Rakyat Miskin, Dilarang Pintar oleh Sistem
Oleh : Meidy Mahdavikia
Semua orang sepakat bahwa pendidikan adalah kunci masa depan. Tapi bagaimana jika kunci itu hanya bisa dipegang oleh segelintir orang saja? Data terbaru menyebutkan bahwa rata-rata lama sekolah di Indonesia hanya sekitar 9 tahun, alias setara dengan tamat SMP. Artinya, banyak anak-anak di negeri ini yang tak melanjutkan ke SMA, apalagi kuliah dikutip dari Nasional.Kompas.com (4/3/2025).
Masalahnya bukan sekadar minat belajar yang rendah. Akar persoalannya ada pada akses pendidikan yang masih sangat terbatas, apalagi bagi masyarakat miskin dan mereka yang tinggal di pelosok. Sekolah gratis hanya ada di atas kertas saja, tapi kenyataannya masih banyak biaya tak terduga mulai dari seragam, transportasi, buku, hingga uang bangunan di sekolah negeri sekalipun.
Pemerintah memang sudah membuat program seperti KIP dan bantuan sekolah lainnya. Tapi, seperti yang diberitakan oleh beritasatu.com (2/5/2025), bantuan itu tidak merata dan hanya menjangkau sebagian kecil masyarakat. Di banyak daerah, terutama di wilayah 3T (terdepan, terluar, tertinggal), anak-anak harus menempuh perjalanan jauh hanya untuk bisa belajar. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang terpaksa putus sekolah karena tidak kuat menanggung biaya hidup dan pendidikan sekaligus.
Kenapa Ini Bisa Terjadi? Sistem Kapitalisme Biang Keladinya
Kalau kita telisik lebih dalam, masalah ini bukan hanya soal teknis atau kurangnya anggaran. Ini soal sistem. Kita hidup dalam sistem kapitalis-sekuler, yang memandang pendidikan sebagai komoditas, bukan hak dasar rakyat.
Dalam sistem ini, pendidikan dibiarkan dikelola oleh swasta yang tentu punya orientasi bisnis. Akibatnya, sekolah-sekolah berkualitas hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu membayar mahal. Pendidikan jadi seperti barang mewah bukan sebuah kebutuhan mendasar. Negara seolah mencuci tangan, cukup memberi bantuan ala kadarnya dan menyerahkan sisanya ke mekanisme pasar.
Lebih parah lagi, kurikulum pun diarahkan untuk melayani kepentingan industri. Anak-anak diajari untuk menjadi pekerja, bukan untuk menjadi pemikir, pemimpin, atau pribadi yang bertakwa. Efisiensi anggaran makin mempersempit ruang pendidikan publik yang berkualitas.
Inilah buah dari sekularisme, yaitu memisahkan agama dari kehidupan, termasuk dari dunia pendidikan. Akhirnya, pendidikan kehilangan arah. Ia tidak lagi membentuk manusia seutuhnya, tapi hanya mencetak tenaga kerja murah.
Islam Menjamin Pendidikan Sebagai Hak, Bukan Privilege
Dalam Islam, pendidikan adalah hak setiap manusia. Negara wajib menyediakannya secara gratis dan merata serta tanpa diskriminasi, tanpa memandang miskin atau kaya, tinggal di kota atau desa. Sebagaimana firman Allah
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujadilah: 11)
Dalam sistem Islam yang dijalankan di bawah naungan Khilafah, negara yang akan langsung mengurus pendidikan, bukan diserahkan ke swasta. Negara mendirikan sekolah, menggaji guru, dan menyediakan fasilitas pendidikan yang layak. Semua biaya ditanggung negara, yang sumber dananya diambil dari Baitul Mal, khususnya dari pos fai’, kharaj, dan kepemilikan umum.
Tujuan pendidikan dalam Islam bukan hanya mencerdaskan otak, tapi juga membangun manusia yang bertakwa, berilmu, dan siap memimpin peradaban. Sistem ini terbukti sukses dalam sejarah. Di masa keemasan Islam, banyak lahir ilmuwan, filsuf, dan ulama besar yang ilmunya bahkan dijadikan rujukan di Barat.
Akhir Kata
Realitas pendidikan hari ini memang menyakitkan. Di satu sisi, rakyat didorong untuk cerdas. Tapi di sisi lain, jalan menuju kecerdasan itu dipenuhi batu dan duri. Inilah bukti bahwa sistem sekuler-kapitalis tak mampu menjamin hak dasar rakyat.
Sudah saatnya kita membuka mata. Jika kita ingin perubahan yang nyata dan menyeluruh, maka Islam lah satu-satunya sistem yang mampu memberi solusi menyeluruh bukan tambal sulam. Islam telah membuktikannya dalam sejarah, dan ia akan kembali membuktikannya di masa depan.
Posting Komentar