Self Censorship di Era Digitalisasi Informasi
Oleh : Yopi Okdiyanti (Mompreneur)
Asalamua'laykum warahmatullahi wabarakatuh saudara seumat dimanapun kita berada. Sudah bukan hal tabu bahwa saat ini kita memasuki era digitalisasi informasi. Jika zaman dahulu kita mendapatkan informasi dari media cetak, siaran radio dan televisi, saat ini informasi begitu ramai berlalu-lalang di internet dan dapat diakses dalam genggaman, ponsel.
Dilansir dari Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menunjukan bahwa data pengguna internet di Indonesia pada awal 2025 mencapai 212 juta pengguna, atau sekitar 74,6 % dari total populasi (datareportal.com).
Digitalisasi informasi tentunya seperti dua sisi mata pedang. Disaat akses informasi peristiwa real-time baik lokal maupun internasional dapat diakses dalam hitungan detik, disaat yang sama pula umat disuguhkan informasi yang sangat banyak. Platform daring, search-engine (mesin pencari), maupun media sosial benar-benar mampu menghilangkan hambatan georafis dan waktu.
Hal ini tentunya berdampak pula kepada "kebebasan individu" untuk turut serta membuat, berbagi dan menyumbangkan konten mereka sendiri. Menebas keterbatasan masyarakat dalam menyampaikan aspirasi, perspektif, maupun pengalaman masing-masing. Sehingga digitalisasi informasi tidak sekedar menjadi wadah berbagi informasi dan menjadi tempat berkumpulnya orang-orang yang membutuhkan informasi, tetapi juga menjadi media penyebaran berita palsu, rumor dan konten-konten misinformasi yang menyebar dengan cepat.
Self-Censorship adalah kemampuan seseorang dalam menyaring informasi apapun yang diterimanya, agar mampu memilah menjadi beberapa kategori diantaranya: informasi yang wajib disebarluaskan, informasi yang boleh diterima menjadi wawasan atau ilmu, informasi yang tidak layak disebarkan (wajib dicegah penyebarannya) atau menggerakan kita untuk berkenan terlibat mengedukasi masyarakat agar misinformasi tidak berlanjut. Self-Censorship menjadi skill yang sangat dibutuhkan oleh umat, bukan sekadar sebagai perlindungan diri, tetapi juga untuk memberikan pemahaman bahwa tidak semua informasi yang tersebar luas bahkan seviral apapun pengunjung situs maupun viewers-nya (penontonnya), belum tentu yang diinformasikan adalah sebuah kebenaran.
Mari kita sejenak mentadaburi ayat Allah, yang sudah dengan jelas menghimbau kita semua agar lebih berhati-hati memilih sumber informasi dan berhati-hati pula dalam menerima informasi.
Seperti saat ini peristiwa genosida di Palestina yang masih berlangsung, banyak sekali media yang menginformasikan adanya gencatan senjata antara Palestina dan Israel, padahal faktanya genosida masih berlanjut sampai hari ini. Maka dari itu hendaknya kita tidak serta-merta menerima informasi selain dari para relawan yang up-to-date menyiarkan kondisi terkini di Palestina.
"Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu membawa berita penting, maka telitilah kebenarannya agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena ketidaktahuan(mu) yang berakibat kamu menyesali perbuatanmu itu"
(TQS. Al-Hujarat ayat 6).
Juga pada firman Allah yang lain, "Dan janganlah kamu mengikuti sesuatu yang tidak kamu ketahui. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan diminta pertanggungjawabannya"
(TQS. Al-Isra ayat 36).
Tentunya ayat ini menjadi renungan untuk kita semua, agar terus-menerus belajar memahami "situasi dunia" dari sumber yang benar. Terlebih lagi jika kita sebagai umat mau mempelajari Islam secara kaffah (keseluruhan), agar mengerti tentang history dunia, mengerti tentang berbagai aspek keilmuan yang bermanfaat untuk dunia & akhirat. Bukan sekadar untuk memuaskan akal kita tetapi juga dapat turut serta berbagi mengedukasi umat, ditengah gempuran digitalisasi informasi. Yasarallahu lanal khaira haitsumma kunna, biidznillah.
Posting Komentar