Hijrah Spirit, Bangkitkan Umat, Wujudkan Perubahan Hakiki
Oleh : Umma Almyra
Waktu terus berjalan. Tanpa terasa, umat Islam akan segera menyambut datangnya Tahun Baru 1447 Hijriah. Di setiap pergantian tahun, Islam mengajarkan kita untuk tidak hanya mengganti kalender, tetapi juga melakukan muhasabah—refleksi dan introspeksi terhadap perjalanan hidup yang telah dilalui.
Pertanyaannya, apakah kita sudah menjadi hamba yang lebih baik? Apakah dalam setahun terakhir ini kita telah lebih mendekat kepada Allah SWT? Ataukah justru kita masih berada di titik yang sama, atau bahkan mundur dari nilai-nilai Islam? Tak jarang kita terjebak dalam rutinitas dan hiruk-pikuk dunia yang membuat kita lalai terhadap tujuan utama penciptaan kita: untuk beribadah dan taat sepenuhnya kepada Allah.
Refleksi seperti ini penting, bukan hanya untuk kehidupan pribadi, tetapi juga bagi kondisi kolektif umat Islam secara keseluruhan. Karena sebagaimana kita sebagai individu memiliki tugas untuk memperbaiki diri, begitu pula umat ini memiliki tanggung jawab besar untuk bangkit dari keterpurukan yang telah berlangsung terlalu lama.
Tahun Baru Islam dan Keutamaan Muharram
Tahun Baru Islam 1447 H akan jatuh pada hari Jumat, 27 Juni 2025. Bulan Muharram adalah salah satu bulan suci yang disebut dalam Al-Qur’an dan memiliki banyak keutamaan. Rasulullah ﷺ menyebutnya sebagai "syahrullah" atau bulan Allah. Di dalamnya terdapat kesempatan besar untuk memperbanyak amal, terutama melalui puasa sunnah pada hari Tasua (9 Muharram) dan Asyura (10 Muharram).
Pada tahun ini, kedua hari tersebut diperkirakan jatuh pada 5 dan 6 Juli 2025. Rasulullah ﷺ bersabda bahwa puasa pada hari Asyura dapat menghapus dosa-dosa setahun yang lalu. Ini menunjukkan betapa besarnya kasih sayang Allah kepada hamba-Nya yang senantiasa ingin memperbaiki diri.
Namun, Tahun Baru Hijriah tidak boleh berhenti hanya pada amalan-amalan pribadi. Ia adalah momentum kolektif bagi umat untuk menyadari bahwa perubahan hakiki tidak bisa hanya dilakukan di ruang-ruang privat. Diperlukan perubahan sistemik, menyeluruh, dan terorganisir dalam seluruh aspek kehidupan.
📜 Jejak Sejarah dan Arti Sebuah Hijrah
Tahun Baru Hijriah berakar pada sebuah peristiwa monumental: hijrahnya Nabi Muhammad ﷺ dari Makkah ke Madinah. Hijrah bukan sekadar perpindahan tempat, tetapi sebuah tonggak perubahan total. Dari hijrah inilah lahir sebuah masyarakat baru—Daulah Islam—yang menjadikan syariat sebagai landasan kehidupan.
Penetapan kalender Hijriah juga bukan keputusan sembarangan. Disebutkan dalam berbagai riwayat, Ali bin Abi Thalib ra. adalah orang yang mengusulkan agar peristiwa hijrah dijadikan awal penanggalan Islam, sedangkan Utsman bin Affan ra. mengusulkan agar bulan Muharram menjadi awal tahun. Khalifah Umar bin Al-Khaththab ra. kemudian menerapkannya secara resmi.
Meskipun hijrah fisik Rasulullah ﷺ terjadi pada bulan Safar, namun tekad hijrah telah muncul sejak bulan Muharram, terutama setelah Baiat Aqabah kedua. Dalam peristiwa tersebut, kaum Muslim dari Madinah berjanji untuk melindungi Nabi dan bersedia menjadikan negeri mereka sebagai tempat tegaknya Islam.
Khalifah Umar menyebut peristiwa hijrah itu sebagai momen pembeda antara kebenaran dan kebatilan. Maka, Tahun Baru Hijriah bukan hanya peringatan sejarah, tetapi simbol perjuangan menuju sistem kehidupan Islam yang sesungguhnya.
Tahun Baru Islam di Tengah Derita Umat
Ironisnya, ketika kita memperingati hijrah sebagai momentum kebangkitan, umat Islam hari ini justru berada dalam kondisi yang sangat menyedihkan. Di berbagai belahan dunia, umat Islam mengalami penindasan dan kekejaman yang luar biasa. Genosida di Palestina masih berlangsung, diiringi dengan diamnya penguasa negeri-negeri Muslim, atau bahkan keterlibatan mereka dalam skenario penjajahan.
Bukan hanya di Palestina, tapi juga di Suriah, Yaman, Uighur, Rohingya, dan wilayah lainnya—derita umat Islam terus berlangsung. Di sisi lain, umat mengalami keterpurukan di bidang ekonomi, pendidikan, politik, dan budaya. Sumber daya alam dikeruk asing, sistem pendidikan sekuler menghasilkan generasi apatis, dan media massa dipenuhi nilai-nilai hedonistik yang menjauhkan umat dari Islam.
Semua ini bukan tanpa sebab. Allah SWT telah memperingatkan dengan jelas dalam QS Thaha ayat 124:
“Barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, ia akan menjalani kehidupan yang sempit...”
Umat Islam hari ini hidup dalam keterpurukan karena meninggalkan hukum Allah. Kita lebih percaya pada sistem buatan manusia dibandingkan syariat Allah. Akibatnya, kita kehilangan identitas, kemuliaan, dan keberkahan.
Saatnya Kembali ke Aturan Allah secara Kaffah
Untuk bisa bangkit dari keterpurukan ini, tidak ada jalan lain kecuali kembali sepenuhnya kepada aturan Allah. Bukan hanya dalam ibadah, tetapi juga dalam seluruh aspek kehidupan: politik, hukum, ekonomi, sosial, pendidikan, dan budaya. Islam adalah sistem hidup yang paripurna.
Di sinilah pentingnya keberadaan Khilafah—institusi pemerintahan Islam yang pernah menaungi umat selama lebih dari 13 abad. Khilafah bukan sekadar bentuk pemerintahan, tetapi institusi pelaksana hukum Allah dan pelindung umat dari musuh-musuhnya. Rasulullah ﷺ menyebut pemimpin dalam Islam sebagai “junnah” (perisai) yang menjadi benteng pelindung bagi umat.
Tanpa Khilafah, umat Islam akan terus tercerai-berai, tidak memiliki kekuatan untuk melawan penjajahan, dan tidak mampu menerapkan Islam secara menyeluruh. Maka, menyadarkan umat akan pentingnya Khilafah adalah bagian dari dakwah yang sangat mendesak hari ini.
Dibutuhkan Jamaah Dakwah yang Istiqamah
Perubahan besar ini tentu tidak bisa dilakukan secara individual. Dibutuhkan jamaah dakwah—kelompok yang konsisten, ideologis, dan bersih niatnya dalam membina umat. Jamaah ini harus mampu menyampaikan dakwah yang mencerahkan, membongkar kebatilan sistem hari ini, dan membimbing umat menuju perubahan yang hakiki.
Jamaah dakwah bukan hanya sekadar komunitas, tetapi harus memiliki visi perubahan peradaban. Merekalah yang menanamkan kesadaran ideologis, membangun kepercayaan diri umat, dan menyatukan barisan menuju tegaknya Islam kaffah di bawah naungan Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.
Penutup: Menjadi Bagian dari Perubahan
Tahun Baru Hijriah tidak seharusnya hanya diperingati dengan seremoni, pawai obor, atau tausiyah singkat. Ia adalah alarm peradaban, yang mengajak kita merenungi kembali jati diri sebagai Muslim dan memperbarui komitmen untuk menjadi bagian dari kebangkitan umat.
Umat Islam tidak boleh terus menjadi penonton dari penderitaan yang terjadi. Kita harus menjadi bagian dari solusi. Saatnya kita bergerak, menyadari bahwa kemuliaan hanya bisa diraih dengan kembali kepada Islam secara menyeluruh, bukan setengah-setengah.
Mari kita sambut Tahun Baru 1447 Hijriah dengan semangat hijrah yang sejati—hijrah dari keterpurukan menuju kemuliaan, dari sistem kufur menuju sistem Islam, dari diam menjadi aktif berjuang. Karena hanya dengan itulah kita bisa benar-benar mewujudkan kebangkitan umat yang hakiki.
Wa Allahu A‘lam bish-shawāb
Posting Komentar