau tersebut masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Sumatera Utara. 
Keputusan Kemendagri ini menjadi titik temu konflik, meskipun setelah diputuskan, tensi antara kedua provinsi, yakni Aceh dan Sumatera Utara, mulai bergejolak.

Konflik ini sebenarnya sudah terjadi belasan tahun lalu, tepatnya pada 2008, saat kegiatan verifikasi data Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi yang disusun oleh Kemendagri, Kementerian Kelautan, Bakosurtanal, pakar toponimi, dan pemerintah Aceh. Saat itu, Provinsi Aceh telah memverifikasi dan membakukan 260 pulau.

Pada November 2009, Gubernur Aceh menyampaikan surat konfirmasi untuk 260 pulau dengan perubahan nama Pulau Rangit Besar menjadi Mangkir Besar, Rangit Kecil menjadi Mangkir Kecil, Pulau Malelo menjadi Pulau Lipan, dan Pulau Panjang tetap dengan nama yang sama dengan masing-masing koordinatnya.

Namun, setelah Kemendagri melakukan konfirmasi koordinat, keempat pulau yang diusulkan dengan titik koordinat masing-masing tidak menunjukkan posisi yang dimaksud. Koordinat yang berada dalam surat Gubernur Aceh berada di wilayah Kecamatan Pulau Banyak, bukan di wilayah Kecamatan Singkil Utara. Kemendagri melihat ada kejanggalan nama pulau dengan titik koordinat yang berbeda, karena empat pulau yang dimaksud berjarak 78 kilometer dari titik koordinat yang diberikan Aceh.

Kemendagri kemudian melakukan rapat pembahasan untuk melakukan analisis spasial terhadap empat pulau yang menjadi konflik, dan hasilnya pada 8 November 2017, Dirjen Bina Adwil Nomor 125/8177/BAK menegaskan bahwa empat pulau tersebut masuk dalam cakupan Provinsi Sumatera Utara. Aceh kemudian kembali mengeluarkan surat untuk merevisi koordinat empat pulau tersebut yang semula titiknya berada di Pulau Banyak berpindah ke Singkil Utara. Dalam surat itu juga dijelaskan bahwa koordinat yang semula dicantumkan adalah milik Pulau Rangit Besar, Rangit Kecil, Malelo, dan Panjang yang berada di Pulau Banyak. (kompas.com)

Sedangkan menurut Anggota DPR asal Aceh Muslim Ayub menyakini polemik kepemilikan empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) berkaitan dengan potensi kandungan minyak dan gas (migas) di wilayah tersebut.
Muslim menilai potensi cadangan migas di empat pulau itu menjadi alasan utama bagi Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) untuk mengalihkan batas wilayah dari Aceh menjadi Sumut.

Pasalnya, ia menegaskan status wilayah keempat pulau itu sejatinya telah disepakati Gubernur Aceh dan Sumatera Utara pada tahun 1992, yakni Ibrahim Hasan dan Raja Inal Siregar dan disaksikan Menteri Dalam Negeri saat itu, Rubini.
 
Di sisi lain, ia mencontohkan jika memang alasannya murni karena faktor geografis maka seharusnya Pulau Andaman menjadi milik Aceh. Akan tetapi, Muslim menyebut hal itu tidak pernah dilakukan oleh Aceh meskipun mengetahui ada banyak kekayaan alam yang tersimpan di sana. (cnnindonesia.com)

Pengalihan kepemilikan pulau yang memicu polemic di tengah masyarakat terutama karena wilayah yang di persoalkan diduga memiliki potensi sumber daya alam berupa minyak dan gas bumi ini, sejatinya bukan sekedar sengketa administrative saja melainkan menerminkan persoalan yang lebih mendasar terkait system pengelolaan pemerintahan daerah yang menggunakan pendekatan otonomi daerah (otda).

Dalam Prakteknya

Dalam prakteknya otonomi daerah, seringkali membuka celah konflik kewenangan antar wilayah, terutama jika menyangkut wilayah strategis atau kaya akan sumber daya alam. System ini sendirilah yang lahir dari kerangka berfikir Demokrasi Sekuler – Kapitalis , yang berkembang di barat pasca revolusi industry dan modernisasi pemerintahan.

Otonomi daerah juga di pandang sebagai solusi untuk meningkatkan efisiensi dan partisipasi local dalam pemerintahan. Namun, dalam konteks negara berkembang seperti Indonesia, system ini sering kali menghadirkan masalah baru. Alih – alih memperkuat keadilan dan pemerataan, justru seringkali memunculkan konflik kepentingan, tarik – menarik kekuasaan, serta eksploitasi sumber daya alam atas nama pembangunan.

Dalam kasus Aceh yang memiliki status otonomi khusus, pengalihan wilayah ini dinilai mencederai semangat desentralisasi itu sendiri. Masyarakat merasa hak – haknya di abaikan dan kepentingan strategis daerah dikalahkan oleh keputusan pusat, yang terkesan sepihak dan tidak transparan.

Hal ini menunjukan bahwa, system otonomi daerah yang di adopsi dari barat ini hanya di manfaatkan oleh elit – elit politik untuk kepentingan jangka pendek mereka bukan kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.

System otonomi daerah, juga memberikan kewenangan luas bagi daerah untuk mengatur urusan pemerintahan termasuk pengelolaan pendapatan asli daerah (PAD).
Akibatnya muncul perbedaan kesejahteraan antar wilayah, terutama antara daerah kaya sumber daya seperti migas dan daerah yang miskin akan potensi. Ketimpangan ini memicu kecemburuan social dan potensi konflik. Seperti yang terlihat dalam kasus pengalihan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara.

Dugaan adanya kandungan migas menjadikan perebutan wilayah sebagai suatu hal yang wajar dalam system otonomi daerah. Ketidakmerataan kesejahteraan juga dapat menjadi ancaman disintegrasi.

Sistem Sentralisasi Pengelolaan SDA Dalam Islam

Di dalam system sentralisasi, pengelolaan terhadap sumber daya dan pembangunan dilakukan secara lebih merata, karena berada di bawah kendali pusat. Dan hal ini hanya dapat di temukan dalam system Islam Kaffah yang di terapkan di bawah naungan institusi Khilafah.

Dalam pandangan islam, pengelolaan wilayah dilakukan secara sentralistik dibawah kepemimpinan Khalifah (kepala negara), yang bertanggung jawab penuh terhadap seluruh rakyat tanpa membedakan satu daerah dengan yang lainnya.

Islam tidak mengenal konsep otonomi daerah seperti dalam system sekuler demokratis yang membagi kewenangan secara bebas kepada masing – masing wilayah.
Sebaliknya, seluruh urusan kepemerintahan termasuk pengelolaan sumber daya alam dan pendistribusian kekayaan, berada dibawah kendali pusat yang di atur berdasarkan syariat Islam. 

Tujuannya adalah untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan secara merata di seluruh penjuru negeri dan tidak tergantung pada potensi ekonomi atau pendapatan masing – masing daerah.

Negara wajib mengelola semua kekayaan alam seperti tambang, minyak , gas, laut dan hutan sebagai milik umum (milkiyyah ‘ammah) yang hasilnya dikembalikan untuk kemaslahatan seluruh rakyat. Dalam hal ini Rasulullaah SAW bersabda ;
“Kaum Muslim Berserikat Dalam Tiga Perkara : Padang Rumput, Air dan Api” (HR. Abu Dawud)

Hadits ini menjadi dasar bahwa sumber daya strategis, tidak boleh di miliki individu atau di kuasai daerah tertentu. Melainkan harus di kelola oleh negara, demi kepentingan seluruh umat.

Dengan system ini, islam mampu mencegah kecemburuan social antar wilayah, menghindari ketimpangan pembangunan dan menjamin bahwa setiap warga negara mendapatkan haknya secara adil dan merata, tanpa tergantung pada lokasi geografis atau kekayaan alam daerah tempat tinggalnya.
Inilah keunggulan system sentralistik dalam Islam yang berlandaskan pada keadilan dan kemaslahatan bersama.

Negara dalam system Islam, berkewajiban berlaku adil dan amanah dalam mengurus seluruh urusan rakyatnya tanpa memandang perbedaan suku, daerah, ataupun tingkat ekonomi.

Hal ini kerena Islam menetapkan bahwa Penguasa adalah Ra’in (penggembala) dan Junnah (perisai) bagi rakyatnya. Penguasa bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan, keamanan dan keadilan, serta akan di mintai pertanggungjawaban oleh Allaah SWT atas setiap amanah kepemimpinan yang di embannya.

Rasulullaah SAW bersabda ; “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang di pimpinnya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan dasar ini, penguasa dalam Islam tidak boleh bertindak Zalim seperti memihak pada kepentingan kelompok tertentu atau membiarkan kesenjangan dan ketidakadilan terjadi diantara rakyat.

Sebaliknya. Dia wajib mengupayakan distribusi kekayaan yang adil sesuai syariat Islam, pelayanan public yang merata, serta menjamin kebutuhan asasiyyah setiap warga negaranya. Karena tugasnya adalah mengurus umat dengan penuh tanggungjawab dihadapan Allaah SWT.

Hanya system Islam yang menerapkan sentralisasi kekuasaan berbasis syariat dan mampu menjamin keadilan, kesejahteraan merata, dan perlindungan hak seluruh rakyat.

Wallahu’alambishawab